Mempertanyakan Peran Penegak Hukum dalam Kebijakan Pengampunan Pajak
Fokus

Mempertanyakan Peran Penegak Hukum dalam Kebijakan Pengampunan Pajak

RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) jangan jadi ‘karpet merah’ terhadap mereka para pengemplang pajak.

Oleh:
YOZ/RFQ/HAG/KAR
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: HLM
Foto ilustrasi: HLM
Pajak merupakan menjadi salah satu sektor terpenting untuk membiayai pembanguan. Maret dan April merupakan momentum pemenuhan kewajiban perpajakan, baik wajib pajak pribadi maupun badan wajib menyampaikan laporan pajak tahunan. Berbagai cara dilakukan pemerintah, di antaranya dengan membuat regulasi-regulasi yang tentunya bertujuan untuk mendongkrak pendapatan negara dari sektor penerimaan pajak.

Setidaknya, ada sejumlah regulasi baru yang telah disiapkan yaitu Peraturan Dirjen Pajak No.PER-01/PJ/2016, Peraturan Menteri Keuangan No.16/PMK.10/2016, Peraturan Dirjen Pajak No.PER-47/PJ/2015, Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2015. Bukan itu saja, bila Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Nasional atau Pengampunan Pajak (tax amnesty) jadi dibahas dan disetujui DPR menjadi UU, pemerintah optimis target penerimaan pajak sebesar Rp1.546,7 triliun dapat terpenuhi.

Namun belakangan, RUU Pengampunan Pajak menjadi polemik. Mereka yang kontra dengan RUU ini mempertanyakan motif dibuatnya regulasi ini. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, mengatakan RUU Pengampunan Pajak justru memberikan ‘karpet merah’ terhadap mereka para pengemplang pajak.

Menurutnya, pengampunan pajak menegasikan pengabaian terhadap tindakan hukum bagi para investor korporasi yang melarikan asetnya, kemudian masuk ke Indonesia tanpa adanya sanksi sedikitpun. Yenny menilai sanksi terhadap mereka pengemplang pajak tak sedemikian tegas. Akibatnya, terkesan menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap masyarakat dan korporasi yang patuh sebagai wajib pajak. “Kita mengasumsikan ini hanya memberikan karpet merah kepada pengemplang pajak,” ujarnya.

Bila merujuk pada 1964 dan 1984 penerapan kebijakan pengampunan pajak gagal. Begitu pula dengan kebijakan sunset policy di tahun 2006, tak berhasil mendongkrak penerimaan pajak secara signifikan. Ujungnya, kata Yenny, ruang fiskal negara keteteran. Walhasil, solusi yang ditempuh adalah mengajukan pinjaman ke luar negeri.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, mengakui pajak merupakan garda terakhir dalam penegakan hukum perekonomian negara. Namun, dia menengarai RUU Pengampunan Pajak bernuansa ditunggangi para pengemplang pajak, money laundring dan pelaku pidana lainnya untuk melakukan ‘cuci dosa’.

Firdaus menilai penerapan pengampunan pajak melalui aturan tersebut jelas mengabaikan peran penegak hukum. Pasalnya, uang dan aset dari pengemplang pajak tidak jelas asalnya, apakah terkait pidana atau korupsi. Fasilitas pengampunan itulah yang mengabaikan proses hukum. Ia menilai implikasi terhadap penegakan hukum menjadi minim hanya demi mengejar pendapatan negara.

Dia mengatakan, pemerintah mestinya berkaca dari pemerintahan sebelumnya. Kegagalan penerapan pengampunan pajak hanya menjadikan para pengemplang pajak mencuci uangnya kembali setelah mendapat pengampunan pajak di dalam negeri. “Setelah mendapat pengampunan, pengemplang pajak dapat melenggang kembali dan menetap di luar negeri dengan segala asetnya,” ujarnya.

Pengamat perpajakan, Bawono Kristiaji, dari Danny Darussalam Tax Centre, mengatakan pemerintah perlu mengupayakan cara-cara memobilisasi penerimaan pajak dengan lebih baik. Dia melihat pemerintah tengah berupaya membenahi berbagai hal seperti mereformasi sektor pajak, perbaikan sistem hukum pajak dan melawan praktik penghindaran pajak (tax avoidance).

Berbeda dengan Yenny dan Firdaus, Aji berpendapat tax amnesty pada dasarnya sangat perlu dilakukan dalam mengatasi rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia. Di tahun 2013, hanya terdapat 37 persen wajib pajak yang melaporkan SPT nya. “Padahal kita tahu bahwa jumlah WP di Indonesia pun hanya kurang dari sepertiga angkatan kerja di Indonesia. Artinya, ini mengindikasikan pundi-pundi pajak selama ini hanya ditopang oleh segelintir masyarakat saja. Atau hanya orang yang itu-itu saja yg membayar pajak. Sedangkan sisanya belum patuh,” katanya.

Menurut Aji, tax amnesty sebenarnya memberikan jembatan bagi yang selama ini belum patuh agar menjadi patuh. Dengan demikian, kebijakan itu akan menuju sistem pemajakan yang lebih berkeadilan, di mana setiap pihak yang menerima manfaat barang publik akan juga membayar sesuai kemampuannya.

Dia menambahkan, tax amnesty akan memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan data yang nantinya dapat digunakan untuk memetakan potensi penerimaan hingga verifikasi dalam pemeriksaan. Meski demikian, Aji mengingatkan bahwa tax amnesty haruslah diletakkan dalam bingkai reformasi pajak yang memiliki tujuan jangka panjang.

Ketua Komisi XI DPR Ahmadi Noor Supit mengatakan, masyarakat tak perlu curiga atas penyusunan RUU Pengampunan Pajak. Hal terpenting menurutnya, penambahan penerimaan negara melalui kebijakan tersebut dapat terpenuhi. Dia berpendapat ada gagasan positif dari pengampunan pajak, yakni dalam rangka pemutihan terhadap mereka pengemplang pajak. Dengan adanya pengampunan pajak, otomatis dapat diketahui database wajib pajak yang notabene adalah pengemplang. “RUU ini solusi untuk penerimaan negara, ini untuk kepentingan negara. Bukan kita curiga siapa di belakang ini,” ujarnya.

RUU Pengampunan Pajak memang bukan tidak mungkin memberikan pengampunan terhadap berbagai hal. Selain database, pajak yang didapat dari pengemplang pajak dapat digunakan pada anggaran di tahun berikutnya. Namun begitu, Supit mengaku belum jelas apakah pengampunan pajak khusus tindak pidana pajak, atau pidana lain maupun pidana asal.

Politisi Partai Golkar itu melanjutkan, Pengampunan Pajak bakal menimbulkan kecemburuan terhadap mereka wajib pajak yang taat membayar pajak. Namun ia memastikan dalam RUU Pengampunan Pajak menggunakan konsep pemutihan terhadap mereka pengemplang pajak. “Oleh karena itu, ini penyelesaian menyeluruh tentang potensi pajak,” ujarnya.

Anggota Komisi VII Aryo Djojohadikusumo mengatakan, langkah pemerintah mesti didukung dalam rangka mendapatkan penerimaan negara yang cukup. Namun, ia memberikan catatan. Menurutnya, kebijakan pengampunan pajak penerapannya mesti adil. Tak saja terhadap mereka pengemplang pajak, tapi mesti mengakomodir mereka wajib pajak yang taat dan patuh membayar kewajibannya kepada negara.

“Jangan sampai kita mengampuni orang yang mengemplang pajak, tetapi tetap menginvestigasi orang yang taat pajak. Ini tidak fair,” ujarnya.

Syarat bisa diterapkan
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, mengatakan kesiapan basis data wajib pajak yang dimiliki Direktorat (Ditjen) Pajak menjadi syarat mutlak dalam penerapan kebijakan pengampunan pajak. Tak saja data perseorangan, namun pula korporasi.

Sistem berbasis data itu tak saja identitas wajib pajak, namun juga aset yang dimiliki wajib pajak. Keberadaan aset wajib pajak korporasi mesti sudah dapat didata Ditjen Pajak. Dengan begitu, negara sudah dapat menakar pendapatan dari sektor pajak terhadap mereka wajib pajak korporasi.

Kekuatan data dalam penerapan pengampunan pajak menjadi hal yang tak dapat dipisahkan. Basis data kelembagaan yang baik menjadi penopang bagi Ditjen Pajak. Ironisnya, pemerintah belum memiliki data keberadaan dan jumlah uang yang dilarikan pengemplang pajak. Menurutnya, Indonesia telah melakukan kesepakatan dengan Organization for Economic Co-operation and Development (EOCD) terkait pertukaran informasi antar bank yang akan diterapkan 2017 mendatang.

“Bila pemerintah ingin menerapkan pengampunan pajak, sebaiknya setelah adanya basis data mulai kekayaan wajib pajak, transaksi, dan wajib pajak warga negara Indonesia yang berada di luar negeri,” kata Firdaus.

Syarat lainnya adalah regulasi. Peraturan perundangan yang mengatur pemberian pengampunan pajak mesti disinkron dengan perundangan lainnya. Misalnya, kata Firdaus, ketika terdapat seseorang melakukan pidana pajak, apakah akan berpengaruh dengan penerapan pengampunan pajak. Pertanyaan lainnya, dengan penerapan pengampunan pajak, negara mendapatkan pendapatan atau sebaliknya.

Menurutnya, tidak ada angka yang jelas pendapatan negara dengan penerapan pengampunan pajak. Oleh sebab itu, kata Firdaus kajian dan penguatan sistem berbasis data mulai aset kekayaan negara yang terparkir di Singapura misalnya, mesti sudah terdeteksi. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, mengatakan kegagalan penerapan kebijakan pengampunan pajak pada 1964 dan 1984 menjadi pelajaran berharga. Sejumlah persoalan seperti lemahnya sistem administrasi perpajakan mesti diperbaiki Kementerian Keuangan. Perbaikan data perpajakan dari sektor sumber daya alam juga mesti menjadi sorotan. 

Tak kalah penting, sanksi tegas terhadap tindakan hukum kepada mereka yang tidak membayar royalti dan pajak tidak terbayar. Sementara data dari sektor BUMN pun mesti dipetakan. Misalnya dari 144 BUMN, mesti dipetakan mana saja yang dapat memberikan kontribusi bagi APBN.

“Dari sisi kelembagaan memang belum tertata. Dari sistem transparansi dan akuntabilitas belum terbangun. Jadi masih banyak kepanikan di dalam kontribusi di dalam penerimaan. Alasan klasiknya seperti itu, tetapi sistemnya tidak pernah dibangun dengan baik,” ujarnya.

Yenny berpandangan sepanjang persyaratan tersebut tak diperbaiki pemerintah, maka penerapan pengampunan pajak akan sia-sia dan tak bermanfaat banyak bagi pendapatan negara. Ia mengaku pesimis ketika sistem berbasis data dan perangkat lainnya tidak diperbaiki, justru penerapan kebijakan pajak bakal berujung meminta pinjaman luar negeri. Pasalnya, harapan mendapatkan tambahan penerimaan pajak dengan kebijakan pengampunan pajak justru fiskal negara menjadi defisit. “Kalau tidak sesuai target ujung-ujungnya hutang,” katanya. 

Direktur Eksekutif Institute for Develeopment of Economics Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengamini pandangan Yenny dan Firdaus. Menurutnya, data base wajib pajak yang dimiliki Ditjen Pajak menjadi kekuatan dalam penerapan kebijakan pengampunan pajak. Dengan perbaikan sistem data base, justru harapan mendapatkan tambahan penerimaan negara dapat melebihi dari Rp60 triliun sebagaimana harapan pemerintah.

“Kalau data base pajak diperbaiki, maka tambahannya bukan cuma Rp60 triliun, tapi bisa dapat Rp100 triliun, mestinya dengan perbaikan data base target bisa tercapai,” katanya. 

Menurutnya, perbaikan data base tak saja di Ditjen pajak, tetapi juga di data kependudukan. Ia berpendapat ketika seseorang ingin membuka usaha dan mendapatkan perizinan, maka secara otomatis wajib pajak dapat terdeteksi dengan munculnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Makanya, ketika data base kependudukan berjalan baik diimbangi dengan data base pajak maka akan memperluas cakupan wajib pajak.

“Sebelum Tax Amnesty diberlakukan, perbaiki dulu sistem dan asas keadilan harus dibangun dulu. Ini pertanyaan besar yang harus dijawab Dirjen Pajak. Bagaimana mereka melaukan perbaikan data base. Kalau data kependudukan sudah tersusun rapi, kemudian perizinan usaha sudah terintegrasi maka bisa terkoneksi dengan NPWP. Tapi ini saja belum beres,” ujarnya.

Terlepas dari perdebatan di atas, pajak merupakan sektor vital bagi berjalannya pembangunan. Tanpa adanya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, regulasi sebagus apapun tak akan berpengaruh bagi kelangsungan pembangunan yang adil dan merata. Bila RUU Pengampunan Pajak nantinya disahkan menjadi undang-undang, diharapkan proses penegakan hukum terhadap mereka para pengemplang pajak tetap berlanjut. Hal ini penting demi asas keadilan.

Tags:

Berita Terkait