Begini Cara Jepang Atasi Pembajakan Hak Cipta
Berita

Begini Cara Jepang Atasi Pembajakan Hak Cipta

Pro aktif, tidak hanya menunggu aduan dari pihak pemegang hak cipta.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
ilustrasi pembajakan: BAS
ilustrasi pembajakan: BAS
Di negara maju dengan ekonomi mapan seperti Jepang, pembajakan hak cipta masih marak terjadi. Acara televisi, animasi, film, musik, maupun konten-konten lainnya sangat mudah ditemukan versi bajakannya. Bahkan, satu sampai dua jam setelah penayangan perdana, versi bajakan sudah bisa diunduh di internet.

Menurut anggota Komite Hak Cipta Asosiasi Animasi Jepang (AJA), Yoshihiro Ueno, motif ekonomi tetap menjadi latar belakang maraknya pembajakan di negeri sakura itu. Ia menilai, mahalnya harga versi asli membuat orang Jepang lebih memilih menikmati versi bajakan. Padahal, kesadaran mengenai perlindungan hak cipta di Jepang sudah cukup maju.

Untuk menanggulangi pembajakan itu, pada tahun 2002 Ministry of Economics, Trade and Industry dan Agency for Cultural Affairs Government of Japan menginisiasi asosiasi perusahan-perusahaan di bidang industri kreatif. Asosiasi yang bernama Content Overseas Distribution Association (CODA) itu bertugas menghentikan distribusi illegal tak hanya di Jepang, tetapi juga di luar negeri. Selain mendapatkan dana dari APBN, CODA juga mengumpulkan iuran anggota untuk membiayai operasionalnya.

Dalam menjalankan tugasnya, CODA bergerak pro aktif, tak hanya menunggu laporan dari pihak pemegang hak. Jika ada laporan dari pemegang hak dan pelanggaran terjadi di Jepang, CODA bergerak bersama polisi. Sementara, jika tak ada laporan dan pelanggaran terjadi di luar Jepang,  CODA berperan sebagai perantara.

Tujuan utama CODA memang bukanlah menghukum pembajak. Organisasi itu hanya berusaha agar para pembajak menghentikan aksinya. Untuk menyukseskan hal itu, CODA selalu melakukan negosiasi tatap muka dengan para pembajak.

“Kita telusuri di mana pembajaknya. Misalnya, situs Anitube, ternyata administratornya ada di Brazil. Servernya ada di Amerika Serikat. Registrasi domainnya ada di swedia.Ini sedang dikejar oleh CODA. Sekarang masih dalam negosiasi untuk menghapus kontennya,” tutur Kiyotaka Watanabe, representative CODA dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (28/1).

Selain pengejaran, CODA juga aktif melakukan kerja sama dengan perusahaan keamanan perangkat lunak. Hal ini untuk memblokir akses bagi situ-situs yang memuat konten bajakan agar tidak masuk dalam aplikasi resmi. Sehingga, ketika situs illegal tersebut dibuka, akan muncul tampilan bahwa situs tersebut tak bisa diakses karena berisi konten bajakan.

Kerja sama juga dijalin CODA dengan mesin pencari seperti Yahoo dan Google. Organisasi itu meminta secara resmi agar situs-situs yang emmuat konten bajakan tak muncul dalam hasil pencarian. Menurut Kiyotaka, sejak 2014 lalu pihaknya telah sukses menjalankan program “trusted copyright removal” bersama Google.

Tak hanya itu, CODA juga bekerja lebih jauh dengan memotong sumber dana bagi situs-situs yang pembajak. Sebab, menurut Kiyotaka, kenyataannya banyak perusahaan yang memasang iklan di sistus pembajak. Dana yang didapatkan dari iklan semacam itu pun tak sedikit nilainya.

“Kita bekerja sama dengan organisasi periklanan agar perusahaan-perusahaan tidak memasang iklan di situs yang memasang hasil pembajakan,” ujar Kiyotaka.

Di sisi lain, upaya perlindungan hak cipta yang dilakukan CODA tak berhenti pada penghentian tindakan pembajakan. CODA juga menjembatani pemilik situs yang dinegosiasi dengan para pemilik hak resmi. Dengan demikian, terjalin hubungan bisnis yang tidak melanggar hak cipta.

Di Indonesia, hasil survey oleh Ernst And Young pada tahun 2014 terhadap 600 responden di Jakarta juga menunjukan bahwa masyarakat sudah memahami perlindungan tentang hak cipta. Sebanyak 80% responden mengaku mengetahui adanya UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sementara, 70% juga tahu bahwa pemegang hak cipta pun menerima uang dari hasil karnyanya.

“Masalahnya, pelanggaran hak cipta di Indonesia merupakan delik aduan. Jika tidak ada laporan dari pihak yang resmi, pemerintah tidak bisa bergerak,” ujar Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham, Erni Widhyastari.

Sementara itu, tindakan penutupan situs pembajakan bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM. Menurut Erni, pihaknya hanya bisa memberikan pertimbangan hukum. Sementara eksekusinya merupakan kewenangan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Anggota Komisi X DPR RI yang juga artis, Anang Hermansyah, berharap peraturan dan kebijakan pemerintah dapat menyesuaikan dengan tren industri dan teknologi saat ini. Menurutnya, peraturan-peraturan yang ada mampu harus mendukung karya para pelaku seni. Ia pun meminta pemerintah menindak tegas para pelaku pembajakan.

"Terbukti, setelah ada penindakan tegas dari pemerintah dan Polri, ada lima pabrikan pengganda CD musik yang berkomitmen untuk menjual CD original. Ke depan, langkah-langkah seperti itu ditingkatkan agar industri musik Indonesia terus tumbuh dan dilindungi," katanya.
Tags:

Berita Terkait