Revisi UU Terorisme Menyasar Hate Speech
Berita

Revisi UU Terorisme Menyasar Hate Speech

Ujaran kebencian merupakan ekspresi intoleransi yang bisa mengarah pada tindak pidana terorisme.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Serangan terorisme biasanya terjadi secara tiba-tiba. Tapi peristiwa itu bukannya tanpa sebab-musabab. Setara Institute menilai terorisme merupakan puncak dari intoleransi. Wakil Ketua Badan Pekerja Setara Institute, Tigor Bonar Naipospos, mengatakan ujaran kebencian (hate speech) merupakan ekspresi dari intoleransi.

Terkait hate speech, Bonar mengapresiasi draft revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme yang memperluas ancaman kekerasan dalam tindak pidana terorisme dengan memasukan ujaran kebencian. Hal itu terlihat di Pasal 13A draft revisi UU Terorisme yang menyebut setiap orang yang sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.

Menurut Bonar, ketentuan itu ditujukan untuk memperkuat kepolisian melakukan tindakan pencegahan dini dalam penanganan terorisme. Itu dipertegas juga lewat Pasal 15 draft revisi UU Terorisme. “Dengan pasal-pasal itu kepolisian dimungkinkan melakukan penindakan terhadap propaganda tertulis maupun ujaran kebencian yang merupakan stage awal terjadinya terorisme,” katanya dalam jumpa pers di kantor Setara Institute di Jakarta, Kamis (3/3).

Selanjutnya, Bonar menilai draft revisi UU Terorisme memuat ketentuan yang bisa menjerat anak yang terlibat tindak pidana terorisme. Itu termaktub dalam pasal 16A draft revisi UU Terorisme. Menurutnya, revisi itu mencoba mengakomodasi perkembangan kejahatan terorisme yang melibatkan anak.

Namun Bonar menekankan agar draft revisi UU Terorisme memuat lebih rinci strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi radikalisme dikalangan remaja. Itu penting agar anak tidak terjerat menjadi bagian dari kelompok terorisme. Sayangnya, draft revisi UU Terorisme yang ada saat ini belum memuat strategi tersebut.

Peneliti Setara Institute, Aminudin Syarif, berpendapat Pasal 13A dan 15 draft revisi UU Terorisme ditujukan untuk pencegahan dini tindak pidana terorisme. Tapi perlu diingat pasal tersebut harus memperhatikan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang menjadi hak warga negara. “Untuk itu pasal-pasal tersebut harus memberi penjelasan yang lebih detail,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menilai pengaturan tentang ujaran kebencian sebagaimana termaktub dalam Pasal 13A draft revisi UU Terorisme berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ia mengusulkan agar ketentuan itu tidak diatur dalam revisi UU Terorisme tapi dibentuk UU khusus yang mengatur tentang ujaran kebencian.

Al berargumen radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia terjadi akibat pembiaran terhadap praktik ujaran kebencian. Walau dalam perspektif HAM pengaturan terkait ujaran kebencian dibolehkan tapi harus komprehensif dan benar. Untuk itu Al mengusulkan agar ujaran kebencian diatur terpisah, bukan dimasukan dalam UU Terorisme.

“Atur saja dalam UU tentang Ujaran Kebencian atau dimasukan dalam BAB di KUHP yang isinya tentang ujaran kebencian,” usulnya.

Jika ujaran kebencian hanya diatur lewat beberapa pasal di UU Terorisme, Al khawatir berdampak negatif terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Seperti yang terjadi dalam UU ITE dimana UU tersebut memuat beberapa pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian. Pasal itu pada praktiknya dijadikan alasan untuk melakukan kriminalisasi kepada orang yang tidak melakukan tindak pidana. Seperti kasus seorang PNS yang dipecat dan dipidana karena menulis di media sosial bahwa 'Tuhan tidak ada.'

“Dikhawatirkan jika revisi UU Terorisme memuat pasal tentang ujaran kebencian praktiknya nanti akan menyasar kelompok masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan,” pungkas Al.
Tags: