Soal Perma Mediasi Terbaru, Advokat: Sejauh Ini Mediasi Kurang Efektif
Berita

Soal Perma Mediasi Terbaru, Advokat: Sejauh Ini Mediasi Kurang Efektif

Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya perkara yang masuk ke tingkat MA.

Oleh:
HAG/NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Terbitnya Perma No.1 Tahun 2016 dinilai kurang bisa mengefektifkan keberadaan dari tahapan mediasi di pengadilan. Muhammad Ismak, Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) menjelaskan bahwa sebenarnya mediasi kurang efektif. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya perkara yang masuk ke tingkat Mahkamah Agung (MA).

"Kalau kita bicara efektifitas memang belum ada survei keberhasilan mediasi. Kalau berbicara kenyataan rasa-rasanya tidak efektif, karena kenyataannya perkara yang masih ke MA tetap ribuan, artinya di tingkat bawah tidak pernah berhasil. Mediasi hanya basa-basi saja. Dan hakim mediasi yang penting itu dilewati," ujarnya kepada hukumonline, Kamis (18/2).

Menurutnya, dengan adanya Perma Mediasi terbaru yang mengurangi masa mediasi menjadi 30 hari, akan menambah para pihak ingin cepat-cepat masuk ke pokok perkara. "Kalau di pengadilan mediasi semacam basa-basi, bahkan dengan mengurangi waktu mediasi maka para pihak akan lebih cepat ke pokok perkara," jelasnya.

Selain itu, tambahnya, hanya kasus-kasus tertentu saja yang mungkin bisa selesai di mediasi. Sedangkan kasus yang melibatkan pemerintah ataupun BUMN biasanya lebih condong untuk menunggu putusan pengadilan daripada damai.

"Kita harus lihat kasus seperti pertanahan tidak mungkin dimediasi, kalau melibatkan pemerintah ga mungkin itu didamaikan. Ini hanya mungkin perkara yang sifatnya ingkar janji atau pengadilan agama. Tapi yang lainnya PMH agak sulit. Contoh anda menggugat BUMN apakah dia mempunyai hak untuk damai, mereka lebih suka perdamaian karena mereka akan berpikir pemeriksaan BPK, lebih suka putusan pengadilan. Akhirnya itu tak ada gunanya," jelasnya.

Sehingga sebaiknya, kata dia, perbaiki dahulu para mediator agar tahapan mediasi tidak hanya bentuk formalitas saja. Begitu pula hakim yang menangani mediasi dan berhasil mendamaikan dapat diberikan apresiasi.

"Perbaiki mediator, cobalah diefektifkan mediatornya. Mudah-mudahan bisa karena mereka lebih aktif. Kalaupun ada hakim, ada penghargaan terhadap hakim mediator apalagi dia bisa menyelesiakan perkara dengan mediasi," tambahnya.

Sementara itu, advokat Sampurno Budisetianto, mempertanyakan penekanan prinsip iktikad baik dalam Perma Mediasi terbaru. Menurutnya, pada prinsipnya yang namanya mediasi harus berdasarkan iktikad baik selama proses dan pelaksanaanya kemudian.

"Saya jadi bertanya kalau proses mediasi tidak ada iktikad baik, ukurannya bagaimana?. Apakah yang dimaksud tidak ada iktikad baik, seperti ‘nipu’ sehingga terjadi perdamaian semu misalnya," ujar Sampurno.

Menurutnya, kalau tidak ada iktikad baik maka tidak ada proses perdamaian dan akan terjadi deadlock. Sehingga, orang dalam pengadilan yang sebelumnya mau menyelesaikan masalah malah menambah masalah baru.

“Sebagai contoh, kalau iktikad tidak baik itu dengan tujuan untuk mengelabui lawannya sehingga tercipta perdamaian itu baru bisa. Tapi kalau misalkan orang tidak hadir ke mediasi apa itu juga dianggap iktikad tidak baik?,” tanyanya.

Menurutnya, pembuktian iktikad baik sulit, karena tergantung dari niatan. "Akhirnya itu tadi kalau semua orang yang mengajukan ke pengadilan untuk menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru," tegasnya.

"Secara umum, terkait ini nggak pas ya. Orang mau damai kok. Jadi kan berarti kan ada paksaan damai kan. Padahal yang namanya perdamaian dalam mediasi itu harus dilandasi dari itikad baik para pihak," tambah Sampurno.

Menurutnya, mengajukan perkara adalah hak setiap warga negara dan dijamin oleh UUD 1945. "Nggak bisa juga pengadilan atau hakim mencoba mengebiri hak warga negara untuk meminta keadilan di pengadilan," tegasnya.

Tags:

Berita Terkait