Begini Menilai Hujatan Kebencian Menurut Hukum Internasional
Berita

Begini Menilai Hujatan Kebencian Menurut Hukum Internasional

Hujatan kebencian telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Konvenan Hak Sipil dan Politik.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Associate Professor dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, Jeroen Temperan. Foto: www.iclrs.org
Associate Professor dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, Jeroen Temperan. Foto: www.iclrs.org
Konvenan PBB mengenai hak sipil dan politik yang telah diratifikasi menjadi UU No.12 Tahun 2005, secara jelas mewajibkan negara untuk melarang setiap tindakan yang menganjurkan kebencian agama (hate speech). Terlebih anjuran yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi atau kekerasan. Namun, bagaimana menilai sebuah anjuran termasuk hasutan atau bukan?

Associate Professor dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, Jeroen Temperman, mengatakan bahwa ada indikasi-indikasi yang bisa dipakai untuk menentukan apakah sebuah pernyataan termasuk hate speech atau bukan. Menurutnya, indikator itu bisa dilihat dari sisi konten maupun konteksnya.

“Untuk menilai sebuah anjuran kebencian kita harus melihat isinya dan konteks penyampaiannya,” kataTemperman di Jakarta, Jumat (12/2).

Menurut Temperman, sisi konteks merupakan hal yang lebih penting untuk ditelaah. Sebab, hal itu menjadi dasar untuk memahami mengapa pernyataan tersebut disampaikan. Namun, ia mengingatkan bahwa bagaimanapun isi yang disampaikan merupakan hal pertama yang ditangkap secara nyata oleh audiens.

Dalam memahami konten, menurut Temperman, kata-kata yang menyerang harus benar-benar terucap. Ia mengakui, memang banyak kode bahasa yang bisa saja digunakan. Tetapi, selama tidak ada ungkapan kebencian dalam bentuk kata-kata, menurutnya, sebuah pernyataan sulit untuk disebut sebagai anjuran kebencian.

“Kita tahu orang yang menyampaikan anjuran kebencian, baik dalam konteks agama maupun pandangan hidup pihak lain seperti orientasi seksual dan perlindungan terhadap perempuan dan anak, adalah orang-orang cerdas. Mereka bisa saja menyampaikan kebenciannya dalam bentuk lain selain kata-kata,” ujarnya.

Selain kata-kata yang nyata meluncur dalam pernyataan, Temperman mengatakan bahwa harus pula dilihat bagaimana cara penyampaiannya. Kemudian, sampai sejauh mana pihak yang menjadi targetitu benar-benar dinistakan. Terakhir, seberapa sering pesan kebencian itu diulang.

Sementara itu, dalam melihat konteks penyampaiannya Temperman mengatakan bahwa posisi orang yang menyampaikan harus dilihat. Dengan demikian, ia mengatakan bahwa orang tersebut apakah bisa disebut sebagai provokator atau tidak. Dirinya mencontohkan, posisi seorang jurnalis ketika menyampaikan harus dilihat apakah ia melakukan tugas jurnalistik atau bukan.

Kemudian, seberapa luas publikasi yang digunakan. Artinya, seberapa banyak orang-orang mendengar pernyataan tersebut. Apakah hanya dalam pertemuan terbatas, melalui media masa, atau secara luas disaksikan orang banyak.

Tak kalah penting adalah media yang digunakan. Menurut Temperman, media pertemuan ilmiah juga masih bisa diperdebatkan sebagai wahana penyampaian anjuran kebencian atau bukan. Sebab, harus dilihat kembali konteks penyampaiannya merupakan penhinaan dan diskriminasi atau pemaparan ilmiah.

“Mens rea juga penting ditelisik apakah orang tersebut benar-benar sengaja melakukan anjuran kebencian atau tidak,” tambahnya.

Untuk mengetahui mens rea tersebut, menurut Temperman, memang cukup sulit pembuktiannya karena harus ada kesengajaan untuk menyebarluaskan. Selain itu, pihak yang yang dinistakan harus jelas disebut. Terakhir, indikasi adanya diskriminasi juga sering kali tak bisa dibuktikan.

“Sering kali, anjuran kebencian itu disampaikan tidak secara langsung kepada pihak yang dituju. Ada segitiga antara provokator, audiens, dan pihak yang menjadi target. Sering kali, audiens ini terpengaruh melakukan aksi kekerasan terhadap pihak yang ditargetkan setelah mendengar anjuran yang disampaikan,” katanya.

Selain itu, Temperman melihat penerapan Pasal 20 ayat (2) konvensi hak sipil dan politik juga masih cukup sulit. Sebab, menurutnya ada dua hak yang saling bertabrakan dalam sebuah anjuran kebencian. Di satu sisi, ada hak atas kebebasan berekspresi yang harus dilindungi. Di sisi lain, kebebasan beragama juga merupakan hak yang harus dijunjung tinggi.

“Di sinilah masalahnya. Pasal itu baru mengatur larangan yang nyata menimbulkan diskriminasi. Padahal, ada dua kualifikasi dalam pasla itu, hujatan dan diskriminasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait