LSM: Anggaran Perkara Minim, Korupsi Potensial Terjadi di Kejaksaan
Aktual

LSM: Anggaran Perkara Minim, Korupsi Potensial Terjadi di Kejaksaan

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
LSM: Anggaran Perkara Minim, Korupsi Potensial Terjadi di Kejaksaan
Hukumonline
Koalisi Pemantau Peradilan meminta peningkatan anggaran kejaksaan dalam menangani perkara. Peningkatan anggaran diyakini akan meningkatkan performa Kejaksaan dan mencegah terjadinya korupsi di Korps Adhyaksa itu.

"Kami meminta untuk menaikan batasan maksimal anggaran yang diberikan dari Rp3,3 juta menjadi Rp10 juta untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya sedang, dan Rp25 juta untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya tinggi," kata peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) Dio Ashar Wicaksana dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Anggaran kejaksaan untuk penanganan perkara pidana umum (pidum) mengalami pemangkasan pada 2016 menjadi Rp3,3 juta untuk 39.514 perkara, atau hanya seperempat dari anggaran pidum pada 2015 untuk 120.019 perkara padahal jumlah penanganan perkara pidum pada 2012-2014 mencapai lebih dari 100.000 perkara sejak tahap prapenuntutan hingga eksekusi.

"Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan kenaikan penyelesaian perkara di tahap Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) sebanyak 131 ribu perkara sepanjang 2016-2019, namun rencana ini tidak sejalan dengan perencanaan anggaran karena Kejaksaan hanya dialokasikan untuk menangani sebanyak 39.514 perkara," tambah Dio.

Contoh dampak dari pemangkasan terjadi di Kejari wilayah Maluku yang semula dianggarkan untuk 60-70 perkara menjadi hanya sekitar 15 perkara.

"Mirisnya hingga akhir Februari 2019, kejaksaan setempat sudah menangani lebih dari 15 perkara. Jika rata-rata perkara yang ditangani Kejaksaan melebihi 100.000 perkara, bagaimana mereka bisa menyelesaikan perkara jika anggaran sudah habis sejak awal tahun? Tentu hal ini tidak hanya terhadap performa Kejaksaan, melainkan juga menyebabkan adanya potensi praktik korupsi di Kejaksaan," tegas Dio.

Lebih lanjut, Koalisi juga meminta ada perubahan sistem penentuan keberhasilan dan penyusunan anggaran perkara di Kejaksaan.

"Hingga saat ini, indikator keberhasilan jaksa dalam menangani perkara berdasarkan jumlah perkara yang diselesaikan. Padahal fungsi utama penegak hukum bukan hanya menindak setiap perkara yang masuk, tetapi juga menjamin adanya keadilan, perlindungan hak, dan juga bebas korupsi," ungkap Dio.

Selain itu, fungsi penuntut umum sebagai pengendali perkara juga sebagai penentu mana yang layak atau tidak untuk dibawa ke Pengadilan.

"Jika penuntut umum tidak menemukan bukti yang cukup, maka mereka bisa mengesampingkan perkara melalui kewenangan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) seperti kasus Novel Baswedan sehingga jika pola penganggaran mereka seperti itu, Kejaksaan bisa menggunakan sistem penganggaran 'actual cost' seperti yang dilakukan oleh KPK," jelas Dio.

Laporan Komisi Kejaksaan menunjukkan bahwa anggaran perkara di Kejaksaan tidaklah berbasiskan kebutuhan. Contohnya pada 2011, Kejaksaan diberikan biaya Rp29,5 juta per perkara pidum, namun karena tidak mencukupi keseluruhan penanganan perkara, maka Kejaksaan menurunkan satuan biaya perkara menjadi Rp5,8 juta per perkara (pada 2012) dan kembali menurun menjadi Rp3,3 juta (pada 2013).

Nominal tersebut tentu tidak sesuai dengan biaya yang harus dikeluarkan. MaPPI mencatat jaksa membutuhkan biaya minimal Rp8 juta untuk perkara di Kejari yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN) seperti di Papua, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

"Kebutuhan tinggi tersebut dibutuhkan untuk transportasi laut maupun udara sekedar pergi bersidang. Bisa dibayangkan bagaimana besarnya biaya jika membawa saksi, terdakwa dan petugas keamanan, belum lagi konsumsi dan penginapan jika perjalanannya tidak cukup satu hari," ungkap Dio.

Meskipun pada 2015 lalu, besaran anggaran sudah dibedakan terhadap Kejari yang tidak satu wilayah dengan PN, namun besaran tersebut masih dianggap belum cukup karena baru berkisar Rp6 juta.

"Kesulitan terjadi jika perkara yang ditangani merupakan perkara yang sulit pembuktiannya, seperti perkara narkotika, 'illegal logging', 'illegal fishing', 'human trafficking' dan lainnya," tambah Dio.

Dari laporan Kejaksaan, tercatat perkara tersebut mencapai angka 24.767 perkara pada 2014 dengan narkotika mencapai 20.204 perkara disusul penggelepan sebesar 2.233 perkara.

"Seperti kasus 'illegal fishing', ikan-ikan yang menjadi barang bukti harus diperlakukan khusus agar tidak menjadi busuk ditambah harus ada tempat khusus untuk menyimpan kapal terkait perkara itu. Anggaran penanganan perkara di Kejaksaan belum mengalokasikan untuk biaya perlindungan barang bukti, pengamanan persidangan, ekstradisi, atau sekedar biaya saksi ahli akibatnya, jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar dan hal ini juga jadi penyebab praktik korupsi," jelas Dio.

Padahal menurut Dio, Presiden Joko Widodo sendiri memiliki visi untuk menguatkan potensi sumber daya alam, sayangnya tujuan baik tersebut tidak dikorelasikan dengan kebijakan anggaran untuk penanganan kasus di perkara-perkara "illegal fishing" maupun "illegal logging".

"Karena itu kami meminta agar pemerintan membuat klasifikasi perkara berdasarkan kebutuhan anggaran misalnya perkara yang butuh anggaran besar seperti 'illegal logging' serta membangun sistem pencatatan laporan penanganan perkara di tiap wilayah Kejari yang mencatat jumlah perkara, jenis perkara, biaya yang dikeluarkan, serta lamanya proses penanganan perkara agar biro perencanaan Kejaksaan Agung bisa membuat perencanaan anggaran berdasarkan sistem tersebut," ungkap Dio.

Selanjutnya perlu ada perubahan indikator keberhasilan penyelesaian perkara berdasarkan jumlah perkara yang ditangani serta membuat pencairan anggaran penanganan perkara dengan sistem "actual cost" atau "reimbursable" seperti sistem di KPK sehingga anggaran yang tersisa tidak perlu dipaksakan laporan penggunaannnya sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan perkara yang butuh biaya ekstra.
Tags: