Mengintip Dampak Holding BUMN Dari ‘Kacamata’ Internal BUMN
Berita

Mengintip Dampak Holding BUMN Dari ‘Kacamata’ Internal BUMN

Beberapa dampak yang mungkin terjadi ketika wacana holding BUMN ini direalisasikan, seperti status pegawai BUMN, perusahaan itu sendiri, hingga aspek perizinan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Kementerian BUMN membentuk Forum Hukum BUMN. Foto: Sgp
Kementerian BUMN membentuk Forum Hukum BUMN. Foto: Sgp
Wacana pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara sektoral ternyata tak cuma berdampak ‘keluar’ jika dilihat dari segi hukum. Bagi kalangan intern perusahaan BUMN, wacana ini ternyata juga berpotensi menimbulkan sejumlah dampak. “Itu sudah pasti,” kata Ketua Umum (nonaktif) Forum Hukum BUMN Gunawan saat dihubungi hukumonline, Jumat (12/2).

Setidaknya, Gunawan melihat, ada tiga potensi yang akan muncul bagi internal perusahaan BUMN ketika wacana ini direalisasikan. Pertama, berkaitan dengan status pegawai BUMN. Kondisi seperti ini bisa saja terjadi ketika pola merger yang dilakukan melahirkan satu badan hukum BUMN baru sementara badan hukum yang lama menjadi hilang.

Meski hal itu tidak dinilai sebagai hambatan, namun status pegawai BUMN ini mestinya juga menjadi perhatian. Sebagai contoh, bagaimana status imbalan prestasi kerja (IPK) pegawai BUMN ketika ditempatkan di badan hukum baru pasca dilakukan merger? Salah satu jalan keluarnya, kata Gunawan, dengan melakukan kajian dari segi hukum mengenai kondisi yang ia contohkan.

“Tapi sebetulnya itu bukan hambatan, artinya bicara status ketenagakerjaan kalau misalnya badan hukum yang lama terminasi, itu kan sejauh UU Ketenagakerjaan dipenuhi sebetulnya mereka ngga dirugikan,” paparnya.

Potensi yang kedua berkaitan dengan perusahaan itu sendiri khususnya mengenai status tertentu ketika badan hukum tertentu yang ‘hilang’ pasca dilakukan merger. Sebagai gambaran, pada sektor jasa konstruksi dikenal yang namanya Kemampuan Dasar (KD). Intinya, KD tersebut menggambarkan pengalaman kontraktor selama beroperasi.

Dari pengalamannya, perusahaan yang terbentuk pasca dilakukan merger tidak bisa mengalihkan KD yang telah didapatnya selama di perusahaan yang lama. Artinya, di perusahaan yang baru, nilai KD menjadi nol atau diulang kembali dari awal. Berkaitan dengan hal itu, lagi-lagi Gunawan menyarankan untuk dilakukan kajian bagaimana kondisi yang ideal ketika kebijakan holding BUMN ini benar direalisasikan.

“Kalau waktu dulu ngga bisa dialihkan, artinya PT baru hasil merger ya jadi nol lagi. Itu aspeknya nanti ke pasar, artinya dia bisa ikut tender senilai berapa. Kalau KD-nya masih kecil, berarti hanya proyek-proyek kecil. Jadi anak perusahaan itu harus mulai dari bawah lagi dianggap pemain baru,” katanya.

Sedangkan potensi ketiga berkaitan dengan rezim perizinan. Hal ini juga mesti diperhatikan lantaran aspek perizinan cukup krusial bagi kelangsungan perusahaan terutama BUMN. Menurut Gunawan, yang menjadi pokok permasalahannya apakah izin-izin yang telah dikantongi sebelum dilakukan merger tetap berlaku pasca dilakukan merger.

Dan lagi, meski ia menilai hal ini bukan kendala namun mesti juga diperjelas bagaimana status izin-izin yang sebelumnya telah berhasil didapatkan dari otoritas yang mengeluarkan izin tersebut. “Aspek perizinan juga harus dipastikan dari otoritas terkait. Apakah itu juga mutatis mutandis ya,” tuturnya.

Untuk diketahui, pemerintah melalui Kementerian BUMN berencana membentuk 15 induk usaha pada tujuh sektor sebagai bagian dari Roadmap BUMN Tahun 2015-2019. Ketujuh sektor itu, antara lain holding logistik dan perdagangan, perkebunan, farmasi, perkapalan, konstruksi dan infrastruktur, tambang dan pertanahan strategis. Tak hanya itu, rencananya pemerintah juga akan memangkas 34 anak usaha, yang semula berjumlah 119 menjadi 85 entitas.

Sebelumnya, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Faiz Aziz menilai bahwa realisasi dari wacana ini punya potensi dari aspek hukum. Paling tidak realisasi wacana ini akan berdampak pada status hukum BUMN, aspek hukum persaingan usaha, dan aspek hukum pasar modal. Sementara itu, Pengajar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik FHUI Dian Puji Simatupang berpendapat bahwa realisasi kebijakan holding BUMN ini mesti memperjelas terlebih dahulu status hukum BUMN itu sendiri.
Tags:

Berita Terkait