Pandangan 8 Guru Besar Soal Polemik RUU KPK
Berita

Pandangan 8 Guru Besar Soal Polemik RUU KPK

Mayoritas menyatakan menolak revisi karena melemahkan institusi KPK.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Sejumlah guru besar dari berbagai perguruan tinggi memberikan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara memberikan secara simbolis pensil raksasa kepada Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/2). pensil raksasa yang deberikan oleh Prof Bambang Widodo Umar tersebut merupakan simbol sumbangan pemikiran dari kalangan akademisi dalam rangka penolakan terhadap revisi UU KPK.
Sejumlah guru besar dari berbagai perguruan tinggi memberikan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara memberikan secara simbolis pensil raksasa kepada Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/2). pensil raksasa yang deberikan oleh Prof Bambang Widodo Umar tersebut merupakan simbol sumbangan pemikiran dari kalangan akademisi dalam rangka penolakan terhadap revisi UU KPK.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan untuk menunda pembahasan Revisi UU KPK. Namun sayangnya, penundaan tersebut tidak menghapus dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Hal ini dinilai menjadi ‘ancaman’ tersendiri, sehingga sewaktu-waktu Revisi UU KPK bisa saja kembali diajukan.

Terkait rencana Revisi UU KPK, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumpulkan pandangan 8 guru besar dari berbagai unversitas. ICW mencatat, seluruh guru besar tersebut menolak rencana Revisi UU KPK. “Intinya, para narasumber menyatakan menolak Revisi UU KPK yang dinilai memelmahkan institusi KPK,” tulis ICW dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Selasa (23/2).

Pertama adalah Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Prof Komariah Emong. Menurutnya, revisi yang justru melemahkan KPK itu lebih baik tidak usah dilakukan. Termasuk mengenai kewenangan penyadapan. Selama ini, pengungkapan kasus korupsi oleh KPK tidak terlepas dari penelusuran lewat penyadapan sehingga hasilnya memuaskan.

“Instansi lain yang punya kewenangan serupa sampai sekarang masih kurang greget. Pokoknya jangan direvisi. KPK masih cukucukup kuat dengan UU yang sekarang ada,” katanya.

Kedua pandangan dari Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof Hariadi Kartodihardjo. Ia melihat, sejak lima tahun terakhir, KPK cukup intensif masuk ke sektor hutan, tambang, kebun dan pangan. Hal ini relevan karena sektor sumber daya alam berciri publik baik penguasaannya maupun fungsinya.

Menurutnya, penindakan KPK selama ini telah memiliki efek jera bagi sistem dan kebijakan di sektor sumber daya alam. Jika KPK dilemahkan, maka tujuan memperbaiki sistem dan kebijakan di sektor sumber daya alam juga semakin berkurang. “Kesimpulannya, revisi UU KPK yang arahnya untuk melemahkan KPK, sama sekali tidak dapat ditolerir,” katanya.

Pandangan ketiga datang dari Prof Marwan Mas, Guru Besar Hukum Universitas Bosowa ’45 Makassar. Menurutnya, lima poin yang melemahkan dalam RUU merupakan cara sistematis dalam melumpuhkan KPK. “Jika itu lolos, wewenang KPK seperti melakukan "penyadapan" yang harus ada izin Dewan Pengawas KPK, maka KPK tidak akan punya taring lagi. Perlu dipahami, bahwa transaksi suap yang dilakukan di ruang-ruang gelap, hanya bisa dibongkar dengan menyadap telepon pelaku,” katanya.

Selain itu, pembentukan lembaga baru bernama Dewan Pengawas KPK yang turut mengurusi proses hukum acara dengan memberikan izin penyadapan, maka akan semakin rancu proses hukum beracara, bahkan menyimpang terlalu jauh dari sistem hukum. “Saya tidak alergi terhadap revisi UU KPK, tetapi substansinya harus betul-betul menguatkan wewenang KPK,” katanya.

Keempat, pandangan dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Borobudur Jakarta, Faisal Santiago. Ia mengatakan, UU KPK merupakan senjata utama bagi lembaga antikorupsi tersebut. “Penyadapan dan tiadanya kewenangan SP3 merupakan senjata utama dan sekaligus memastikan kualitas penanganan perkara KPK. Menghilangkan kewenangan tersebut ibarat menggelar karpet merah bagi koruptor,” katanya.

Kelima, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk. Menurutnya, Revisi UU KPK harusnya malah memperkuat KPK, bukan melemahkan. Jika revisi lebih banyak melemahkan, lebih baik tidak usah dilakukan. “Faktanya  lebih banyak memperlemah KPK sebaiknya tidak usah dilakukan Revisi UU KPK,” ujarnya.

Keenam, pandangan dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padan, Saldi Isra. Ia mengatakan, ada empat butir revisi yang melemahkan KPK. Antara lain, kewenangan mengeluarkan SP3, izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik di luar aparat penegak hukum, dan pembentukan Dewan Pengawas.

Ketujuh, pandangan dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali. Ia berharap, tidak ada lagi rencana atau niat merevisi UU KPK. “KPK perlu diperkuat bukan dikebiri. Stop kebrutalan politik dengan menghentikan niat suci bangsa memberantas korupsi,” katanya.

Pandangan terakhir datang dari Prof Hibnu Nugroho, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Revisi baru bisa dilakukan jika keinginan tersebut datang dari institusi KPK itu sendiri, setelah internal lembaga antikorupsi itu melakukan evaluasi. “Kalau ada kekurangan-kekurangan, KPK yang akan mengetahui lebih dahulu ddan harus meminta perubahan tersebut, jadi keinginan perubahan itu jangan datang dari pihak luar, tapi dari dalam KPK sendiri,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait