Revisi UU Migas Perlu Akomodasi Mekanisme Komplain
Berita

Revisi UU Migas Perlu Akomodasi Mekanisme Komplain

Perlindungan investor penting, tetapi pemenuhan hak masyarakat tak kalah penting.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Migas Perlu Akomodasi Mekanisme Komplain
Hukumonline

Salah satu yang sering menjadi masalah dalam pembukaan lahan tambang adalah penolakan warga sekitar, yang terkadang bisa berujung pada bentrokan. Niat Pemerintah dan DPR untuk merevisi kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, perlu dijadikan momentum mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Demikian antara lain harapan yang disampaikan Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang, Kibagus Hadi Kusuma. Bagus menekankan pentingnya mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar tambang karena mengabaikan kepentingan mereka sama saja menyimpan bom waktu. Revisi UU Migas dan UU Minerba, kata dia, seharusnya memuat aturan mekanisme komplain masyarakat  terhadap kehadiran tambang di sekitar lingkungan mereka.

Bagus percaya mekanisme komplain yang tak ada, atau tersumbat, justru memicu demo penolakan di banyak lokasi tambang. Ironisnya, warga yang menolak kehadiran tambang acapkali dituduh melanggar hukum atau dikriminalisasi dengan tuduhan menghalang-halangan perekonomian nasional.

“Arah revisi UU Migas dan UU Minerba harus memberi ruang kepada masyarakat yang ada disekitar wilayah pertambangan untuk memberi usulan dan saran terhadap investasi yang mau masuk ke daerah mereka,” kata Bagus.

Penolakan warga juga bisa disebabkan sosialisasi yang kurang. Selama ini, sosialisasi baru dilakukan setelah ada izin. Sosialisasi sebenarnya bisa dilakukan jauh-jauh hari agar masyarakat juga bisa mempersiapkan diri. Bahkan mungkin bisa memberi saran, usulan, atau ide langkah selanjutnya.

Selain tentang mekanisme komplain, Bagus menilai penting mempertegas ketentuan cost recovery dalam revisi UU Migas. Biasa yang harus ditanggung Pemerintah ini harus jelas rinciannya agar hal-hal yang tidak perlu tak dikualifikasi sebagai biaya yang harus ditanggung negara.

Bagus juga mengingatkan dalam penjelasan poin 9 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi wewenang kepada Kepala Desa untuk mengelola SDA yang ada di wilayahnya. Menurutnya harus ada peraturan teknis yang mengatur pengelolaan SDA di tingkat Desa. Bentuknya bisa seperti Peraturan Pemerintah (PP) karena banyak institusi terkait yang bersinggungan di bidang SDA.

Jika peraturan teknis itu tidak dibentuk Bagus khawatir pemerintah desa akan arogan terhadap masyarakat yang menolak tambang. “Jangan sampai kasus yang menimpa Salim Kancil terjadi lagi,” tukasnya.

Manager Management Knowledge & Research Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengaitkan rencana revisi UU Minerba dan UU Migas dengan wacana pemerintah untuk masuk dalam blok ekonomi Trans Pacific Partnership (TPP). Ia menjelaskan dalam perjanjian TPP itu terkait investasi mewajibkan negara pihak untuk memberi perlidungan maksimal terhadap investor. Perlindungan itu meliputi semua hal bukan saja terhadap investasi yang bentuknya langsung atau portofolio. Perlindungan masyarakat juga tak bisa dilupakan.

TPP mengatur negara pihak untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap investor lokal dan asing. Berikutnya, ada larangan untuk melakukan nasionalisasi terhadap investasi baik itu dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Nasionalisasi secara langsung biasanya bisa dilakukan dengan mengambil investasi secara fisik. Nasionalisasi tidak langsung bisa dilakukan dengan cara divestasi saham. Padahal UU Minerba mengatur tentang divestasi yang ditawarkan investor terhadap pemerintah.

Rachmi mengingatkan jika pemerintah masuk TPP maka banyak regulasi terkait investasi yang akan berubah karena menyesuaikan dengan syarat-syarat TPP. Jika tidak dilakukan, pemerintah bisa digugat investor ke arbitrase internasional. “Jika masuk TPP maka Indonesia berpotensi rawan digugat investor,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait