Saatnya Kebijakan Perpajakan Direformasi
Berita

Saatnya Kebijakan Perpajakan Direformasi

Penegakan hukum dan kesadaran masyarakat kunci peningkatan penerimaan pajak.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Sedikitnya 75% total penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disumbang dari pajak. Di sisi lain, pendapatan pajak belum optimal. Kendati pada tahun ini pemerintah memasang target tinggi pencapaian pajak, namun banyak pihak menilai masih banyak potensi pajak yang belum bisa dipungut oleh negara.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan masalah utama yang dihadapi adalah kebijakan yang belum tepat. Akibatnya, Yustinus melihat masih banyak penghindaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak di Indonesia, baik badan maupun perorangan. Tak heran, pemerintah lebih memaksimalkan wajib pajak yang sudah patuh untuk semakin patuh. Sementara itu, wajib pajak yang belum tersentuh masih jauh dari jangkauan.

“Kebijakan seperti ini tentunya tidak adil. Sebab, yang sudah patuh dibuat mau membayar pajak semakin besar. Di sisi lain wajib, pajak yang belum patuh tetap tidak tersentuh,” ujar Yustinus kepada hukumonline, Rabu (2/3).

Lebih lanjut, Yustinus mengkritisi kebijakan perpajakan yang bersifat kusukarelaan. Wajib pajak dituntut untuk sukarela menghitung sendiri pajaknya, kemudian melaporkan sendiri, dan masih diminta untuk mengawasi. Padahal, ia mengingatkan bahwa tidak ada pihak yang suka membayar pajak. Sehingga, wajar jika masih ada wajib pajak yang belum memiliki kesadaran untuk membayar pajak secara sukarela.

Ia menuturkan, saat ini jumlah wajib pajak mencapai sekitar 28 juta. Dari jumlah itu, sebanyak 24 juta wajib pajak adalah karyawan, dan sebagian besar lainnya yang menerima gaji dan sudah dipotong oleh pemberi kerja. Artinya, memang mereka sudah patuh. Sementara dua juta lainnya adalah perusahaan dan sisanya adalah orang pribadi bukan karyawan atau pengusaha.

“Bayangkan, justru yang patuh membayar pajak itu ya karyawan. Sementara itu, pengusaha yang penghasilannya besar dan seharusnya membayar pajak besar malah belum tersentuh,” tandas Yustinus.

Yustinus mengingatkan, di dalam perpajakan dikenal prinsip kemampuan membayar (ability to pay). Artinya, yang berpenghasilan lebih besar membayar pajak lebih tinggi. Akan tetapi, struktur penerimaan pajak di Indonesia belum mencerminkan prinsip itu.

Menurut Yustinus, pajak penghasilan dari karyawan mencapai Rp105 triliun. Sementara itu dari pribadi non-karyawan hanya Rp5 triliun. Hal itu menunjukan, karyawan menyumbang pajak 20 kali lebih besar dibanding non karyawan.

Dirinya pun mengatakan, seharusnya negara memiliki kebijakan yang bisa memaksa orang membayar pajak. Akan tetapi, pemaksaan itu menurutnya harus dilandaskan oleh peraturan dan administrasi yang baik. Selain itu, ruang negosiasi tetap perlu dibuka luas.

Tak hanya itu, Yustinus menilai bahwa kepatuhan harus dibangun di atas dua sisi baik pemerintah dan pembayar pajak. Menurutnya, pemerintah harus menjamin penegakan hukum. Sedangkan wajib pajak harus memiliki kesadaran untuk membayar pajak.

“Kedua-duanya harus dibangun. Caranya, pertama, harus membangun sistem yang memungkinkan partisipasi orang seluas mungkin di Indonesia. Saat ini seolah olah yang mempunyai otoritas memungut pajak hanya Ditjen pajak, yang lain tidak bisa membantu. Ini merupakan persoalan. Dari sisi masyarakat ada problem mengenai kualitas belanja. APBN kita masih sangat buruk. Artinya, kita membayar pajak pasti mengharap reward yang baik. Namun ini belum terjadi karena belanja rutin, dan belanja modal masih lebih besar dibandingkan belanja sosial,” keluhnya.

Dengan adanya penegakan hukum dan kesadaran masyarakat, Yustinus optimis pendapatan pajak Indonesia bisa meningkat signifikan. Ia menjabarkan, Tax Ratio Indonesia cukup besar dengan kesenjangan hingga 5%. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia seharusnya bisa memungut pajak minimal Rp 400 trilliun lebih tinggi setiap tahun.

“Jika dihitung dari tax coverage ratio lebih besar lagi karena saat ini baru bisa memungut 55% dari potensi. Kalau sekarang kita mempunyai Rp 1.000 triliun, sebenarnya Indonesia mempunyai Rp 1.000 triliun lagi yang dipungut. Kalau kebijakan perpajakan direformasi, kemudian penegakan hukum berjalan, dan kesadaran masyarakat meningkat. Potensi itu bukan tidak mungkin kita maksimalkan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait