PERADI Nilai Tindakan Awang Lobi Pejabat MA Dilarang Kode Etik
Berita

PERADI Nilai Tindakan Awang Lobi Pejabat MA Dilarang Kode Etik

Berdasarkan catatan PERADI, Awang belum pernah melanggar kode etik.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Wasekjen PERADI kubu Fauzie Yusuf Hasibuan, Victor W Nadapdap di gedung KPK. Foto: RES
Wasekjen PERADI kubu Fauzie Yusuf Hasibuan, Victor W Nadapdap di gedung KPK. Foto: RES
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) Victor W Nadapdap mengatakan, sesuai kode etik, advokat tidak boleh menemui pejabat pengadilan atau hakim yang berhubungan dengan perkara. Kalau pun diperbolehkan, dalam hal perkara pidana,  advokat harus bersama-sama dengan jaksa.

"Jadi, saya tidak menyatakan si tersangka (Awang Lazuardi Embat) ini bagaimana. Cuma kode etik kami menyatakan, melarang advokat menemui pejabat peradilan atau hakim untuk suatu perkara. Apalagi melobi, menjanjikan, atau memberikan sesuatu," katanya usai diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andri Tristianto Sutrisna di KPK, Kamis (25/2).

Victor menjelaskan, saat ini, PERADI belum bisa mengenakan sanksi kode etik terhadap Awang. Dewan Kehormatan PERADI tidak bisa proaktif menindak tanpa adanya laporan. Andaikata nanti PERADI sudah menerima putusan berkekuatan hukum tetap, PERADI pasti akan memecat atau memberhentikan Awang secara permanen.

Apabila mengacu UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat yang terkena pidana dengan ancaman sanksi empat tahun atau lebih dapat diberhentikan sebagai advokat. Namun, menurut Victor, selama ini PERADI belum pernah melakukan pemecatan terhadap advokat berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sebab, lanjut Victor, selama ini pengadilan belum pernah mengirimkan putusan semacam itu ke PERADI. Padahal UU Advokat mengamanatkan demikian. Akibatnya, ada advokat yang berstatus terpidana, setelah ke luar dari penjara, tetap bisa berpraktik sebagai advokat. Bahkan, ada advokat yang sudah terkena skors tetap bisa beracara.

"Ini yang serba susah. Jangankan yang sudah diberhentikan, yang diskors setahun aja, walau pengadilan sudah kita beri tahu, tapi pengadilan, kepolisian, ato penegak hukum lain masih menerima dia untuk menangani perkara. Seharusnya ada kerja sama, saling menghargai. Kalau sudah kami berhentikan, jangan diterima beracara lagi dong," ujarnya.

Lantas, mengapa PERADI tidak mencabut saja kartu advokatnya, sehingga advokat tersebut tidak bisa beracara lagi? Victor beralasan, "Kami sulit juga mencabut itu, karena dikantongi. Masa' kita panggil dia untuk menyerahkan? Tapi, secara administrasi kami kan sudah beri tahu bahwa advokat ini kena tindakan organisasi".

Di lain pihak, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha mengatakan kehadiran Victor untuk mewakili Ketua Umum PERADI Fauzie Yusuf Hasibuan. "Bisa diwakilkan. Dia PERADI, karena ini tersangkanya advokat, jadi kita minta keterangan PERADI. Termasuk salah satunya untuk mengetahui kode etik pengacara," terangnya.

Keanggotaan Awang
Berdasarkan catatan PERADI, Awang mulai berpraktik sebagai pengacara sejak tahun 1991. Awang tercatat dengan nomor keanggotaan 91.10180. Awang lahir di Surabaya, Jawa Timur tanggal 29 Januari 1963. Posisi Awang di Dewan Pimpinan Cabang PERADI Malang juga bukan sebagai pengurus, tetapi hanya anggota.

Victor menyatakan, Awang diangkat sebagai pengacara praktik berdasarkan Surat Keputusan dari Pengadilan Tinggi pada 1991. Selama berkiprah sebagai pengacara, Awang tidak pernah dilaporkan ke Dewan Kehormatan PERADI. "Dari catatan kita belum pernah. Belum pernah juga ada sanksi administrasi atau kode etik yang dia langgar," tuturnya.

Dengan demikian, menurut Victor, Awang tidak pernah masuk dalam blacklist atau daftar hitam advokat PERADI. Selain itu, terkait masa berlaku kartu advokat Awang, Victor mengungkapkan, kartu advokat Awang hingga kini masih berlaku. Kartu advokat Awang baru diterbitkan dan berlaku sampai 2018.

Sebagaimana diketahui, KPK melakukan OTT terhadap enam orang. Tiga diantaranya, Kasubdit Kasasi Perdata Mahkamag Agung Andri, seorang pengusaha Ichsan Suaidi, dan Awang ditetapkan KPK sebagai tersangka. KPK menduga Andri menerima uang dari Ichsan dan Awang untuk menunda penyerahan salinan putusan ke PN Mataram.

Putusan dimaksud adalah putusan perkara korupsi Labuan Haji Lombok Timur yang diputus oleh majelis hakim agung, Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Awalnya, terdakwa Ichsan diputus dengan pidana penjara selama 1,5 tahun oleh pengadilan tingkat pertama berdasarkan putusan No.36/Pid.Sus-TPK/2014/PN Mtr.

Ichsan mengajukan banding, lalu kasasi, hingga putusannya pun diperberat menjadi lima tahun penjara di tingkat kasasi. Tidak hanya itu, Ichsan juga dibebankan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp4 miliar. Kasasi tersebut diputus oleh tiga hakim agung, Artidjo, MS Lumme, dan Krisna pada 9 September 2015.

Putusan ini lah yang diduga "dikomersialisasi" oleh Andri. Ichsan bersama pengacaranya, Awang diduga meminta Andri untuk menunda penyerahan salinan putusan kasasi ke pengadilan negeri pengaju, yaitu PN Mataram. Padahal, sebenarnya, Andri bukan lah orang yang berwenang menangani perkara pidana khusus. 
Tags:

Berita Terkait