Refleksi Pelaksanaan Bantuan Hukum dan Praktik Advokat Pohon Mangga
Kolom

Refleksi Pelaksanaan Bantuan Hukum dan Praktik Advokat Pohon Mangga

Sangat disayangkan jika pemberian bantuan hukum hanya digunakan sebagai alat atau kedok untuk mengambil dana bantuan hukum semata-mata.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Awal Januari lalu, Kementerian Hukum & HAM RI mengeluarkan surat keputusan tentang pengesahan verifikasi dan akreditasi bagi para Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di Indonesia untuk periode Tahun 2016-2018. Sebanyak 405 OBH berhasil diverifikasi dan diakreditasi berdasarkan surat keputusan Menteri Hukum & HAM RI NO M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2016.

Tentu saja hal ini merupakan sinyal yang positif bagi perkembangan bantuan hukum di Indonesia karena dengan bertambahnya jumlah OBH yang tersebar secara merata di pelosok Indonesia (sebagai catatan pada periode yang lalu hanya terdapat 310 OBH dan persebarannya tidak merata) menandakan bahwa akses terhadap keadilan kini semakin terbuka bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum. Setiap provinsi di Indonesia kini setidaknya memiliki 1 OBH yang telah terakreditasi oleh Kemenkumham.

Jika kita kembali berkaca pada refleksi pelaksanaan bantuan hukum di periode lalu, tak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat beberapa kekurangan di sana-sini sebagai konsekuensi logis bagi program yang baru saja dilahirkan. Ibarat bayi yang baru belajar berdiri dan merangkak, program bantuan hukum tentu memerlukan waktu untuk berkembang maksimal. Penyerapan anggaran belum maksimal, mekanisme pelaporan yang masih berjuang menemukan format yang tepat, regulasi yang tidak kompatibel dengan praktik lapangan serta berbagai kekurangan-kekurangan lainnya yang ditemui selama periode lalu. Namun kita juga harus mengapresiasi kinerja pemerintah yang telah berupaya untuk menangkap aspirasi, masukan, dan koreksi perbaikan dari para pemangku kepentingan.

Salah satu regulasi yang terbit adalah Permenkumham No. 10 tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Permenkumham No.10/2015). Kini juga ada aplikasi pelaporan yang terintegrasi yang disebut Sistem Informasi Database Bantuan Hukum (SID BANKUM).

Praktik Advokat Pohon Mangga
Tak lengkap rasanya jika berbicara tentang bantuan hukum tanpa menyinggung praktik pelaksanaannya dan dinamika yang ditemui dilihat dari kacamata pelaku di lapangan. Dalam konteks ini timbul keprihatinan dari benak penulis jika melihat realita pemberian bantuan hukum, baik dari segi advokat sebagai pemberi bantuan hukum itu sendiri maupun dari segi penegak hukum yang diberikan kewajiban oleh undang-undang untuk menyediakan bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu. Penulis hendak mengambil momentum ini untuk mengkritik praktik-praktik pemberian bantuan hukum yang hanya berkedok formalitas, demi hanya mengejar kuantitas perkara, dan kedok menerapkan due proccess of law yang diatur dalam undang-undang. Praktik ini bisa dilihat misalnya, seorang tersangka/terdakwa yang berdasarkan hukum wajib didampingi oleh penasihat hukum sesuai Pasal 56 KUHAP dikelabui dengan adanya kuasa hukum “misterius” yang fisiknya tidak pernah ada namun tercantum di dalam berita acara pemeriksaan. Hanya sekadar membubuhkan tanda tangan tanpa pernah mendampingi kliennya dalam pemeriksaan.

Praktik-praktik seperti ini tampaknya sudah lazim. Memakai kacamata hukum ekonomi, bisa dibaratkan jika ada demand maka ada supply. Praktik ini bisa berkembang dan menjamur karena ada demand dari oknum penegak hukum agar bisa di-supply tenaga kuasa hukum ‘misterius’ hanya demi memenuhi syarat formalitas dalam berkas perkara.

Dalam diskusi tentang RUU KUHAP beberapa waktu lalu yang diselenggarakan ICJR misalnya, dalam sharing pengalaman para pemangku kepentingan yang ada pada saat itu tergambar dengan jelas bahwa praktik seperti ini lazim ditemui di lapangan. Ada istilah pocket lawyer yang dipakai untuk menunjuk para kuasa hukum ‘misterius’. Penulis sendiri memiliki istilah lain untuk hal ini, yakni advokat pohon mangga, yaitu oknum advokat yang digambarkan sehari-hari duduk diam di bawah pohon mangga kantor penegak hukum, hanya menunggu panggilan dari oknum penegak hukum yang memeriksa terdakwa untuk sekadar mencantumkan tanda tangan sebagai bukti bahwa terdakwa telah didampingi oleh penasihat hukum ketika diperiksa, setelah itu kembali duduk nongkrong di bawah pohon mangga tanpa melakukan pendampingan secara nyata.

Praktik-praktik seperti ini seakan telah menjadi sebuah rahasia umum di dalam masyarakat, khususnya bagi para pelaku bantuan hukum. Banyak tersangka/terdakwa yang penulis temui ketika melakukan penyuluhan hukum di rumah-rumah tahanan negara mengatakan hal senada. Mereka tidak pernah didampingi oleh penasihat hukum ketika diperiksa namun secara ajaib dalam BAP mereka dicantumkan nama oknum advokat pohon mangga yang mendampingi mereka. Adanya kongkalikong antar oknum penegak hukum untuk memenuhi formalitas ini telah mengotori martabat dari profesi dan pemberian bantuan hukum itu sendiri. Bantuan hukum tidak semestinya diberikan dengan jalan seperti itu. Apalagi hampir semua tersangka/terdakwa yang ketika di BAP didampingi oleh oknum advokat pohon mangga ketika di persidangan ditelantarkan begitu saja. Pendampingan terkesan hanya basa-basi karena di persidangan terdakwa harus berjuang sendirian.

Parahnya, ini seolah tidak mendapatkan perhatian khusus dari para pengadil (hakim) di pengadilan. Eksepsi tentang kewajiban pemberian bantuan hukum seringkali ditolak dengan alasan klasik yang sering penulis dengar “menggunakan penasihat hukum adalah hak yang boleh dipakai dan boleh tidak” atau “secara formil kewajiban pemberian bantuan hukum telah dipenuhi dengan adanya ttd (tanda tangan) penasihat hukum dalam berita acara pemeriksaan”.

Pemberian bantuan hukum mutlak karena telah diwajibkan oleh Undang-undang (vide pasal 56 KUHAP). Beberapa putusan yang bisa dikemukakan misalnya kasus LBH Mawar Saron dengan terdakwa Usep Cahyono, pedagang asongan yang dijebak dengan selinting ganja. Eksepsi Penasihat Hukum tentang tidak adanya bantuan hukum yang diberikan pada tahap penyidikan diterima hakim yang kemudian mengambil putusan sela dan melepaskan Usep dari tahanan (No.register. 353/Pid.B/2010/PN.JKT.UT). Ada juga beberapa putusan MA serupa:
  • Putusan Mahkamah Agung No.1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 yang pokoknya menyatakan, “apabila syarat–syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
  • Putusan Mahkamah Agung No.367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998yang pada pokoknya menyatakan “bahwa bila tak didampingi oleh penasihat hukum di tingkat penyidikan maka bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntut umum batal demi hukum dan karenanya tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan di dampingi penasihat hukum.
  •  Putusan Mahkamah Agung No.545 K/Pid.Sus/2011 menyatakan “Bahwa selama pemeriksaan Terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, sedangkan Berita Acara Penggeledahan dan Pernyataan tanggal 15 Desember 2009 ternyata telah dibuat oleh Pejabat yang tidak melakukan tindakan tersebut namun oleh petugas yang lain; Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa, Berita Acara Penggeledahan tidak sah dan cacat hukum sehingga surat Dakwaan Jaksa yang dibuat atas dasar Berita Acara tersebut menjadi tidak sah dan cacat hukum pula”.
Sayangnya dengan argumen Indonesia tidak menganut sistem common law maka yurisprudensi tersebut diabaikan begitu saja.

Kualitas versus Kuantitas
Poin penting lainnya yang hendak penulis sampaikan ialah tentang praktik bantuan hukum yang dilakukan OBH terakreditasi, yang hanya berlomba-lomba mengejar kuantitas perkara dengan melupakan kualitas dan esensi pembelaan serta bantuan hukum itu sendiri. Tanpa bermaksud menghakimi, menurut penulis praktik inilah yang tidak jauh berbeda dengan praktik advokat pohon mangga di atas. Hanya aksesoris semata ketika mendampingi kliennya di persidangan, tanpa memperjuangkan hak-hak klien penerima bantuan hukum. Tanpa pernah tahu duduk perkara klien yang dibelanya sebelum menginjakkan kakinya di ruang sidang.

Taruhlah contoh oknum pembela yang ketika mendampingi kliennya hanya duduk diam. Sikapnya seolah mengiyakan dakwaan jaksa dan hanya duduk di kursi pembela karena ditunjuk oleh hakim yang memeriksa perkara untuk mendampingi penerima bantuan hukum. Dalam situasi yang demikian ketika baru ditunjuk untuk mendampingi, sang pembela seharusnya meminta waktu untuk menunda persidangan agar dapat berkonsultasi dengan kliennya, untuk mengetahui duduk perkaranya terlebih dahulu dan meminta berkas perkara serta dakwaan kliennya untuk dipelajari terlebih dahulu.

Bayangkan jika seorang advokat ketika membela klien tidak mengetahui duduk persoalan yang dialami oleh kliennya karena tidak memegang berkas selembar pun. Bagaimana kita bisa mengharapkan adanya bantuan hukum dan pembelaan yang maksimal dengan pola seperti itu? Maka tidak heran jika pembela-pembela yang dimaksud seringkali melewati hak untuk mengajukan eksepsi, tidak mengajukan saksi-saksi yang meringankan, hanya seiya sekata dengan dakwaan jaksa dan lebih banyak diam. Apalagi ketika diberi hak mengajukan nota pembelaan/pledooi, hanya dilakukan secara lisan dengan memohon keringanan hukuman bagi kliennya tanpa melakukan upaya hukum lainnya.

Sangat disayangkan jika pemberian bantuan hukum hanya digunakan sebagai alat atau kedok untuk mengambil dana bantuan hukum semata-mata, yang penting sudah ada laporan perkara, duit bantuan hukum sudah masuk, maka beres sudah, kualitas dan hak-hak lainnya penerima bantuan hukum adalah nomor sekian. Tanpa pretensi untuk menggurui namun sebagai penyandang profesi yang katanya mulia ini pun kita tahu jika kehormatan dan martabat profesi kita selaku advokat ini tidak semestinya kita korbankan dengan praktik-praktik advokat pohon mangga sebagai aksesoris di ruang sidang seperti itu.

Peran Organisasi Profesi dan Pengawasan
Jika hendak kembali berkaca mengenai sistem pengawasan bagi para advokat dan pelaksanaan bantuan hukum, seharusnya praktik-praktik di atas bisa diminimalisasi dengan adanya rentang pengawasan yang jelas dari organisasi profesi serta panitia pengawas daerah (untuk pelaksanaan program bantuan hukum).

Keengganan masyarakat penerima bantuan hukum untuk melapor ditambah dengan kurangnya pemahaman akan hak-hak mereka menyebabkan praktik seperti ini bermunculan dimana-mana. Sayangnya kondisi pecahnya organisasi profesi advokat mengakibatkan kebingungan bagi kita semua jika hendak mengadukan tentang praktik-praktik seperti itu. Praktik tak baik menjamur akibat pengawasan profesi yang renggang, ditambah tidak ada ketegasan dan transparansi dalam pengelolaan organisasi profesi.

Dalam diskusi bersama jajaran Ditjen Pemasyarakatan beberapa bulan lalu, ketika ditanyakan kendala-kendala apa saja yang ditemui oleh para tahanan dalam mengakses bantuan hukum di dalam rutan, ada perwakilan rutandi Jakarta menyampaikan keluhan sama. Tahanan yang hendak meminta bantuan hukum diintimidasi dan ditakut-takuti agar tidak memakai bantuan hukum. Intimidasi seperti kalimat “jika pakai lawyer akan saya perberat nanti hukumannya” atau permintaan untuk memutus kuasa yang diberikan kepada  hukum. Ini menandakan paradigma penegak hukum lainnya masih menganggap bahwa kehadiran advokat dan bantuan hukum hanya akan merepotkan pekerjaan mereka dalam “merangkai cerita”. Pola pendekatan hukum zaman kolonial yang masih berpusat dengan crime control mode nya dengan hanya mengejar pengakuan tampaknya masih diadopsi oleh penegak hukum zaman sekarang, adanya bantuan hukum yang diwajibkan dalam KUHAP tampaknya hanya akan menjadi kerikil bagi para oknum penegak hukum dalam merangkai skenarionya, sehingga demi tercapainya “due procces of law” formalitas yang diwajibkan oleh KUHAP digunakanlah akal-akalan praktik advokat pohon mangga seperti yang disebutkan di atas.

Mark Geragos, lawyer dari Amerika Serikat dalam bukunya ‘Mistrial’ menulis:
“Cops lie. Every day in courtroom across America, police officers raise their hands, swear to tell the truth, and then lie. Everyone in the court system knows it, but if questioned about it they will vehemently deny it”
“most cops don’t much care for a process that allows non-cops to second guess their work. They sure don’t like it when some smart ass lawyer questions them about what they did and didn’t do during their arrest and investigation...most cops signed up for the job to fight crime, not to have their work ridiculed in court”.

Sudah saatnya kita mengubah paradigma yang berakar kuat selama ini di benak para penegak hukum yang ada, pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu bukanlah untuk menghambat kinerja dan penegakan hukum sendiri, namun demi menciptakan keadilan bagi mereka yang buta hukum, ibarat timbangan keadilan yang condong ke salah satu sisi, bantuan hukum hadir untuk memberikan keseimbangan bagi timbangan keadilan tersebut, agar tidak condong ke kiri atau ke kanan, namun lurus di tengah.  

Penulis berharap para pemangku kepentingan memiliki pemahaman sama tentang urgensinya pemberian bantuan hukum. Pengawasan organisasi demi menghapus praktik advokat pohon mangga harus diperketat oleh Panitia Pengawas Daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 Permenkumham No. 10/2015. Pemahaman para penegak hukum tentang urgensi bantuan hukum juga harus sejalan. Jangan lagi ada intimidasi untuk menakut-nakuti rakyat untuk tidak menggunakan jasa advokat yang telah disediakan oleh negara dengan program bantuan hukum. Jalinlah kerjasama dengan penyedia bantuan hukum yang jelas, seperti organisasi profesi dan OBHt erakreditasi sehingga pertanggungjawaban kinerja dan mekanisme komplain bagi mereka yang melakukan praktik-praktik advokat pohon mangga ini bisa dihilangkan, atau paling tidak diminimalisasi.

Mari kita jelang perubahan yang lebih baik demi tercapainya akses keadilan yang merata bagi mereka yang membutuhkan bantuan hukum.
“kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukan pemeras-pemeras!” Mazmur 72:4.

-----
*) Penulis adalah advokat, Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron.
Tags:

Berita Terkait