Ini Alasan RUU Pertembakauan Tidak Layak Masuk Prolegnas 2015-2019
Berita

Ini Alasan RUU Pertembakauan Tidak Layak Masuk Prolegnas 2015-2019

Pasal-pasal yang ada dalam RUU tidak mencerminkan perlindungan terhadap petani, tapi justru melindungi perusahaan rokok.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: SGP
Foto ilustrasi: SGP
RUU Pertembakauan kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019 setelah pada periode sebelumnya juga menduduki daftar tersebut. Banyak pihak menilai, RUU Pertembakauan tersebut merupakan “titipan” perusahaan rokok. Sebab, isi dari RUU tersebut mencerminkan perlindungan terhadap industri rokok di Indonesia.

Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), Kartono Mohammad, mengatakan tidak ada urgensi bagi parlemen dan pemerintah untuk mengesahkan RUU tersebut. Kartono menampik pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pembahasan RUU Pertembakauan adalah untuk melindungi petani tembakau.

Menurutnya, perlindungan terhadap petani tembakau cukup dengan payung hukum berupa UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.Lagi pula, Kartono mengingatkan bahwa tembakau bukanlah komoditas utama di Indonesia. Sebab, produksinya hanya terjadi di tiga provinsi. Artinya, petani yang dilindungi hanya sebagian kecil dari seluruh petani di Indonesia.

“Mengapa tidak buat RUU Perpadian segala? Kenyataannya kan kita masih impor beras. Padahal petani yang menanam beras lebih banyak daripada yang menanam tembakau,” tandas Kartono.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pasal-pasal yang ada dalam RUU tidak mencerminkan perlindungan terhadap petani. Justru, menurut Kartono isi RUU Pertembakauan sangat gamblang melindungi perusahaan rokok. Ia mencontohkan, RUU tersebut seperti menganulir ketentuan pembatasn rokok yang diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sebab, RUU Pertembakauan member kelonggaran atas kawasan tanpa rokok.

Selain itu, menurut Kartono ketentuan pembatasan gambar peringatan dalam kemasan rokok juga menguntungkan perusahaan rokok. Ia mengatakan, di dalam RUU Pertembakauan gambar itu hanya boleh 40% dari total kemasan. Padahal, menurutnya di negara-negara lain seluruh bungkus rokok penuh bergambar ilustrasi peringatan akibat merokok.

Ketua Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok, Jalal, menambahkan bahwa banyak ketentuan mengenai perlindungan petani dan pekerja yang tidak ada dalam RUU Pertembakauan. Ia mengatakan, klausul yang termuat justru membebani petani. Menurutnya, ada pasal yang mengatur bahwa cukai rokok diberikan kepada petani tembakau.

“Ini merupakan bentuk penyelewengan hukum. Sebab, cukai itu kan untuk pengendalian dan rehabilitasi dampak negatif yang diakibatkan dari rokok,” tuturnya.

Jalal merinci ketentuan-ketentuan terkait perlindungan yang tidak dimuat dalam RUU tersebut. Pertama, mengenai harga jual tembakau. Jalal mengatakan, seharusnya jika ingin melindungi petani RUU itu mengatur bahwa industri rokok wajib menyerap seluruh produksi yang dihasilkan petani tembakau. Penetapan harga minimal pun harus dijamin bisa meningkatkan kesejahteraan petani.

Selain itu, tentunya diperlukan aturan mengenai pembatasan impor tembakau. Sebab pada kenyataannya, menurut Jalal saat ini beberapa negara membebaskan bea impor tembakau. Akibatnya, petani harus bersaing dengan tembakau produk impor. “Konsekuensinya, para petani dipaksa menerima harga rendah,” keluhnya.

Kemudian, Jalal mengkritisi aturan perlindungan pekerja di pabrik rokok. Ia mempertanyakan tidak adanya ketentuan dalam RUU Pertembakauan yang berkaitan dengan mekanisasi. Sehingga, perusahaan bisa bebas mengganti pekerjanya dengan mesin.

“Sekarang ini yang banyak itu sigaret kretek mesin. Sementara produksi sigaret kretek tangan hampir tidak mengalami kenaikan. Itu membuktikan, perusahaan lebih memilih pekerjaan mesin ketimbang menggunakan tenaga kerja,” tegasnya.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Raya Indonesia, Herry Chariansyah, menambahkan bahwa klausul dalam RUU Pertembakauan jelas mewajibkan pemerintah melindungi industri rokok. Sebab, di dalam RUU itu disebutkan bahwa rokok merupakan warisan budaya bangsa. Dengan demikian, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi, melestarikan dan mempromosikan rokok atas nama warisan budaya tersebut.

Herry juga melihat ada upaya pemindahan tanggung jawab dari korporasi kepada negara. Hal ini ia dapati dari ketentuan mengenai perlindungan kesehatan. Ia melihat, dalam RUU Pertembakauan ada pengaturan bahwa dampak kesehatan dari rokok menjadi tanggung jawab negara.

“RUU ini tidak membawa dampak positif bagi petani, rakyat, dan negara. Karena itulah kami semua menolak RUU ini untuk dibahas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait