4 Potensi Konflik Kepentingan dalam Fenomena Silent Partner
Berita

4 Potensi Konflik Kepentingan dalam Fenomena Silent Partner

Bisa menjadi pertimbangan advokat sebelum menggandeng silent partner.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Profesi advokat. Foto: RES (Ilustrasi).
Profesi advokat. Foto: RES (Ilustrasi).
Adanya silent partner dalam firma hukum tak melulu soal berfungsi untuk mendukung dari segi pendanaan saja. Namun dalam perjalanannya, seorang silent partner juga berpotensi memicu konflik kepentingan khususnya yang berkaitan dengan bisnis pribadinya sendiri. Hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi advokat sebelum menggandeng seorang silent partner.

Dihimpun dari hasil wawancarahukumonline dengan tiga pemilik law firm di Jakarta, Andrey Sitanggang, GP Aji Wijaya, dan Ahmad Fikri Assegaf, setidaknya terdapat empat potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul dan biasa dilakukan oleh silent partner.

Berikut empat potensi konflik kepentingan dalam fenomena silent partner:

1.    Memohonkan Pailit untuk Keperluan Pribadi
Aji yang merupakan pendiri kantor hukum Aji Wijaya & Co mengatakan, bahwa silent partner yang berkontribusi dalam law firm bisa saja berlaku seenaknya. Bahkan bukan tidak mungkin, silent partner bisa meminta law firm tersebut untuk mengajukan gugatan pailit atas suatu perusahaan agar dapat menguasai perusahaan itu.

“Misalnya anda pemodal saya. Kemudian anda tau ada satu perusahaan yang anda inginkan. Anda bilang ke saya ‘gue mau perusahaan ini dong, Ji. Tolong hostile.’ Saya cari informasi tentang perusahaan itu, (saat ada celah) saya mohonkan pailit ke perusahaan itu. Kemudian anda sebagai investor membeli lah semua kekayaan debitur pailit,” kata Aji kepada hukumonline, Senin (1/2).

2.    Melawan Kliennya Sendiri
Beda lagi ceritanya apabila silent partner memiliki kantor hukum lain dan menjadi active partner di firma tersebut. “Konflik yang paling sering timbul adalah melawan klien dari kantornya itu," kata Fikri, Managing Partner pada Assegaf Hamzah & Partners.

Terpisah, Aji menggambarkan bagaimana konflik ini biasa terjadi. “Misalnya, saya punya klien nih. Kan ngga mungkin saya menggugat klien saya. Nah terus ada calon klien datang, ‘Pak Aji, tolong gugatin perusahaan itu dong.’ Wah saya ngga bisa dong karena itu klien saya,” ucapnya.

Tapi, hal berbeda dilihat oleh silent partner. Menurut Aji, sang “pemilik modal” melihat hal ini sebagai suatu potensi dan dapat meminta kantor hukumnya yang di daerah lain untuk melawan. “Ntar lu lawan gue ya. Ntar gue pura-pura kalah dan sebagainya. Ya gitu-gitu lah,” ujar Aji.

3.    Mengangkat Kerabat Menjadi Kurator dalam Perkara Pailit
Konflik lain yang mungkin muncul adalah kecurangan-kecurangan dalam menangani suatu perkara. Misalnya, mengajukan adik kandung sebagai kurator dalam perkara permohonan pailit yang dilakukan oleh firma hukum di mana namanya tak muncul sebagai active partner di situ.

“Seandainya adik saya mau jadi kurator. Saya megang perkara pailit. Tapi saya kan ngga bisa mencalonkan adik saya, karena pasti dibilang akan terjadi konflik kepentingan. Sehingga saya minta saja lah ke firma di mana saya sebagai silent partner supaya adik saya bisa dicalonkan menjadi kurator dalam perkara-perkara di sana,” kata Aji.

4.    Memegang Perkara Pailit Lebih dari Tiga
Masih seputar kepailitan, kali ini Andrey menyebutkan konflik kepentingan yang biasa disiasati silent partner adalah membuka banyak law firm agar advokat yang juga berprofesi sebagai kurator bisa memegang lebih dari tiga perkara.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kurator hanya boleh menangani perkara paling banyak tiga perkara dalam waktu yang bersamaan.
Pasal 15 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004
Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.

Menurut andrey, lantaran ada larangan tak boleh memegang perkara kepailitan lebih dari tiga, siasatnya adalah membuat banyak kantor hukum. Kemungkinan ini bisa terjadi dengan alasan agar tak melanggar UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

“Karena ada larangan tidak boleh memegang perkara kepailitan lebih dari tiga sekaligus jadi dia bikin bendera A, B, C, padahal itu orangnya dia-dia juga. Ceritanya lagi laris manis tapi dilarang karena maksimum tiga, maka diciptakan lah firma-firma baru, kan begitu,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait