Penelitian Terbaru, Eksekutif Sering Malakonstitusi
Berita

Penelitian Terbaru, Eksekutif Sering Malakonstitusi

Semua penyelenggara negara harus taat dan menghormati pasal-pasal konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: SGP/Hol
Gedung MK. Foto: SGP/Hol
Berbagai peristiwa di tahun 2015 yang lahir dari kebijakan atau tindakan penyelenggara negara dinilai melanggar konstitusi. Pelanggaran ini berpengaruh pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, kesehatan, HAM, politik, budaya. Misalnya, mulai dari kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang didasarkan mekanisme pasar, dualisme pengelolaan desa, dan polemik pengangkatan calon Kapolri.

Tak hanya itu. Kenyataan ada sekitar 4,9 juta anak usia sekolah belum mengenyam pendidikan, krisis air dan lingkungan bersih, bencana banjir di sejumlah daerah, beda pandang dan sikap MK dan MA tentang pengajuan PK hanya sekali, hingga kebakaran hutan di Sumatera, dan berbagai peristiwa lain di Tanah Air, tak lepas dari kesalahan tindakan penyelenggara negara yang berimbas merugikan hak-hak masyarakat yang dijamin UUD 1945.

Demikian inti hasil penelitian Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Padang, yang baru dirilis. Hasil kajian PUSaKO berjudul “Barometer Mala-Konstitusi 2015” memperlihatkan Pemerintah sebagai lembaga eksekutif menempati urutan pertama yang paling sering melanggar konstitusi selama tahun 2015. Diikuti pemerintah daerah, DPR dan DPD (legislatif), lembaga negara independen. Pelanggaran konstitusi terendah ditempati MK dan MA (yudikatif).

Koordinator penelitian, Feri Amsari, mengungkapkan kajian ini berupaya mendata dan mengalisis semua kebijakan atau tindakan penyelenggara negara yang bertentangan dengan UUD 1945. Lalu, semua data peristiwa itu dikelompokkan dan disimpulkan melanggar pasal-pasal UUD 1945 atau disebut malakonstitusi di bidang ekonomi, hukum, HAM, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

“Dari data itu, pemerintah terbanyak atau tertinggi melakukan malakonstitusi. Diikuti pemerintah daerah karena keduanya sebagai pelaksana fungsi administrasi atau kebijakan negara dan daerah,” ujar Feri Amsari saat dihubungi hukumonline, Selasa (02/2).

Dosen FH Andalas ini menuturkan sepanjang 2015 total pelanggaran konstitusi yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah berjumlah 214 kasus dan 116 kasus dengan beragam jenis pelanggaran. Jumlah ini belum data final karena penelitian berbasis data media memiliki kelemahan karena tidak semua peristiwa yang berimbas melanggar konstitusi diberitakan media.

Kasus menonjol malakonstitusi adalah bencana kabut asap Sumatera. Pemerintah dinilai kurang mampu menanggulangi bencana ini yang berdampak luas bagi masyarakat sekitar, bahkan ada warga yang menjadi korban. malakonstitusi pemerintah daerah lebih banyak kasus penggusuran lantaran tidak disediakan tempat tinggal pengganti yang layak.

“Kedua lembaga ini terbanyak melanggar Pasal 28H dan Pasal 28D UUD 1945 terkait hak-hak warga negara, seperti hajat hidup orang banyak, ketersediaan air bersih, lingkungan sehat, tempat tinggal yang layak,” lanjut Feri.

Meski begitu, dia mengingatkan penelitian ini tidak menekankan tingginya kuantitas malakonstitusi yang dilakukan penyelenggara negara. Namun, lebih melihat pada dampak yang ditimbulkan dari kebijakan/tindakan penyelenggara negara itu. “Kita lebih melihat akibat dari tindakan pelanggaran konstitusi itu masif (meluas) atau tidak,” kata dia.

Di urutan ketiga diduduki lembaga legislatif dengan 31 kasus malakonstitusi. Meski pelanggaran konstitusi lembaga legislatif relatif sedikit, namun akibat pelanggaran berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, terutama bidang hukum, ekonomi, sosial, politik, dan HAM. Dampak terbesar pelanggaran konstitusi adalah bidang hukum sebesar 31 persen yang diikuti bidang politik sebesar 28 persen.

“Tindakan pelanggaran konstitusi bidang hukum dan politik itu berupa sikap DPR dan/atau anggota DPR menanggapi kisruh antara KPK dan Polri yang memihak lembaga tertentu. DPR juga kerap memanfaatkan kewenangannya demi kepentingan partai ketika menggunakan hak angket terkait kisruh partai politik tertentu dengan ‘mengadili’ kebijakan Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya mencontohkan.

Lembaga negara independen dan lembaga yudikatif lebih banyak menyoroti konflik atau perdebatan berkepanjangan antar lembaga, sehingga mengganggu fungsi lembaga yang berimbas terabaikannya hak-hak masyarakat. Misalnya, konflik KPK-Polri, konflik KY dan MA terkait kewenangan objek pengawasan hakim, yang berakibat ketidakpastian hukum, putusan MA yang berdampak membebani kehidupan ekonomi para petani karena dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).

“Lembaga independen sebanyak 9 kasus dan lembaga yudikatif 6 kasus melakukan malakonstitusi berkaitan dengan perlindungan HAM yang dijamin Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28F UUD 1945.”

Menurutnya, dari semua peristiwa malakontitusi itu, semua penyelenggara negara masih mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang dijamin konstitusi. Artinya, lembaga negara dan penyelenggara negara tidak memiliki kesadaran berkonstitusi yang tinggi demi menjamin hak-hak warga negara. “Nantinya, kita berharap semua penyelenggara negara taat dan menghormati pasal-pasal konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat,” katanya.
Tags:

Berita Terkait