Menteri Yasonna: Indonesia Masih Kekurangan Pengacara Andal
Utama

Menteri Yasonna: Indonesia Masih Kekurangan Pengacara Andal

Kemampuan berbahasa asing profesi hukum salah satu kunci sukses masuki MEA.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly berbicara dalam Diskusi Ilmiah dan Reuni Akbar Alumnus FH USU, Jakarta, Sabtu (30/1). Foto: MYS
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly berbicara dalam Diskusi Ilmiah dan Reuni Akbar Alumnus FH USU, Jakarta, Sabtu (30/1). Foto: MYS
Lalu lintas barang, jasa dan tenaga kerja professional antarnegara-negara Asia Tenggara kian terbuka setelah integrasi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Semua profesi hukum harus menyiapkan diri menghadapi persaingan yang semakin kompetitif.

Berbicara dalam diskusi ilmiah dalam reuni akbar alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Jakarta, Sabtu (30/1), Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengingatkan iklim kompetisi yang berlangsung dalam MEA akan berimbas pada profesi hukum. Salah satunya pengacara.

Selama ini, kata Yasonna, Pemerintah kesulitan mendapatkan pengacara lokal yang andal beracara di tingkat internasional seperti dalam forum-forum arbitrase internasional. Pemerintah membutuhkan pengacara lokal andal itu saat ada gugatan melalui arbitrase. Dalam iklim investasi sekarang, potensi gugatan melalui arbitrase internasional kian besar.

Karena itu Yasonna menilai pengacara andal dibutuhkan. Selama ini, walau sudah menggunakan pengacara lokal yang dianggap punya kualitas terbaik, tapi tetap saja untuk menghadapi gugatan di arbitrase Pemerintah masih menyewa pengacara dari luar negeri.

Yasonna berharap agar ke depan profesi hukum di Indonesia bisa menyiapkan diri agar mampu bersaing di tingkat global. Menurutnya, profesi hukum harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa asing. “Kesiapan ini sangat dibutuhkan, kemampuan berbahasa asing itu penting,” katanya dalam acara reuni akbar yang dihadiri sejumlah tokoh dan pejabat hukum itu.

Sejauh ini profesi hukum memang tak disebut secara langsung dalam Mutual Recognition Agreement (MRA). Yang disebut adalah profesi akuntan, teknik, arsitektur, keperawatan, kesehatan (tenaga medis), dokter gigi dan pariwisata. Tetapi bukan berarti tak ada implikasi MEA terhadap jasa-jasa yang diberikan penyandang profesi hukum.

Ketua Umum DPN Peradi, Fauzi Yusuf Hasibuan, melihat profesi hukum khususnya advokat masih punya waktu dua tahun lagi untuk ikut bersaing dalam MEA. Untuk menghadapi itu harus dilakukan persiapan yang baik sehingga Indonesia bisa memenangkan kompetisi yang ada di MEA.

Sebagai organisasi advokat yang ditugaskan negara untuk melakukan rekrutmen dan pendidikan advokat, Fauzi menyebut lembaganya sudah menyiapkan langkah menghadapi MEA. Di antaranya menjalin kerjasama dengan universitas untuk meningkatkan pendidikan advokat. Saat ini Peradi telah bekerjasama dengan program Magister Universitas Gajah Mada. “Ke depan rekrutmen dan pendidikan advokat dilakukan lewat kerjasama dengan universitas,” ujarnya.

Advokat dan kurator Ricardo Simanjuntak berpendapat profesi hukum berjalan beriringan dengan aktivitas bisnis. Oleh karenanya di era MEA ia melihat kerja-kerja advokat akan lebih banyak berkutat pada kegiatan non litigasi. Misalnya, membantu pelaku usaha agar berbisnis sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. “Ketika investor asing mau berinvestasi di Indonesia pasti dia akan bertanya kepada pengacara bagaimana hukum yang ada di Indonesia,” tukasnya.

Ricardo juga melihat ada ketentuan dalam UU Advokat yang melarang advokat asing berkantor di Indonesia. Namun ia yakin ketentuan itu di era MEA tidak akan bertahan. Oleh karenanya profesi hukum di Indonesia, khususnya advokat harus siap menghadapi MEA dan era globalisasi. Salah satu kemampuan yang wajib dimiliki profesi hukum agar mampu bersaing di era MEA yakni berbahasa asing.

“Kalau kita tidak mempersiapkan diri dengan baik maka peluang MEA tidak dapat kita raih,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait