PP Kepemilikan Rumah WNA, Kemunduran Reforma Agraria
Utama

PP Kepemilikan Rumah WNA, Kemunduran Reforma Agraria

Dengan tidak mengatur pembatasan harga, luasan dan jumlah dikhawatirkan WNA dapat membeli rumah murah di tengah rakyat Indonesia yang menginginkan memiliki rumah dengan harga murah.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi WNA: Foto: RES
Ilustrasi WNA: Foto: RES
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) atas kepemilikan rumah bagi warga negara asing (WNA). Aturan kepemilikan aset properti itu diatur dalam PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Namun bagi sebagian kalangan, PP tersebut dipandang sebagai bentuk kemunduran terhadap reforma agraria.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpandangan, terbitnya PP itu tak saja bentuk kemunduran, tapi mengancam agenda reforma agraria. Ia menilai pemerintah terlampau kalap mengejar pertumbuhan ekonomi. Akibatnya cederung mengabaikan kebijakan logis, sinkron dan tidak berpikir jangka panjang.

Pasal 2 ayat (1) PP tersebut menyatakan, “Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai”.Sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyebutkan, “Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun”.Menurut Fadli menjadi pertanyaan ketika perpanjangan melebihi dari 20 tahun.

“Kalau kita periksa peraturan perundangan yang lain, dalam PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, baik di atas tanah negara maupun di atas tanah hak milik pribadi, itu hanya diberikan maksimal 25 tahun saja,” ujarnya dalam keterangan tertulis pekan lalu kepada wartawan di DPR.

Begitu pula dengan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, hak pakai hanya diberikan maksimal 70 tahun. Menjadi pertanyaan, kata Fadli, ketika kepemilikan properti pribadi warga negara asing diberikan melebihi 70 tahun melebihi hak pakai keperluan investasi asing. “Saya benar-benar tidak habis pikir,” katanya.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan PP No.103 Tahun 2015 tidak membatasi hak pakai diberikan hanya atas tanah negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ia berpendapat, dalam jangka panjang PP No.103 Tahun 2015 akan menjadi hambatan serius terhadap agenda reformasi agraria di Indonesia.

Pasalnya, kata Fadli, kepemilikan lahan akan kian terkonsentrasi di tangan segelintir orang, tidak terkecuali WNA. Ia berpandangan pemerintahan menghidupkan kembali Kementerian Agraria, sebaliknya kebijakan yang diterbitkan membuat kemunduran terhadap agenda reformasi agraria. “Jadi makin mundur ke belakang,” katanya.

Ketua Komite Pertimbangan Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Gunawan, berpandangan diberikannya hak pakai terhadap WNA memang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan UU No.5 Tahun 1960. Soalnya, tanah, air dan rakyat merupakan kesatuan yang membentuk bangsa Indonesia. Dengan demikian, bila tanah dimiliki asing mala hilanglah kesatuan tersebut.

Selain itu, rakyat sebagai pemilik tanah yang kemudian memberikan hak penguasaan kepada negara untuk melakukan pengaturan, pengurusan, pengawasan dan pengelolaan. Dalam pengurusan negara, maka hanya rakyat Indonesia yang dapat memperoleh hak milik. Kendati demikian, PP tersebut dinilai Gunawan tidak mengatur pembatasan harga, luasan dan jumlah. Ia khawatir dengan tidak adanya batasan itulah WNA dapat membeli rumah murah di tengah rakyat Indonesia yang menginginkan memiliki rumah dengan harga murah.

“Padahal pembatasan itu untuk mencegah penguasaan skala besar oleh orang asing dan tanah yang dijadikan barang spekulan,” katanya di Jakarta, Senin (18/1).

Lebih jauh Gunawan berpandangan PP No.103 Tahun 2015 disahkan terlebih dahulu dibanding dengan PP Jaminan Luas Lahan Pertanian. Padahal, PP tentang Jaminan Luas Lahan Pertanian merupakan amanat dari UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan PP Reforma Agraria. “Iya ini kemunduran (reforma agraria, red),” katanya.

Presidium Badan Musyawarah (Bamus) Petani Indonesia itu menilai, mestinya pemerintahan Jokowi menerbitkan PP Jaminan Luas Lahan Pertanian dan PP Reforma Agraria  ketimbang PP No.103 Tahun 2015. Ia khawatir WNA sanggup menyewa, bahkan membeli aset properti dengan harga mahal dengan difasilitasi aturan oleh pemerintah. Namun, petani dan masyarakat tak memiliki tanah (mengontrak, red) tak juga difasilitasi pemerintah.

“(Ini, -red) menunjukan pemerintah lebih pro investasi asing daripada perlindungan hak-hak petani dan masyarakat tak bertanah serta memprioritaskan reforma agraria sebagai basis rencana penguasaan, pemilikan, peruntukan dan penggunaan tanah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait