Ini Sejumlah Titik Rawan UU Tapera
Utama

Ini Sejumlah Titik Rawan UU Tapera

Mulai ketidakpastian waktu kepemilikan rumah, hingga tak adanya peran negara yang diwakili pemerintah dalam penyediaan anggaran khusus peserta Tapera.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Kesejahteraan Sosial Atas Rumah; Membedah Tabungan Perumahan Rakyat’ atas prakarsa Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU) di Gedung DPD, Rabu (24/2). Foto: RES
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Kesejahteraan Sosial Atas Rumah; Membedah Tabungan Perumahan Rakyat’ atas prakarsa Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU) di Gedung DPD, Rabu (24/2). Foto: RES

Pemerintah telah resmi memiliki payung hukum untuk menarik iuran terhadap warga negara untuk menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sejak RUU tentang Tapera disetujui DPR menjadi UU, bagi warga negara negara yakni pekerja dan pemberi kerja yang mangkir memberi iuran dapat dikenakan sanksi administratif. Namun, UU Tapera bukan berarti tanpa celah. Masih ada sejumlah titik rawan untuk dikritisi.

Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU), Chazali Husni Situmorang, berpendapat UU Tapera nyaris tidak menempatkan pemerintah sebagai pihak bertanggungjawab dalam penyediaan dana perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Namun, UU Tapera membebankan seluruhnya penyediaan rumah terhadap pekerja dan pemberi kerja. Ironisnya, semangat filosofi pembuatan UU Tapera bertolak belakang dengan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. “Jadi di sini ada inkonsistensi,” ujarnya dalam Focus Group Discusion (FGD) membedah UU Tapera di Gedung DPD, Rabu (24/2).

Dana Tapera merupakan dana amanat dari peserta tabungan yang notabene berasal dari masyarakat luas. Dengan begitu, kepemilikan dana Tapera adalah pekerja dan pemberi kerja. Nanun dalam prosesnya, kedua pemilik dana itu tak dilibatkan dalam berbagai perencanaan. Pasalnya, dalam Badan Pengelola (BP) Tapera maupun Komite Tapera, tidak adanya keterwakilan dari kelompok pekerja maupun pemberi kerja. “Jika demikian, dimana makna dana amanat?,” ujarnya.

Komisoner BP Tapera diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Sedangkan dalam Pasal 52 ayat (2), menyatakan, “Dalam rangka pembinaan pengelolaan Tapera, berdasarkan UU dibentuk Komite Tapera”.

Komite Tapera terdiri dari menteri yang menyelenggarakan urusan perumahan dan kawasan pemukiman, menteri keuangan, menteri ketenagakerjaan, komisoner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan seorang dari unsur profesional yang kompeten di bidang perumahan. Hal lainnya, tidak dijelaskannya secara gamblang definisi ‘profesional’ dalam UU Tapera.

“Lalu di mana posisi pekerja dan pemberi kerja sebagai pemilik dana,” kata Chazali.

Mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) itu melanjutkan, status hukum BP Tapera perlu dipertegas apakah badan hukum publik, BUMN atau privat. Sebab, dalam UU Tapera tidak menyebutkan satu pasal pun yang menjelaskan status hukum BP Tapera. Namun, bila merujuk Pasal 50 maka BP Tapera dapat dikategorikan sebagai badan publik. Pasal 50 menyatakan, “BP Tapera hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang”.

Pembentukan Tapera bertujuan menghimpun dana dalam rangka penyediaan dana murah dalam jangka panjang untuk pembiayaan perumahan. Sayangnya, terdapat kejanggalan ketika tidak adanya dana pemerintah pada Tapera yang diperuntukan bagi peserta. Sebaliknya, dana pemerintah hanya diawal diberikan untuk membiayai operasional BP Tapera. Ironisnya, kata Chazali, bila kurang maka dapat diambil dari dana Tapera.

“Bagaimana ini bsia terjadi? Tidak ada pemisahan pembukuan dana/aset BP Tapera dengan dana Tapera yang diatur dalam UU Tapera,” ujarnya.

Hal lainnya, Tapera bertumpu pada tiga instrumen yakni pengerahan dana, pemupukan dana dan pemanfaatan dana. Pengerahan dana diambil dari kelompok pekerja dan pemberi kerja. Sedangkan pemupukan dan pemanfaatan dana dikendalikan oleh BP Tapera dengan menunjuk pihak ketiga yakni manajer investasi dan perbankan. Menjadi janggal dana peserta dikelola pihak ketiga yang tidak melibatkan kelompok pekerja mulai perencanaan hingga pelaksanaan.

“Kalau pihak lain atau ketiga itu bangkrut siapa yang bertanggungjawab, apa pemerintah take over? Tidak ada norma yang mengatur itu. Kalau BPJS bangkrut, pemerintah take over itu jelas di UU BPJS,” ujarnya.

Catatan lainnya, tidak ada jaminan lamanya peserta mendapatkan rumah sejak mulai terdaftar menjadi nasabah Tapera. Soalnya, UU hanya menyatakan berdasarkan ‘urut kacang’. Dengan kata lain tidak ada kepastian bagi peserta mendapatkan perumahan. Hal inilah menjadi persoalan penting. Tak kalah penting, tidak ada yang menyinggung kepemilikan tanah. Pasalnya, UU Tapera hanya menyatakan peserta dapat pemilikan.

“Bagaimana UU tidak dapat memberikan kepastian kepada rakyatnya, ini menjadi persoalan. Pertanyaanya, dalam UU Tapera di mana peran dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana diamanatkan konstitusi dan UU No.1 Tahun 2011,” katanya.

Ketua Komite II DPD Parlindungan Purba berpandangan, UU Tapera hanya memberikan akses terhadap pekerja formal. Sayangnya, pekerja informal tak memiliki peluang mendapakan akses pembiayaan rumah murah. Ia menilai pelaksanaan UU Tapera mestinya disinkronkan dengan UU lainnya. Ia menyoroti potensi pengumpulan dana peserta yang mencapai puluhan triliun nantinya perlu pengawasan melekat.

Terkait dengan pengawasan, keberadaan komisoner OJK juga menuai kritik Parlindungan. Menurutnya, OJK mestinya hanya mengawasi jasa keuangan, bukan masuk ke dalam Komite Tapera. Masuknya komisoner OJK dikhawatirkan mengganggu independensi Komite Tapera. “Oleh karena itu tidak logis masuknya OJK dalam Komite Tapera,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait