Dua Masalah Ketenagakerjaan Ini Kerap Dihadapi Jurnalis
Berita

Dua Masalah Ketenagakerjaan Ini Kerap Dihadapi Jurnalis

Menyangkut kesejahteraan dan pemenuhan hak berserikat.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
LBH Pers minta polisi usut kematian Jurnalis Sun TV-Foto: Sgp
LBH Pers minta polisi usut kematian Jurnalis Sun TV-Foto: Sgp
Media massa sering disebut sebagai pilar demokrasi keempat. Sebagai pilar demokrasi, para pekerja di media seharusnya juga kuat dalam berbagai hal. Termasuk kesejahteraan. Namun, sebagaimana layaknya pekerja, jurnalis tidak jarang menghadapi masalah ketenagakerjaan di tempat kerja.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Abdul Manan, mencatat ada dua masalah ketenagakerjaan yang kerap menimpa jurnalis yakni kesejahteraan dan pemenuhan hak berserikat. Pria yang disapa Manan itu mengatakan setiap tahun pemerintah menetapkan upah minimum dan besarannya selalu naik.

Namun, dari laporan yang diterima FSPMI dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) masih ada jurnalis yang menerima upah di bawah upah minimum. Masih ada perusahaan media yang belum mematuhi ketentuan pemerintah. Meski belum ada survei resmi, Manan memprediksi sekitar 30 persen perusahaan media masih menerapkan gaji di bawah upah minimum.

Rendahnya tingkat kesejahteraan menurut Manan berdampak pada profesionalisme jurnalis. Ia ragu dengan kualitas produk jurnalistik yang dihasilkan oleh jurnalis yang menerima upah rendah. Ia yakin jika kesejahteraan jurnalis tercukupi maka dia bisa fokus mengerjakan apa yang menjadi tanggungjawab profesinya. Sampai saat ini FSPMI terus memperjuangkan agar kesejahteraan jurnalis meningkat sehingga bisa bekerja profesional.

Masalah ketenagakerjaan kedua yang sering dialami jurnalis, dikatakan Manan, berkaitan dengan pemenuhan hak untuk berserikat. Hal itu berkelindan dengan rendahnya upah yang diterima jurnalis. Tanpa berserikat posisi tawar jurnalis sebagai pekerja di sebuah perusahaan lemah. Akibatnya jurnalis tidak punya posisi tawar yang kuat dihadapan manajemen perusahaan.

Manan mencatat dari 2.300 perusahaan media yang ada di Indonesia hanya ada 24 serikat pekerja yang aktif. “Kesejahteraan jurnalis di Indonesia masih jauh dari harapan. Jangankan mendapat upah layak, masih ada perusahaan media yang tidak mematuhi ketentuan upah minimum,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin (22/2).

Manan menjelaskan tidak sedikit jurnalis yang mengalami pemberangusan serikat pekerja (union busting). Salah satu kasus terbaru yang diindikasikan union busting dialami sebuah stasiun TV yang belum lama beroperasi dan berpusat di Jakarta. Indikasinya, pengurus serikat pekerja stasiun TV itu dimutasi oleh manajemen tidak lama setelah mereka membentuk serikat pekerja dan mencatatkannya ke dinas ketenagakerjaan.

Manan berpendapat union busting terjadi karena perusahaan media punya kekhawatiran yang berlebihan ketika pekerjanya membentuk serikat pekerja. Serikat pekerja masih dianggap organisasi yang menyulitkan perusahaan. Padahal itu tidak tepat karena UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat Pekerja menjelaskan salah satu fungsi serikat pekerja itu sebagai jembatan antara pekerja dan perusahaan.

Serikat pekerja berperan penting dalam sebuah perusahaan. Misalnya, ada pekerja yang upahnya dibayar di bawah upah minimum. Biasanya serikat pekerja akan mengingatkan perusahaan untuk taat hukum. Itu akan menjadi peringatan dini bagi perusahaan agar mereka menjalankan bisnisnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Tidak ada alasan bagi perusahaan media untuk khawatir terhadap jurnalis (pekerja) yang berserikat,” ujarnya.

Pengacara LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan pengaduan yang paling banyak diterima LBH Pers terkait masalah ketenagakerjaan yang dihadapi pekerja media yakni berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan union busting. PHK yang dialami biasanya berkaitan dengan efisiensi yang dilakukan perusahaan media.

Untuk kasus union busting, Ade mengingatkan hak untuk berserikat dijamin undang-undang diantaranya Pasal 28 jo pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Tindakan yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja untuk membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja tergolong kejahatan. Sanksinya penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, kemudian denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta. “Perusahaan media yang melakukan union busting terancam pidana,” tukasnya.

Begitu pula dengan kewajiban perusahaan media untuk membayar upah tidak boleh lebih rendah dari upah minimum. Hal itu diatur pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Kemudian pasal 185 UU Ketenagakerjaan mengatur sanksi yang bisa dijatuhkan kepada perusahaan yang melanggar ketentuan itu yakni penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Tags:

Berita Terkait