Pangkas Putusan untuk Tutup Celah Manajemen Perkara MA
Kolom

Pangkas Putusan untuk Tutup Celah Manajemen Perkara MA

Di Belanda, isi dari informasi perkara hanya dimuat inti dan ringkasannya saja, sedangkan berkas-berkas utuhnya dijadikan lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dari putusan.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Tertangkap tangannya Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna, seolah membuka kembali luka lama di dalam tubuh lembaga MA. Ini bukan pertama kalinya terjadi di ranah institusi peradilan tersebut. Dari kasus ini, memperlihatkan bahwa penanganan perkara di MA masih menyisakan celah bagi praktik korupsi di kalangan personil MA. Peristiwa tersebut tentunya merugikan MA secara kelembagaan. Permasalahan dari sistem penanganan perkara di MA, adalah banyaknya tunggakan perkara serta lamanya proses minutasi perkara.

Permasalahan Format Putusan MA
Minutasi perkara merupakan tahap pengetikan putusan sejak putusan diucapkan hingga terbitnya salinan putusan. Akhir 2014, Ketua MA menetapkan SK KMA No. 214 Tahun 2014 yang mengatur jangka waktu penanganan perkara. Berdasarkan SK tersebut, jangka waktu minutasi putusan paling lama 103 hari. Jangka waktu tersebut dinilai belum sesuai dengan praktiknya. Penyelesaian perkara sejak awal hingga dikirimkan kembali ke pengadilan pengaju membutuhkan waktu 528 hari, dimana 243 hari untuk menyelesaikan proses minutasi perkara (LeIP, 2014). Salah satu penyebab lamanya proses minutasi adalah format putusan yang tidak sederhana, sehingga proses pengetikan dan koreksi putusan memakan waktu yang lama.

Dengan format putusan yang belum sederhana, MA harus menyelesaikan pengerjaan dengan cara pengetikan pada aplikasi Word. Ditambah lagi, proses koreksi putusan masih dilakukan dengan cara membaca manual kata per kata. Proses pengetikan dan koreksi semakin sulit karena format putusan yang tidak sederhana. Banyak informasi yang sebenarnya tidak perlu dimuat kembali dalam putusan MA. MaPPI FHUI menelusuri 150 putusan MA. Dari penelusuran tersebut, hanya 12 persen bagian putusan yang membuat isi pertimbangan majelis hakim, sisanya merupakan informasi yang sudah dimuat di putusan pada tingkat sebelumnya (riwayat perkara). Apabila dihitung, hanya 2-5 halaman yang benar-benar membuat isi pertimbangan hakim.

Dari penelurusan putusan, MaPPI menemukan ada beberapa bagian putusan yang sifatnya pengulangan informasi dari putusan tingkat sebelumnya. Pada putusan pidana, pengulangan terdapat di bagian surat dakwaan, surat tuntutan, dan amar putusan pengadilan tingkat sebelumnya. Sedangkan pada putusan perdata, pengulangan terjadi di bagian objek sengketa, posita dan petitum, dan beberapa di bagian sita terhadap objek sengketa. Bagian-bagian tersebut bukan hanya menjadikan format putusan tidak sederhana, tetapi juga menjadikan putusan MA sangat tebal. Padahal inti dari suatu putusan pengadilan adalah bagaimana isi pertimbangan hakim.

Tidak efektifnya format putusan berimplikasi terhadap kinerja pegawai MA dalam menyelesaikan minutasi perkara MA. Tercatat 44 persen penyelesaian minutasi perkara membutuhkan waktu berkisar antara 6-12 bulan (Mahkamah Agung RI, 2014). Bisa dibayangkan bagaimana beban kerja pegawai MA dalam mengetik keseluruhan putusan. Apalagi dengan rumitnya format putusan, serta banyaknya halaman akan berpotensi menimbulkan salah ketik, sehingga hakim serta asistennya membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengoreksi putusan. Makanya, perlu adanya penyederhanaan format putusan, agar lebih memudahkan pengetikan dan pengoreksian serta memudahkan masyarakat untuk memahami isi putusan, karena formatnya akan lebih sederhana.

Metode Penyederhanaan Format Putusan MA
Dalam melakukan penyederhanaan ini kita perlu melihat kembali dasar pembentukan format putusan MA. Pada awalnya, format putusan MA tidaklah serumit seperti sekarang ini. Pada tahun 1950-an, bagian-bagian seperti informasi perkara dicantumkan dalam bentuk ringkasan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 5k/sip/1954), tidak dimuat keseluruhan seperti format saat ini. Namun, perkembangannya terdapat kekhawatiran jika hanya ringkasan yang dimuat akan berpengaruh terhadap penafsiran isi perkara. Apalagi setelah diundangkannya KUHAP, MA menafsirkan bahwa putusan pidana MA harus membuat seluruh isi informasi perkara (Pasal 197 KUHAP). Ketua MA Hatta Ali sendiri mengakui bahwa penyederhanaan format putusan akan sulit dilakukan karena adanya pengaturan di dalam KUHAP.

Padahal kekhawatiran tersebut tidak perlu dibiarkan berlarut. Ketentuan di dalam Pasal 197 KUHAP memang mengatur mengenai format putusan pidana. Di dalam Pasal tersebut mewajibkan bagian putusan harus memuat bagian-bagian seperti informasi perkara (dakwaan, tuntutan dan amar putusan pengadilan tingkat sebelumnya). Namun yang harus dicermati, ketentuan Pasal 197 KUHAP terdapat di bab XVI mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ruang lingkup pengaturan perkara kasasi bukanlah di tahap pemeriksaan sidang pengadilan, melainkan di tahap upaya hukum. Sedangkan dalam Bab upaya hukum tidak ada pasal yang secara jelas mengatur mengenai format putusan. Apalagi MA ketika memutus suatu perkara tidak perlu lagi melihat mengenai fakta persidangan, melainkan hanyalah menyangkut mengenai memori kasasi, sehingga ketentuan pada bagian informasi perkara tidaklah menjadi pokok utama dalam pemeriksaan perkara kasasi.

Penyederhanaan format putusan bisa dilakukan dengan meringkas bagian-bagian yang memuat pengulangan informasi. Metode penyederhanaan bisa dilakukan dengan menggunakan metode rujukan. Dengan begitu, bagian seperti informasi surat dakwaan, surat tuntutan dan amar putusan pengadilan tingkat sebelumnya dapat disederhanakan menjadi pokok-pokok isi dari bagian tersebut, sedangkan mengenai isi keseluruhannya dapat merujuk ke berkas dari putusan di tingkat pengadilan sebelumnya. Nantinya, putusan pada tingkat sebelumnya dapat dijadikan lampiran tersendiri, dengan disertai pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan MA.

Format seperti ini sebenarnya bukanlah suatu hal baru, karena putusan pengadilan di Belanda sudah menggunakan format seperti ini. Di Belanda, isi dari informasi perkara hanya dimuat inti dan ringkasannya saja, sedangkan berkas-berkas utuhnya dijadikan lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dari putusan. Bahkan format putusan di Ameriksa Serikat jauh lebih sederhana, bagian-bagian informasi perkara hanya dijelaskan secara singkat beberapa paragraf di awal. Sisa isi putusan menjelaskan mengenai legal opinion dari Majelis Hakim mengenai perkara tersebut.

Melihat pembelajaran dari putusan negara lain dan kebutuhan dari MA sendiri. Penyederhanaan format putusan menjadi suatu langkah yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung. Dengan penyederhanaan format putusan, kerja pegawai MA dalam menyelesaikan minutasi perkara bisa menjadi lebih cepat dan meminimalisir potensi kesalahan ketik. Penyederhanaan bisa dilakukan dengan membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) mengenai format putusan. Bentuk penyederhaan tersebut dilakukan dengan cara menyederhanakan isi dari informasi perkara (surat dakwaan, tuntutan, objek sengketa, posita dan amar putusan pengadilan tingkat sebelumnya). Namun format pada bagian pertimbangan hakim tidak bisa serta merta disederhanakan, melainkan harus diberi keluasaan bagi majelis hakim dalam memberikan suatu legal opinion terhadap isi perkara. Alhasil, nantinya format putusan MA bisa lebih memudahkan untuk dibaca dan mengedepankan isi dari pemikiran Hakim.

Penyederhanaan bagian riwayat perkara, juga akan memudahkan Asisten Hakim Agung untuk mengetik isi putusan lebih cepat, karena bentuknya akan lebih sederhana dan sudah bisa disiapkan sejak sebelum majelis hakim bersidang. Pada akhirnya, hasil dari putusan akan memudahkan para pencari keadilan untuk mendapatkan putusan yang berkualitas.

*Ketua Divisi Riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Tags:

Berita Terkait