Pengacara Properti: PP Hunian WNA Sesuai Ruh UU Pokok Agraria
Utama

Pengacara Properti: PP Hunian WNA Sesuai Ruh UU Pokok Agraria

Bahwa hak orang asing hanya sampai hak pakai. Sebaiknya, definisi orang asing tidak hanya bergantung pada definisi yang terdapat dalam UU Keimigrasian.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi WNA. Foto: RES
Ilustrasi WNA. Foto: RES
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Pengacara yang bergelut di bidang properti, M. Joni, mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan lahirnya PP tersebut selama masih mengandung prinsip nasionalitas.

Dia mengatakan, selama Warga Negara Asing (WNA) masih diberikan hak pakai, hal itu masih sesuai dengan ruh yang terdapat dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menjadi pedoman hukum agraria di Indonesia.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan jangan takut Indonesia tergadaikan. Karena selagi tidak melanggar UU PA, silakan saja. Selama tidak melanggar asas nasionalitas menurut saya silakan saja. UU PA juga sudah mengatur bahwa WNA memang memiliki hak pakai. Jadi, memang masih seperti yang diatur oleh UU PA. Hemat saya, PP terbaru tentang hunian orang asing tetap menjaga ruh dan semangat itu. Bahwa hak orang asing hanya sampai hak pakai,” kata Joni kepada hukumonline, Rabu (20/1), di Jakarta.

Menurut Joni, saat ini Indonesia berada pada dua posisi yang harus diintegrasikan yaitu mengintegrasikan kebutuhan orang asing yang tinggal di Indonesia untuk bisa memiliki hunian. Sehingga, warga asing yang memiliki kepentingan di Indonesia diberikan medium yang pas melalui lahirnya PP tersebut.

“Huniah adalah hak publik. Artinya, setiap orang punya hak untuk memiliki hunian untuk tempat tinggal. Jadi. selagi mereka punya kepentingan untuk hunian saya kira ini adalah medium yang pas untuk yang mau tinggal di Indonesia dengan fitur hak pakai,” ujarnya.

Joni juga menjelaskan, sebaiknya definisi orang asing tidak hanya bergantung pada definisi yang terdapat dalam UU Keimigrasian. Yang terpenting, lanjut Joni, izin dengan hak pakai yang diberikan kepada WNA harus ada alasan yang jelas dan kebermanfaatan untuk Indonesia.

Di samping itu, kata Joni, pemerintah di era Masyarakat Ekonomi ASEAN juga harus memberikan kepastian untuk WNA yang memiliki banyak kegiatan di Indonesia namun tidak memiliki izin menetap di Indonesia, sehingga tidak terjadi penyelundupan hukum. Tantangan kedepan orang borderless demi kepentingan kenyamanan menjadi tantangan kedepan yang harus kita siapkan.

“Mesti ada kolerasi dan kebermanfaatannya untuk indonesia mengapa dia harus diberi izin hunian tersebut. PP ini memberikan reason WNA yang sedemikian yang bisa membeli, kriteria itu harus dimiliki. Artinya, kalau dia tinggal di Singapura dan hanya ingin membeli di Batam, dia tidak memiliki justifikasi. Tetapi untuk orang yang berprofesi dan lebih sering di Indonesia, namun tidak memiliki izin menetap di Indonesia, bisa saja diberikan hak pakai tersebut. Saya kira mestinya hukumnya melar dan luwes itu yang harus diketahui oleh pemerintah,” tambahnya.

Selain itu, Joni menjelaskan perlunya zonasi area mana saja yang boleh digunakan oleh WNA yang memiliki hak pakai. Hal tersebut bisa menjadi alat untuk bisa memetakan investasi properti asing. PP ini bisa menjadi medium berkembangnya kawasan itu, di samping melindungi WNI dari competitiveness yang tidak sehat.

“Kalau sekarang tidak ada limitasi dan zonasi. Zonasi diberikan untuk memberikan kepastian yaitu hanya alat untuk melihat properti asing itu daerah mana yang mesti dikembangkan. Juga sebenanrnya sangat tidak logis kalau memberikan hak unian orang asing tetapi sangat jauh dengan tempat bisnis, industri, ataupun parisiwata. Kausalnya lebih baik kausal investasi, komersial, pariwisata atau kawasan khusus,” ujarnya.

Selain mengenai zonasi dan definisi WNA, menurut Joni, pemerintah harus memastikan adanya perlindungan atas hak pakai WNA tersebut bisa memiliki fungsi bankable atau transferable. Hal itu karena rumah selain digunakan untuk tempat tinggal tetapi digunakan untuk investasi harta benda.

“Yang kita tidak dapat lupakan, rumah bukan hanya sekadar tenpat tinggal tetapi juga investasi, harta benda. Rumah sebagai investasi punya perlundungan hukum juga, apakah dia transferable atau bankable atau tidak. Negara harus menjaminkan bahwa dia bisa transferable artinya bisa dialihkan ke pihak lain, bankable atau tidak. UU Agraria itu menurunkan untuk dapat dijaminkan atau bankable,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait