Simak Yuk! Kaidah Hukum 12 Putusan Berstatus Landmark Decisions
Utama

Simak Yuk! Kaidah Hukum 12 Putusan Berstatus Landmark Decisions

Dalam beberapa tahun terakhir MA selalu memuat putusan-putusan yang dianggap penting. Inilah 12 putusan terpilih.

Oleh:
M. YASIN/AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Putusan adalah mahkotanya hakim. Putusan-putusan brilian seringkali lahir dari ruang sidang, bahkan tanpa diketahui warga masyarakat. Putusan yang lahir dari penemuan hukum dan mempertimbangkan banyak aspek secara mendalam dapat menghadirkan sesuatu yang baru demi keadilan, kepastian, atau kemaslahan hukum.

Tahun 2015 lalu, Mahkamah Agung Indonesia juga telah memutus ribuan perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK). Dari ribuan perkara itu, telah disarikan 12 putusan yang dianggap penting. Putusan-putusan itulah yang dianggap penting. Apa saja kaidah hukum yang diangkat dari 12 putusan itu?

1. Perbuatan melawan hukum (Putusan No. 121 PK/Pdt/2011)
Kejaksaan menggugat terpidana korupsi yang tidak membayar uang pengganti. Dalam proses persidangan, salah satu poin yang perlu dijawab adalah apakah tidak membayar uang pengganti bisa dianggap perbuatan melawan hukum. Jawabannya ada dalam kaidah norma yang dibuat oleh hakim dalam pertimbangan. Menurut majelis (Harifin A. Tumpa, Dirwoto, Andi Syamsu Alam), dalam perkara tindak pidana korupsi, pembayaran uang pengganti merupakan kewajiban hukum terpidana. Jikwa kewajiban itu tidak dipenuhi, dipandang sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum terpidana. Karena itu, Kejaksaan selaku Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan secara perdata.

2. Tanggung jawab badan hukum (Putusan No. 632 PK/Pdt/2014)
Seorang penumpang yang kehilangan bagasi menggugat maskapai penerbangan. Dalam proses gugatan itu ternyata nama perusahaan yang disebutkan tidak sama dengan yang tertera dalam akta. Tetapi sehari-hari masyarakat mengenal nama perusahaan itu seperti yang disebut dalam gugatan. Meskipun beda nama perseroan dalam akta dan nama yang dikenal masyarakat, tidak melepaskan tanggung jawab perseroan dari kewajiban membayar ganti rugi. kaidah hukum yang diangkat majelis hakim dalam perkara ini adalah ‘perbedaan menyebutkan nama Lion Air sebagaimana secara umum dikenal masyarakat dengan nama PT Lion Mentari sebagaimana disebut dalam Akta Pendirian Perusahaan tidak mengakibatkan tergugat terlepas dari tanggung jawab secara hukum’. Begitu pertimbangan majelis hakim agung M. Saleh, Syamsul Ma’arif, dan Zahrul Rabain.

3. Perdata lingkungan hidup (Putusan No. 109/Pdt/2014)
Putusan majelis ini (M. Saleh, Abdul Manan, Zahrul Rabain) mengenai gugatan Kementerian Lingkungan terhadap dua perusahaan yang diduga merusak hutan suaka alam. Pengadilan menyatakan tergugat bertanggung jawab secara mutlak. kaidah hukum yang diangkat dari pertimbangan hakim adalah ‘pelaku perbuatan melanggar hukum perusakan lingkungan hidup bertanggung jawab secara mutlak’.

Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melanggar hukum perusakan lingkungan hidup. Karena itu, para tergugat dihukum untuk membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada penggugat. Tergugat I telah melakukan perusakan hutan, kerusakan akibat pembuatan jalan dan pembuatan dermaga seluas 208 hektare. Tergugat II telah melakukan pengrusakan hutan akibat pembuatan jalan seluas 98,6 hektare. Tergugat I dan Tergugat II telah menimbulkan kerusakan hutan dan akibat pembuatan jalan di luar lokasi izin pertambangan Tergugat I dan Tergugat II seluas 64,2 hektare.

4. Tagihan pajak dalam kepailitan (Putusan No. 72 PK/Pdt-Sus.Pailit/2015)
Majelis hakim agung (Abdurrahman, Soltoni Mohdally, Nurul Elmiyah) menggunakan konsep proporsionalitas dalam pembagian boedel pailit. kaidah yang bisa diangkat dari pertimbangan mereka adalah “Meskipun hutang pajak merupakan kreditor preferen, namun dalam pembagian harta pailit dilakukan berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan (proporsional). Pemohon PK telah memperoleh hasil yang jauh lebih besar, yaitu 62,5%, dari hasil pemberesan harta pailit. Sisanya dibagikan kepada kreditur lain secara berkeadilan”.

5. Perdata khusus arbitrase (Putusan No. 78 PK/Pdt.Sus-Arb/2014)
Permohonan banding terhadap putusan peradilan tingkat pertama yang mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase wajib diikuti alasan/memori paling lama 14 hari setelah permohonan banding diajukan sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009.

Itulah kaidah hukum yang bisa diangkat dari putusan majelis hakim agung Djafni Djamal, Hamdi, dan I Gusti Agung Sumanatha, dalam perkara perusahaan melawan walikota Saamarinda.

6. Pidana lingkungan hidup (Putusan No. 1363 K/Pid.Sus/2012)
Majelis kasasi (Djoko Sarwoko, Komariah Emong S, Sri Murwahyuni) menggunakan konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak dalam memutus perkara ini. kaidah hukumnya: ‘Dalam kasus lingkungan hidup berlaku prinsip strict liability, sehingga tidak perlu dibuktikan kesalahan terdakwa. Cukup terdakwa dianggap bertanggung jawab apabila akibat pencemaran/kerusakan lingkungan telah terjadi’.

7. Pidana khusus korupsi (Putusan No. 285 K/Pid.Sus/2015)
Putusan ini tentang perkara eks Gubernur Banten Ratu Atur Chosiyah. Majelis dipimpin Artidjo Alkostar –beranggotakan MS Lumme dan Krisna Harahap—berpendapat berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah wewenang judex facti, akan tetapi secara kasuistis prinsip umum tersebut pernah disimpangi dalam putusan MA No. 47K/KR/1979 tangal 7 Juni 1982. Kejahatan korupsi oleh Undang-Undang diancam dengan pidana maksimum seumur hidup sehingga  dengan kedudukan terdakwa sebagai pemegang kekuasaan publik yang melakukan korupsi politik serta berupaya mempengaruhi putusan hakim Mahkamah Konstitusi dipandang perlu dijatuhi pidana yang setimpal dengan sifat berbahayanya kejahatan tersebut. Dengan demikian putusan yang dijatuhkan harus memadai ditinjau baik dari segi edukatif, preventif, korektif, maupun represif.

8. Hukum acara ekonomi syariah (Putusan No. 272 K/Ag/2015)
Menurut majelis kasasi (Abdul Manan, habiburrakhman, Amran Suadi) ‘dalam suatu akad yang memuat dua pilihan penyelesaian sengketa antara pengadilan agama dan arbitrase, maka para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa ke salah satu di antara dua pilihan tersebut. Apabila salah satu pihak telah mengajukan ke Pengadilan Agama dan tidak ada eksepsi dari pihak lawan, maka hakim wajib menyelesaikan perkara tersebut’.

‘Jika terjadi sengketa seperti kasus di atas, maka pilihan para pihak untuk menyelesaikan perkara tersebut harus diutamakan sehingga hakim  terikat dengan pilihan tersebut’.

9. Pidana militer, kawin ganda (Putusan No. 247 K/Mil/2015)
Seorang prajurit TNI telah menikah berkali-kali tanpa izin komandan kesatuannya. Perkawinan kedua dan seterusnya dilakukan secara siri dan tanpa persetujuan isteri pertama. Perkaranya masuk ke pengadilan. Majelis hakim agung (Andi Abu Ayyub, Burhan Dahlan, Andi Samsan Nganro) berpendapat ‘izin komandan satuan bukan syarat sahnya perkawinan bagi seorang prajurit TNI, karena ketentuan tersebut lebih bersifat tertib administrasi satuan.  Dalam kasus ini (i) perkawinan dalam kehidupan militer harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku di satuan, yaitu adanya izin dari komandan satuan; (ii) pernikahan (siri) yang dilaksanakan sesuai agama Islam dengan memenuhi syarat dan rukun nikah adalah sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan (iii) terdakwa telah menikah secara sah menurut agama dan dicatat di kesatuan, kemudian berulang kali menikah lagi (secara siri) dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 279 ayat (1) KUHP’.

10. Pidana militer, narkotika (Putusan No. 210 K/Mil/2015)
Ini tentang seorang prajurit yang mengkonsumsi narkotika di Medan. Majelis kasasi (Andi Abu Ayyub, Burhan Dahlan, Andi Samsan Nganro), ‘judex juris menilai judex facti keliru dalam menerapkan hukum karena telah salah dalam menilai fakta. In casu, perbuatan terdakwa mengkonsumsi narkotika dengan intensitas yang relatif tinggi dan dalam jangka waktu relatif dekat sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku kehidupannya, mengindikasikan terjadi kecenderungan mengalami ketergantungan narkotika. Mendasari ketentuan Pasal 103 ayat (1) jo Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hakim dalam putusannya dapat memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi medis  atau rehabilitasi sosial meskipun dalam perkara in casu tidak ada pendapat Tim Assessment’.

11. Hukum acara sengketa TUN (Putusan No. 456 K/TUN/2015)
Putusan ini menyangkut perkara rencana pengembangan bandara baru pengganti bandara Adi Sucipto di Yogyakarta. Pemilik lahan menggugat Gubernur DI Yogyakarta. Menurut majelis kasasi (Imam Soebechi, Is Sudaryono, Supandi), ‘Pemeriksaan dan pengujian objek sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh PTUN tidak hanya didasarkan  pada segi rechtmatigheid, tetapi juga harus memperhatikan segi doelmatigheid perkembangan dinamika pembangunan ke depan (futuristic)’.

12. Hukum materiil sengketa TUN (Putusan No. 490 K/TUN/2015)
Putusan ini menyangkut kisruh Partai Golkar. Kubu Aburizal Bakrie menggugat SK Menteri Hukum dan HAM. Dalam putusannya, majelis kasasi (Imam Soebechi, Irfan Fachrudin, Supandi) menyebutkan ‘Penerbitan Keputusan oleh Badan atau Pejabat TUN yang diambil tanpa terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai fakta yang relevan dan semua kepentingan pihak ketiga yang tersangkut, dapat dikualifikasikan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terutama asas kecermatan dan kehati-hatian’.
Tags:

Berita Terkait