Sri Susilarti: Suka Duka Nahkoda LP Wanita
Berita

Sri Susilarti: Suka Duka Nahkoda LP Wanita

Awalnya sempat menghidar dari dunia profesi pemasyarakatan, tetapi kemudian mencintai pekerjaan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Sri Susilarti. Foto: RES
Sri Susilarti. Foto: RES
Selalu berbuat baik. Setidaknya hal itu yang ditanamkan Sri Susilarti saat menjadi petugas di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Sri, yang kini menjabat sebagai Kepala Rutan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur itu turut menularkan ‘virus’ kebaikan kepada anak buah maupun warga binaannya.

Berkarier menjadi petugas di lembaga pemasyarakatan (Lapas) tak pernah ada di benak Sri. Awalnya, ibu empat anak ini bercita-cita menjadi guru. Keinginan itu sempat Sri utarakan kepada ibundanya saat masih hidup. Ibunda pun merestuinya. Namun, setelah lulus dari SMA tahun 1987, Sri menghadapi pilihan sulit. Sang ayah yang seorang tentara meminta dirinya untuk masuk ke Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Alasannya, karena adik-adik Sri masih banyak yang membutuhkan pendidikan. Dengan berat hati, Sri mengikuti saran sang ayah. Sri mengaku sempat kaget saat masuk AKIP.

“Saya dulu itu feminis banget, celana panjang saja nggak punya, saya pakai rok semua. Tiba-tiba saya harus pakai pakaian PDL (pakaian dinas lapangan) yang hijau-hijau, ransel, saya agak stres di situ,” tutur Sri saat berbincang dengan hukumonline, Senin (18/1).

Bahkan, Sri termasuk wanita yang tak suka dengan hal yang kasar. Ia pernah kabur ke Yogyakarta, menjauh dari kegiatannya selama di AKIP. Sri termenung. Memikirkan jalan hidupnya ke depan. Akhirnya, dengan tekad bulat, Sri memutuskan untuk kembali belajar di AKIP dan lulus di angkatan 23.

Kecintaan dirinya dengan AKIP terus bertambah. Tidak hanya merintis karier, di AKIP, Sri juga bertemu dengan tambatan hatinya yang kini menjadi suaminya. Sri adalah adik junior satu angkatan sang suami. Kini, suaminya juga berprofesi sebagai petugas pemasyarakatan. “Saya dapat suami dari AKIP, angkatan 22,” kenangnya.

Usai lulus dari AKIP, Sri bertugas di Badan Pemasyarakatan (Bapas) Pontianak dari tahun 1991 hingga 2001. Setelah itu, ia bertugas di Rutan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, dengan menjabat sebagai Kepala Sub Seksi Pelayanan. Menurutnya, jumlah warga binaan di Rutan Pondok Bambu saat itu sangat banyak, sekitar 1600-1700 orang. Namun, ia tetap bekerja keras dan jujur. Hal ini didapatnya dari sang ayah.

“Bapak saya bilang, kerja itu harus jujur, sekarang kamu lihat, ada teman bapak kerja tapi cara-caranya nggak bagus untuk mendapatkan sesuatu. Ternyata dia nggak sampai pensiun, sakit, uangnya habis untuk obat,” ujar Sri menirukan cerita sang ayah.

Petuah dari ayahanda, diterapkan Sri di lingkungan kerja. Ia percaya, kebaikan, kejujuran dan kerja keras, akan membuahkan hasil yang positif baginya, meskipun ada hambatan-hambatan yang harus dihadapi.

Tahun 2009, Sri ditugaskan ke salah satu Lapas yang terkenal ‘angker’, yakni Lapas Kelas 1 Pakjo Palembang. Hampir dua tahun ia mengabdi di Lapas itu. Sri menjabat sebagai Kasi Perawatan Narapidana. Hampir 1300 warga binaan wajib dipantau kesehatannya oleh Sri. Bahkan, warga binaan yang seluruhnya berjenis kelamin laki-laki itu kebanyakan menjalani pidana berat seperti pembunuhan. Namun, ia tak takut.

Di Lapas Pakjo, Sri juga bertugas melakukan perawatan makanan. Dari sini pula dirinya mulai berani mengambil keputusan. Sri melihat, makanan yang disajikan di Lapas kurang manusiawi. Setelah diteliti, kurangnya sarana prasarana, seperti panci bocor menjadi alasan makanan yang jadi tak layak. Akhirnya ia membeli peralatan dapur dengan uang sendiri sebesar Rp3,5 juta.

Namun tak lama, atasannya di Lapas Pakjo menggantinya. Sri pun mulai mengajarkan anak buah dan beberapa warga binaan untuk memasak. Sekitar tiga bulan mengajar memasak, akhirnya semua berjalan baik dan makanan yang tersaji pun dipuji. Sri hanya tinggal mengontrol proses pembuatan makanan tersebut.

“Saya bilang ketika kita meletakkan pekerjaan yang baik, insya Allah itu akan bergulir terus, seperti itu. Budaya kerja yang baik pasti membuat aman, aman buat kita. Mau diperiksa apapun, kita tidak melakukan apapun. Jadi mau gosip atau fitnah tidak akan terjadi apa-apa dengan kita. Kalau saya prinsipnya gitu,” tuturnya.

Usai dari Palembang, Sri bertugas di kantor pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Jakarta. Beberapa saat bertugas di kantor pusat, Sri ditelepon Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan menawarkan jadi Karutan Pondok Bambu. Setelah mendapat restu dari suami, Sri mulai menjalani proses seleksi termasuk diwawancarai oleh Wakil Menkumham. Lolos seleksi, Sri pun dilantik menjadi Karutan.

Berbagai Tantangan
Menjadi Karutan, lanjut Sri, bukan tanpa hambatan. Beragam tantangan dan hambatan juga kerap dialami. Tantangan tersebut datang dari dalam Rutan, luar hingga institusinya sendiri. Sejak menjadi Karutan, beberapa kali diperiksa polisi karena pengaduan, inspeksi mendadak dari mitra kerja seperti Komisi III DPR, hingga berbagai ancaman pernah dialami Sri.

Apalagi, pekerjaannya ini sangat kental bersentuhan dengan hukum. Bukan hanya itu, Rutan Pondok Bambu juga dihuni oleh tahanan ‘kakap’ yang memiliki banyak kenalan pejabat tinggi. Namun, ia tetap tegar. Sri percaya, ‘virus’ baik yang ia tularkan, akan kembali baik kepadanya.

“Dengan kerja lebih baik, rasa tanggung jawab, keterbatasan ini memberikan suatu kebaikan. Semua tergantung Karutan, mau dibawa buruk bisa, mau dibawa baik juga bisa,” katanya.

Pendekatan agama kerap dilakukan Sri. Apalagi kepada warga binaan yang bandel. Jika warga binaan tersebut susah diberi pengertian oleh petugas, Sri pun turun tangan dengan memberikan ceramah. “Menciptakan sebuah organisasi itu kayaknya pendekatan-pendekatan secara agama lebih penting, karena bisa menyentuh hati manusia serusak apapun,” katanya.

Menurut Sri, pekerjaan Karutan, bukan hanya sebatas di atas kertas saja. Seluruh kebutuhan penghuni rutan pun wajib dipikirkan. Bahkan, dari warga binaan bangun tidur hingga tidur lagi, petugas pemasyarakatan harus tetap mawas diri. Dari mulai pemenuhan air ledeng, listrik, hingga merawat warga binaan yang sakit juga harus ada keputusan cepat, apalagi yang menyangkut nyawa.

“Jadi memang terkadang-kadang pekerjaan kita bikin diri dag dig dug, tapi harus bisa mawas diri, langsung bergerak,” tuturnya.

Petugas Rutan juga harus pintar dan cepat menyikapi persoalan yang datang. Sejalan dengan itu, bimbingan petugas melalui kegiatan-kegiatan positif juga wajib dilakukan. Menurut Sri, salah satu yang membuat Rutan selalu ‘panas’ karena terciptanya diskriminasi antar warga binaan. Ia pun ketat terhadap hal ini.

Sri percaya, jika terjadi diskriminasi antar penghuni Rutan, seperti fasilitas mewah hanya berlaku bagi warga binaan tertentu, maka penghuni lain bisa berontak. Ujung-ujungnya, bisa timbul kerusuhan di dalam Rutan. “Tidak ada diskriminasi, bahkan bikin Rutan aman,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait