Menyikapi Peradaban
Tajuk

Menyikapi Peradaban

Usaha menghapus sejarah dan jejak peradaban selalu ada dimana-mana dan dengan berbagai macam alasan, dari alasan berselubung keagamaan, politis, komersial bahkan karena gatal tangan semata. Benda-benda itu bisa dihancurkan, jejak peradaban bisa dihapus, tetapi nilai dan moral yang melekat pada benda-benda peninggalan tersebut tetap hidup.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Mengunjungi katedral, masjid, benteng, istana, kastil dan peninggalan bersejarah lain di Barcelona, Seville, Granada, Istanbul dan kota-kota lain di Spanyol dan Turki membawa kita pada saksi bisu berupa struktur, bangunan dan artefak yang dingin, yang sudah hadir di sana sejak abad ke 8 sampai 15, beberapa di antaranya bahkan jauh sebelumnya malah sudah berdiri sejak Romawi menjejakkan kekuasaannya di wilayah yang terbentang di tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. 

Saksi-saksi bisu itu menyaksikan awal penjelajahan benua baru, penemuan peradaban, penjarahan, pergantian kekuasaan, kekerasan dan perkosaan atas kemanusiaan, nyanyi pujian kepada Yang Maha Besar, kolonisasi, penjajahan, dan pengaruh budaya Romawi, (agama) Islam dan Kristen saling silih berganti. Salah satu contohnya, Katedral Seville, dibangun pada masa sejak 1401 sampai dengan 1506. Pada waktu rencananya dibuat, penguasa setempat mengatakan: "Hagamos una iglesia tan hermosa y tan grandiosa que los que la vieren labrada nos tengan por locos." Mari kita bangun gereja yang begitu indah dan megahnya, sehingga siapa saja yang melihatnya nanti akan mengatakan bahwa kita semua adalah orang gila”.

Basilika menempati situs masjid besar Aljama, yang sebelumnya dibangun oleh Almohads, penguasa dinasi Moor pada waktu itu. Istana Alcazar yang diperuntukkan bagi tempat tinggal untuk kalangan monarki (Kristen) pada waktu itu, dibangun oleh penguasa Alhambra di Granada (Islam), memenuhi permintaan keluarga monarki di Seville. Tidak heran bila di banyak bagian istana Alcazar, kita temukan struktur dan artefak di sana yang mengandung banyak seni dan arsitektur Islam, termasuk panel yang mengukir dengan indahnya 99 asma Allah.

Di Aya Sofia, Istanbul, yang awalnya merupakan struktur bangunan Romawi, dijadikan gereja dan masjid silih berganti,  kita bisa melihat bahwa asma-asma tertulis Allah mengapit lukisan Maria dan bayi Nabi Isa.

Yang kita rasakan dari persinggungan pada bukti-bukti peradaban itu adalah bahwa agama, ideologi dan kekuasaan berkembang, atau bahkan bisa mundur, dan penguasa jatuh bangun, dalam rentang waktu yang sangat panjang. Tidak ada apapun atau siapapun yang abadi. Tetapi apa yang sudah berlalu tetaplah ada di sana, untuk menjadi pengingat umat manusia bahwa kita pernah di sana, di titik itu, dimana kemuliaan, kekerasan, peradaban tinggi, kebudayaan, kemanusiaan, dan kehancuran bangsa dan nilai akan selalu datang dan pergi silih berganti, seperti juga bumi yang tiada hentinya berputar pada sumbunya. Sekali berada di atas, kemudian di bawah, dan secara ajeg menjadi gelap dan kemudian terang bergantian.

Dua patung Buddha yang terbesar di dunia dalam posisi berdiri yang dihancurkan oleh Taliban di Bumiyan, Afghanistan pada tahun 2001, dibangun pada abad ke 6. Sekarang patung itu hanya dapat hadir dalam bentuk imaji 3-dimensi di lokasi bekas patung-patung tersebut berada.

ISIS - Islamic State of Iraq and Syria or IS - Islamic State) sejak tahun 2014 di Irak, Suriah dan Libya, menghancurkan sejumlah tempat peribadatan dan artefak kuno yang punya nilai historis yang tinggi. Di Irak, sejak Juni 2014 sampai Februari 2015, waktu di antara jatuhnya Mosul, ISIS merampok dan menghancurkan sedikitnya 28 bangunan-banguan keagaamaan yang punya nilai historis tinggi. Benda-benda peninggalan sejarah yang berharga dari bangunan-bangunan tersebut diselundupkan dan dijual untuk membiayai kegiatan ISIS.

Usaha menghapus sejarah dan jejak peradaban selalu ada dimana-mana dan dengan berbagai macam alasan, dari alasan berselubung keagamaan, politis, komersial bahkan karena gatal tangan semata. Benda-benda itu bisa dihancurkan, jejak peradaban bisa dihapus, tetapi nilai dan moral yang melekat pada benda-benda peninggalan tersebut tetap hidup. Ia tetap hidup dalam kitab-kitab, cerita-cerita, ajaran-ajaran, kepercayaan, dan bahkan kodifikasi maupun bahasa lisan. Dalam kitab-kitab, cerita-cerita, ajaran-ajaran, kepercayaan, dan kodifikasi maupun bahasa lisan, terkandung hukum, moral dan etika yang hidup atau pernah hidup. Ia mengempis, menggelembung, dan seringkali ikut hilang karena dimakan zaman atau karena sengaja dihilangkan. Tapi ia tidak pernah betul-betul mati. Konsep keadilan, keseimbangan hak dan kewajiban, kepastian hukum, moral dan etika, hubungan yang sewajarnya antar penguasa dan warga, dan antar para warga sendiri, pernah hadir dalam peradaban tersebut, pernah juga kemudian hilang atau dihilangkan, tetapi akan tetap berevolusi selama manusia ada di muka bumi.

Kita menghargai bangsa-bangsa yang menghargai jejak peradaban. Banyak di antara kita sendiri menganggapnya sebagai kekunoan, ketinggalan, dan keterbelakangan. Jejak peradaban menuturkan apa dan siapa yang pernah mendahului kita, dan kenapa kita seperti sekarang ini. Kalau jejak peradaban mencatat kekerasan, perusakan dan bahkan genosida sekalipun, maka kita bisa memahami apa dan siapa kita, dan mungkin sedikit banyak apa yang kita masih lakukan sebagai warisan peradaban. Kalau dari jejak peradaban, seperti yang terjadi di Seville dan Granada berabad-abad yang lalu, terjadi suatu kehidupan damai dari berbagai kelompok orang yang berbeda ras, etnis, kebangsaan, warna kulit, agama, dan budaya, maka kitapun harus bisa belajar sekarang ini bahwa itu bisa dilakukan dimanapun juga di berbagai belahan bumi.

Kita seharusnya bisa menolak asumsi bahwa peradaban adalah seperti bumi yang berputar itu, bisa membaik, dan kemudian memburuk, sehingga kehidupan damai seperti itu pada gilirannya bisa memudar dan bahkan hilang, diganti oleh hegemoni, dominasi, penindasan dan kekerasan oleh satu terhadap lainnya.

Dengan belajar dari peradaban, kita seharusnya jauh lebih pintar dan bijak dari mereka yang hidup di masa lalu, untuk mengetahui bahwa kehidupan yang lebih baik untuk sesama adalah kehidupan penuh dengan toleransi dalam masyarakat yang plural dalam tatanan hukum dan moral yang juga menjadi sikap hidup dalam keseharian kita.

ATS
Januari 2016   
Tags: