Ada Diskoneksi Antara Rakyat dan Parlemen Soal RUU KPK
Berita

Ada Diskoneksi Antara Rakyat dan Parlemen Soal RUU KPK

Rakyat ramai-ramai menolak RUU KPK, kok wakilnya di DPR justru mendukung.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Seminar Gerakan Anti Korupsi di Jakarta. Foto: RES
Seminar Gerakan Anti Korupsi di Jakarta. Foto: RES
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut ada diskoneksi yang sangat tinggi antara rakyat dengan wakilnya di DPR soal Revisi Undang-Undang (RUU) KPK. Begitu banyak elemen masyarakat yang menyatakan penolakannya terhadap RUU KPK, mengapa parlemen yang merupakan wakil rakyat justru "getol" merevisi UU KPK.

Sebut saja Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Wali Gereja Indonesia, persatuan umat hindu, budha, Gerakan Anti Korupsi, Forum Rektor, mahasiswa, organisasi buruh, serta organisasi-organisasi masyarakat lainnya, seperti Indonesia Corruption Watch. Mereka ramai-ramai mendukung penolakan RUU KPK yang melemahkan KPK.

"Nah, parlemen itu representasi rakyat yang memilih. Saya jadi berpikir, kalau rakyat yang jadi konstituen menolak revisi yang melemahkan itu, mengapa parlemen yang seharusnya representasi rakyat kok ingin melemahkan dan merevisi UU KPK," kata Laode dalam acara seminar Gerakat Anti Korupsi di Jakarta, Kamis (18/2).

Laode berharap, para anggota DPR yang masih mendukung RUU KPK mendapatkan "hidayah" agar upaya pelemahan KPK tidak berlanjut. Ia juga berharap semakin banyak fraksi di DPR yang mendukung penolakan RUU KPK. Sebab, hingga kini, baru tiga fraksi yang menolak RUU KPK, yakni Fraksi Gerindra, Demokrat, dan PKS.

Sementara, fraksi PDIP, Hanura, PKB, dan Golkar mendukung RUU KPK. Berbeda dengan PAN yang belum tegas menyatakan sikap. Laode mengaku, dalam diskusi dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN itu menyerahkan kepada user, yaitu KPK. Apabila KPK menolak, maka seharusnya mereka juga menolak.

Namun, bilamana RUU KPK terus berlanjut, menurut Laode, satu-satunya jalan untuk menghentikan ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, RUU KPK akan dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. "Insya Allah setelah Presiden pulang dari Amerika, kami ingin bertemu beliau dan mengkomunikasikan hal ini," ujarnya.

Senada, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan juga menganggap upaya terakhir yang dapat dilakukan adalah bertemu Presiden. Ia berpendapat, penolakan RUU KPK tidak cukup sekadar omongan, tapi harus diwujudkan dalam bentuk meyakinkan pemerintah agar menolak pembahasan bersama RUU KPK dengan DPR.

"Menurut sistem kita, RUU itu dibahas bersama DPR dan pemerintah yang diwakili menteri. Bagaimana kita dapat meyakinkan Presiden bahwa sebaiknya pemerintah menyatakan belum waktunya untuk membahas RUU itu. Presiden bisa menggunakan argumen, misalnya melihat penolakan publik yang makin besar, sehingga ditunda saja," terangnya.

Selain menunda pembahasan, Bagir mengusulkan agar ke depan dibuat rumusan bersama RUU KPK yang dapat diterima semua pihak. Oleh karena itu, Bagir bersedia untuk ikut bertemu Presiden. Tidak hanya Bagir, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif juga menyatakan kesediaannya.

Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho menyebutkan setidaknya ada lima alasan Jokowi untuk menolak RUU KPK. Pertama, survei menunjukan mayoritas publik menolak RUU KPK. Kedua, substansi RUU KPK faktanya memperlemah KPK. Ketiga, janji Jokowi dalam Nawacita untuk memperkuat KPK dan merevisi UU KPK ini akan menurunkan citra Jokowi.

Keempat, tidak ada alasan yang mendesak dan masuk akal untuk merevisi UU KPK. Mengapa tidak membahas KUHP, KUHAP, atau merevisi UU Kejaksaan dan Kepolisian? Apa alasan mendasar untuk merevisi UU KPK yang melemahkan KPK? Kelima, Indonesia adalah Presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC).

Gentleman agreement
Laode menjelaskan, sebelum pimpinan KPK Jilid IV, ada semacam gentleman agreement yang dibuat oleh Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK dengan pemerintah. Ada empat poin kesepakatan RUU KPK. Pertama, KPK boleh mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Kedua, KPK melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan.

Ketiga, akan ada dewan pengawas etika, dan keempat KPK akan diberikan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Keempat poin ini direalisasikan dalam draf RUU KPK. Namun, menurut Laode, apabila mengacu draf RUU KPK yang diterima pimpinan KPK, tidak ada satu pun yang menguatkan KPK.

"Kalau mau menyadap harus izin dewan pengawas, tidak boleh lagi mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Dewan pengawas harus dipilih Presiden dan harus diberikan SP3. Melihat tak ada satupun yang menguatkan, kami tidak sepakat dengan revisi UU KPK. Kami sudah menyampaikan sikap ke DPR," ungkapnya.

Tentunya, sambung Laode, penolakan tersebut disertai dengan alasan yang cukup. Misalnya, soal penyadapan. Indonesia sudah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Dengan telah diratifikasinya UNCAC, seharusnya semua undang-undang yang berkaitan dengan korupsi mengikuti UNCAC.

Dalam UNCAC jelas disebut soal penyadapan. Bahkan, UNCAC memperbolehkan control delivery yang notabene lebih "kejam" karena bisa melakukan penjebakan. UNCAC juga menghalalkan pemantauan melalui undercover operation. Dasar penolakan lainnya adalah putusan uji materi UU KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Laode menegaskan, MK dalam putusannya menyatakan penyadapan KPK tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, di dunia ini, ada dua lawful interception, yakni by court order (izin pengadilan) dan by regulation (UU). Dalam hal ini, KPK diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyadapan. "Jadi, harus dipertahankan," tuturnya.

Di samping itu, Laode menerangkan, KPK tidak dapat melakukan penyadapan terhadap semua orang. KPK memiliki prosedur yang sangat ketat untuk penyadapan. Selain baru dapat dilakukan jika sudah masuk penyelidikan, juga ada batas waktunya dan harus diteken lima pimpinan KPK. Jadi, ia menilai tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Lagipula yang dapat melakukan penyadapan bukan cuma KPK, tetapi Polisi, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara (BIN), badan anti teror, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) juga bisa melakukan penyadapan. Jadi, kalau mau diatur harus ada UU yang komperhensif. Jangan cuma obok-obok KPK doang. Ini kita diaudit lho, yang lain tidak," tandasnya. 
Tags:

Berita Terkait