Suka Duka Lawyer Pembela Pemerintah di Arbitrase Internasional
Berita

Suka Duka Lawyer Pembela Pemerintah di Arbitrase Internasional

Suka dan duka harus dijalani. Namun terlepas dari itu, sifat nasionalisme menjadi nilai tambah semangat ketika menangani klien dari pemerintah.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Iswahjudi Karim. Foto: RES
Iswahjudi Karim. Foto: RES
Pengacara tak boleh pilih-pilih klien. Hal itu juga ditegaskan dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan pengacara dilarang berlaku diskrimintatif terkait dengan latar belakang kliennya. Alasannya, setiap orang berhak diberikan pembelaan ketika membutuhkan.

Pertanyaannya saat ini adalah tak banyak pengacara yang sering dimintai bantuan oleh pemerintah. Rata-rata, pengacara justru lebih banyak dimintai bantuan oleh kalangan swasta atau masyarakat sipil. Lalu, apa yang menarik dari kisah pengacara yang membela pemerintah?

Untuk itu, salah satu firma hukum di Jakarta, KarimSyah Law Firm bersedia berbagi kisahnya, baik suka dan duka kepada hukumonline. Untuk diketahui, sejumlah kasus penting yang dihadapi pemerintah, firma hukum inilah yang sering menjadi langganan pemerintah, khususnya di forum arbitrase internasional.

Partner KarimSyah Law Firm Iswahjudi A Karim membagi kisahnya terkait perbedaan karakter antara klien pemerintah dan selain pemerintah. Dari sejumlah pengalamannya itu, ia melihat ada hal menarik antara sikap klien pemerintah dan di luar pemeritah, terutama dalam menyikapi gugatan yang dihadapi.

Biasanya, klien pemerintah seringkali ‘menutup mata’ tatkala ada gugatan yang ditujukan kepadanya. Iswahjudi mengibaratkan sikap pemerintah itu dengan istilah pertahanan burung unta (ostrich defense). Artinya, pemerintah pada awalnya seringkali cuek ketika ada gugatan.

“Ada sikap yang menurut saya seperti burung unta melihat singa. Kalau dikejar singa mestinya lari. Tapi kalau burung unta melihat ada bahaya, dia celupin kepala dalam pasir supaya bahayanya ngga keliatan. Padahal bahayanya mendeket. Itu sikap ostrich,” kata Iswahjudi saat ditemui di Jakarta sekira pertengahan Februari.

Atas sikap itu, Iswahjudi biasanya memberi pengertian kepada pemerintah untuk menghadapi dan membuktikan sebaliknya bahwa gugatan itu tidak benar. “Kalau gugatan ngga bener harusnya kita lawan. Dimana dilawan? Ya di arbitrase. Itu pemahaman yang sering kita berikan sebelum perkara ini akhirnya kita handle,” tambahnya.

Menyambung koleganya, Partner KarimSyah Law Firm Ilman F Rakhmat mengamini perbedaan karakter antara klien pemerintah dengan di luar pemerintah. Salah satu yang paling jelas berbeda saat mewakili pemerintah pihak terkaitnya terdiri dari sejumlah instansi.

Dari beberapa kali pengalamannya menangani kasus yang dihadapi pemerintah, Ilman melihat pemerintah lebih suka membahas langkah dan strategi hukum dalam rapat atau pertemuan formal antar institusi terkait. Bahkan, tak jarang juga firma hukumnya melakukan rapat-rapat ke masing-masing institusi.

“Jadi bedanya dengan klien privat kita lebih banyak meeting, diskusi dengan berbagai instansi. Misalnya untuk tahapan di persidangan kita buat presentasi dengan kejagung, seminggu kemudian bisa dengan BKPM dan Kemenlu,” jelas Ilman.

Ilman dan koleganya di KarimSyah Law Firm cukup memahami karakter tersebut. Namun, untuk lebih mengefisiensikan ketika menangani kasus biasanya lawyer minta klien untuk menunjuk satu instansi yang bisa menjadi penentu (decision maker). Hal itu sangat dibutuhkan utamanya ketika membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat.

“Tentunya kami pahami karena pemerintah organisasinya besar sekali, jadi banyak instansi terkait dan mereka ingin langsung tahu sudah sampai mana dan ingin kasih masukan ke kita,” katanya.

Selain isu soal koordinasi yang melibatkan sejumlah instansi terkait. Banyaknya ‘kamar’ ini juga cukup membutuhkan ekstra effort ketika memerlukan dokumen tertentu. Apalagi, dokumen yang dibutuhkan dalam kasus yang ditangani kebanyakan melibatkan berbagai instansi. Belum lagi, untuk kepentingan arbitrase internasional, dokumen-dokumen itupun juga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

“Jadi waktu untuk mengkompilasi dokumen-dokumen itu lebih banyak. Beda dengan lawan kita yang hanya mewakili satu perusahaan atau individu. Mereka dokumentasinya lebih sedikit dan terpusat jadi lebih gampang. Sementara (pemerintah) kami bebannya jauh lebih besar karena dokumentasinya tersebar dimana-mana,” terang Ilman.

Jika dilihat, lanjut Ilman, mewakili klien pemerintah untuk kepentingan penyelesaian sengketa di forum arbitrase internasional cukup berat. Belum lagi dari sisi teknis, firma hukum lawan yang notabene punya perbedaan jam kerja dengan Indonesia juga menambah tantangan yang dihadapi oleh KarimSyah Law Firm ketika itu.

Tantangan lainnya, dari sisi jam terbang. Sepengetahuan Ilman, umumnya firma-firma hukum asing telah lebih senior dan mapan dalam forum arbitrase internasional. Selain itu, majelis arbiter pun kebanyakan adalah orang-orang yang sudah ‘punya nama’ secara internasional dalam forum arbitrase.

“Lawan-lawan kita umumnya adalah lawfirm yang sangat mapan, besar, dan pengalaman. Kita bangga karena kita bisa tau juga ritme kerja dan pola lawfirm asing ini seperti apa. Kita jadi paham bagaimana mereka manage case dan kita juga keep up ritme kerja mereka dan bahkan hasilnya mengungtungkan pihak kita,” terangnya.

Sementara itu, kata Iswahjudi, tantangan lainnya ketika dulu membela pemerintah di forum arbitrase internasional adalah belum ‘cair’ fee untuk kepentingan persidangan karena anggaran yang digunakan berasal dari APBN. Akan tetapi, karena membela pemerintah sekaligus demi membela Indonesia, ia rela untuk menanggung itu di awal persidangan.

“Dukanya, kalau dana yang seharusnya kita terima, misalnya untuk biaya sidang belum bisa keluar APBN jadi kita harus nyediaan dana sendiri atau nalangin. Dan itu memang duka. Tapi ada unsur merah putihnya. Karena kalau ini terjadi dengan lawfirm asing, bisa dipastikan pemerintah akan kalah,” tutur Iswahjudi.

Namun terlepas dari suka duka tersebut, Ilman dan Iswahjudi sama-sama cukup bangga karena diberi kesempatan yang langka dan istimewa. Perasaan nasionalisme yang dimiliki cukup ampuh menambah semangat tambahan bagi KarimSyah Law Firm di forum arbitrase internasional.

“Selain kita bangga mendapat kesempatan ini juga mau tidak mau ada perasaan nasionalisme, itu tentunya jadi semangat tambahan buat tim yang mewakili pemerintah,” tambah Ilman.

Dan dari pengalamannya itu, membuktikan bahwa kualitas lawfirm Indonesia tidak kalah dengan lawfirm asing. Yang membedakan, kata Ilman, adalah kesempatan yang selama ini diberikan ke lawfirm Indonesia yang belum begitu banyak. Namun, dari sisi kapasitas, lawfirm Indonesia cukup bisa menandingi kualitas lawfirm asing dalam forum arbitrase internasional.

Iswahjudi mengungkapkan, setidaknya ada lima perkara di forum arbitrase internasional yang ditangani firma hukumnya. Mulai dari Dieng-Patuha, kasus Newmont, Rafat Ali Rizvi melalui ICSID, dan Hesham al Warraq melalui Organisasi Konferensi Islam dengan hukum UNCITRAL.

Hampir semua perkara itu, kata Iswahjudi berhasil dimenangkan oleh pemerintah Indonesia. Seperti misalnya pada kasus Newmont, dimana gugatan pemerintah Indonesia dikabulkan sehingga Newmont sekira tahun 2007 mesti menjalankan divestasi. Lalu kemenangan ketika melawan Rafat di ICSID pada tingkat yurisdiksi atau eksepsi.

“Apresiasi itu selalu diberikan dengan cara kalau kita berprestasi baik, kita akan ditunjuk lagi. Waktu Dieng-Patuha masih zaman Pak Harto (Soeharto). Waktu Newmont dan Rizvi zamannya Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dalam dua kali pemerintahan. Itu apresiasi dari mereka. Kalau kerja baik dikasih kepercayaan lagi,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait