Mengintip ‘Pengadilan Profesi’ Para Jaksa
Berita

Mengintip ‘Pengadilan Profesi’ Para Jaksa

Jaksa diawasi secara internal dan eksternal.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: SGP.
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: SGP.
Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh…,”. Itulah sepenggal bunyi sumpah atau janji yang diucapkan setiap jaksa dihadapan Jaksa Agung sebelum memangku jabatannya. Sejatinya, setiap jaksa memegang teguh sumpah atau janjinya saat menjalankan profesinya.

Jika dilanggar, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mengatur tegas sanksi bagi jaksa, diantaranya pemberhentian secara hormat, tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara. Pasal 12 UU Nomor 16 Tahun 2004 merinci jenis perbuatan yang dihukum dengan sanksi pemberhentian dengan hormat. Lalu, Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2014 merinci jenis-jenis perbuatan yang dihukum dengan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.

Secara teknis, pemberhentian terhadap jaksa tidaklah dilakukan semerta-merta. Selain karena jaksa adalah seorang aparatur sipil negara (ASN) dan juga sebagai profesi penegak hukum, hal itu membawa konsekuensi pada mekanisme pemberhentian yang ‘tidak biasa’ sebagai ASN akan tetapi lumrah bagi profesi.

“Jaksa juga ada proses yang khas apabila dia tidak tertangkap tangan, seperti dia harus izin Jaksa Agung,” ujar Dosen Tanggung Jawab Profesi Fakultas Hukum Universitas Indonesia R Narendra Jatna kepada hukumonline di Jakarta, Senin (7/3)

Pasal 13 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa jaksa diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ). Teknisnya, diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, Dan Pemberhentian Sementera, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.

“Posisi MKJ itu muncul ketika seorang jaksa mau diberhentikan dari profesinya,” tambah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur itu

Dalam waktu 14 hari sejak jaksa menggunakan kesempatan untuk membela diri, Jaksa Agung wajib membentuk anggota majelis MKJ. Sementara, terhadap jaksa yang tidak menggunakan kesempatan membela diri. Jaksa Agung menerbitkan keputusan pemberhentian tana rekomendasi dari MKJ.

Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 20 Tahun 2008 sendiri menyebutkan bahwa MKJ bertugas memberikan pertimbangan, pendapat, dan rekomendasi kepada Jaksa Agung terhadap usul Jaksa Agung muda Pengawasan (Jam Was) tentang pemberhentian seorang jaksa. “PJI (Persatuan Jaksa Indonesia) bisa beri advokasi,” ujarnya yang juga anggota PJI.

Susunan anggota majelis MKJ terdiri dari satu orang Ketua, dua orang Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris masing-masing satu orang, dan empat orang Anggota. Komposisinya sendiri diatur rinci dalam Kepja 017/A/JA/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa. MKJ melakukan pemeriksaan terhadap laporan hasil pemeriksaan Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) dan dokumen pendukungnya atau terhadap jaksa yang akan diberhentikan sementara dari jabatannya.

Selain itu, Sidang MKJ dinyatakan sah apabila dihadiri paling kurang 2/3 dari jumlah anggota. Pemeriksaan sidang MKJ bersifat terbuka kecuali untuk hal-hal yang bersifat pelanggaran kesusilaan. Dalam mengambil keputusan, dilakukan majelis MKJ secara mufakat. Hasil keputusan itu disampaikan paling lambat tujuh hari kepada Jaksa Agung dan Jamwas setelah keputusan tersebut ditetapkan.

“Sekarang berhenti jadi jaksa berhenti juga jadi PNS. Dulu dipandang kalau jaksa berhenti dia tetap jadi Tata Usaha (TU),” ujar alumni FHUI itu.

Dua ‘Pintu’ Pengawasan
Seorang jaksa tak cuma diawai oleh atasan secara internal melainkan juga diawasi oleh pihak eksternal. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan membedakan dua bentuk pengawasan, yakni pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan atau atasan masing-masing atau satuan kerja terhadap bawahannya (pengawasan melekat/waskat). Yang kedua, pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional yang bersangkutan (pengawasan fungsional/wasnal).

Secara umum, pengawasan melekat dilakukan dengan pemantauan, pengamatan, pemeriksaan, mengidentifikasi dan menganalisis gejala penyimpangan, perumusan tindak lanjut yang tepat. Pejabatnya sendiri, diisi secara berjenjang mulai dari tingkat Kejagung, Kejati, Kejari. Sementara, jenis-jenis pengawasan fungsional, antara lain pengawasan dibelakang meja, inspeksi umum, inspeksi khusus, inspeksi pimpinan, inspeksi kasus dan pelaporan, dan pemantauan.

Pejabat wasnal sendiri lebih banyak diisi oleh jajaran di pengawasan, mulai dari Jamwas, Ses Jamwas, inspektur dan inspektur muda, kepala bagian pada Jamwas, Pemeriksa, dan Jaksa fungsional pada Jamwas. Di tingkat Kejati oleh Kajati, Wakajati, asisten pengawasan, pemeriksa, dan jaksa fungsional pada asisten pengawsan. Dan di tingkat Kejari oleh Kajari dan Pemeriksa.

“Mekanisme lewat pengawasan internal dibawah koordinasi Jamwas. Ada pemeriksa, inspektur muda, itu kalau ada kesalahan. Kalau dalam penanganan perkara, ada namanya eksaminasi khusus perkara. Eksaminasi dalam konteks teknis, kalau ditemukan perilaku yang salah diserahkan ke Jamwas, kalau tidak berhenti disitu. Antara perilaku dengan kasus bisa beda. Kalau ada kaitan perilaku, muara ke pengawasan,” terangnya.

Sementara untuk pengawasan eksternal, diawasai sejumlah pihak terkait mulai dari masyarakat, mitra kerja dengan Komisi III DPR RI, UKP4, serta Komisi Kejaksaan RI. Khusus untuk Komisi Kejaksaan RI dapat memberi rekomendasi berupa pemberian sanksi terhadap jaksa atau pegawai kejaksaan sesuai dengan pelanggaran yang dimaksud dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Kode Etik, dan peraturan perundang-undangan.

Komisioner Komisi Kejaksaan diberi hak antara lain dapat diangkat sebagai anggota dalam MKJ. Selain itu juga berhak mengikuti setiap gelar perkara baik pada kasus yang dipimpin oleh Jaksa Agung atau kasus yang dilaporkan masyarakat kepada Komisi Kejaksan. Berdasarkan Perpres Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan, ada perluasan wewenang dalam menangani laporan pengaduan dari masyarakat.

Selain dapat mengambil alih permeriksaan,  Komisi Kejaksaan juga berwenang melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal  Kejaksaan apabila ada bukti atau informasi baru yang dalam pemeriksaan sebelumnya belum diklarifikasi dan/atau memerlukan klarifikasi lebih lanjut,

Selain itu, ketika pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak dikoordinasikan sebelumnya dengan Komisi Kejaksaan. Dan apabila pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak menunjukkan kesungguhan  atau belum menunjukkan hasil nyata dalam waktu tiga bulan sejak laporan masyarakat atau laporan Komisi Kejaksaan diserahkan ke aparat pengawas internal Kejaksaan, atau apabila diduga terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat internal Kejaksaan.

Hasil pemeriksaan dimaksud disampaikan kepada Jaksa Agung dalam bentuk rekomendasi Komisi Kejaksaan untuk ditindak lanjuti. Apabila rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti atau pelaksanaannya tidak sesuai rekomendasi, Komisi Kejaksaan dapat melaporkannya kepada Presiden. “Itu ada MOU kapan Komisi Kejaksaan bisa masuk,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait