M Husseyn Umar: Lawyer plus Penyair
Berita

M Husseyn Umar: Lawyer plus Penyair

Awalnya Husseyn sempat ingin pindah kuliah ke jurusan sastra karena merasa bosan dan tidak senang belajar hukum.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
M Husseyn Umar dalam acara peluncuran buku yang difasilitasi oleh BANI. Foto: RIA
M Husseyn Umar dalam acara peluncuran buku yang difasilitasi oleh BANI. Foto: RIA
M. Husseyn Umar, namanya dikenal sebagai Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Namun siapa sangka, pemegang kekuasaan tertinggi pada lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang juga dikenal sebagai lawyer itu pernah ingin meninggalkan studi hukumnya dan pindah mengambil jurusan sastra? Nyatanya itu lah yang terjadi.

Husseyn resmi tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia (FHIPK UI) pada tahun 1952. Tetapi, baru tiga bulan masuk, Husseyn sudah menuliskan surat resmi yang ditujukan kepada pihak kampus untuk menyampaikan keinginannya pindah ke Fakultas Sastra dan Filsafat (Fakultas Ilmu Budaya saat ini, red).

“Jadi waktu saya kuliah hukum, baru dua bulan tiga bulan, lalu saya bosan. Nggak senang. Saya mau keluar. Pindah ke sastra. Saya kirimkan surat resmi,” tutur Husseyn kepada hukumonline ditemui usai peluncuran buku dan CD musikalisasi puisinya di Jakarta, Sabtu (5/3).

Hanya saja keinginannya itu urung ia teruskan setelah melihat sosok guru besar di sana.  “Ketika saya ke Fakultas Sastra untuk lihat-lihat jadwal, ada profesor lewat; Prof. Dr. Purbo Caroko. Dia pakai blangkon, pakai surjan (busana khas Jawa yang dikenakan pria, red). Saya pikir, ‘wah nanti saya kalau masuk sastra jadi kayak gini. Ah nggak jadi lah,’ saya bilang,” Husseyn bercerita.

“Lagian banyak sarjana hukum yang juga bisa tetap berpuisi. Sutan Takdir Alisjahbana itu kan juga Mister (meester in de rechten atau sarjana hukum, red),” imbuh pria kelahiran 21 Januari 1931 ini yang juga mengaku memilih Fakultas Hukum sejak awal karena “dicekoki” omongan tidak enak dari orang-orang tentang masa depan lulusan sastra.

Kecintaan Husseyn pada dunia sastra memang begitu besar. Makanya, meski akhirnya memilih tetap setia menekuni bidang hukum hingga usia senjanya, ia masih produktif mengeluarkan karya sastra baik berupa cerita pendek maupun puisi. Buku berjudul “Angin Laut” yang ia luncurkan hari itu menjadi salah satu buktinya.

Mengingat kembali dari mana kecintaannya itu berasal, pria yang pernah menjadi Atase Maritim pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda mengatakan semuanya dimulai sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Saat itu masih SMP Belanda alias jaman pendudukan Belanda,” katanya.

Di saat orang-orang Negeri Kincir Angin masih menguasai Indonesia, Husseyn menemukan buku-buku sastra Belanda yang isinya berupa kumpulan puisi dan cerita. Dari membaca buku-buku itu lah ketertarikan Husseyn akan sastra muncul. Hingga akhirnya ia pun mulai menuliskan puisi-puisinya sendiri.

“Saya tulis puisi, lalu saya kirim, dan dimuat di majalah. Padahal saya baru umur berapa tuh? 14 tahun kalau nggak salah. Dan itu dimuat. Terus jadi semangat lah saya. Sampai mahasiswa saya masih aktif menulis juga,” ujar Husseyn yang dalam riwayatnya tercatat pernah menjadi anggota redaksi majalah mahasiswa UI.

Untuk diketahui kiprah menulis Husseyn saat masih mahasiswa juga tertuang ke dalam mars kampusnya yang berjudul Genderang UI. Ia lah yang menciptakan lirik asli dari lagu yang hingga saat ini masih dikumandangkan oleh para penerusnya, dengan bantuan komposisi musik digubah oleh teman satu fakultas Husseyn, Surni Warkiman.

Sempat Vakum Menulis
Setelah berhasil menyandang gelar sarjana hukum, Husseyn lama bertugas di lingkungan pemerintahan, tepatnya di Departemen Perhubungan RI. Selain menjadi Atase Maritim di negeri orang, ayah dengan empat anak ini pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dan Direktur PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN).

Diakui oleh Husseyn, saat mengemban amanah tersebut. aktivitasnya menulis sastra menjadi berkurang. Bahkan sempat terhenti. “Setelah pensiun, baru lah timbul kembali keinginan untuk menulis. Tulisan yang lama-lama saya cari-cari lagi, saya kumpulkan,” kata Husseyn.

Belasan buku sastra telah ia terbitkan. Di awal tahun 2000 terbit kumpulan cerita pendek berjudul “Selendang Merah”. Kemudian ada kumpulan puisi berjudul “Lereng, Perjalan dan Refleksi” di 2001. “Sepanjang Jalan” dan “Lembah Kehidupan” bahkan ia luncurkan dalam waktu bersamaan di tahun 2013 – bertepatan pula dengan ulang tahun pernikahannya yang ke-50 dengan istri tercinta, Nurhayati.

Cerminan dunia hukum di Indonesia pun tak luput dipuisikan oleh pria yang kini juga berperan sebagai off counsel pada kantor hukum Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro (ABNR). Ia menuliskan apa yang ia lihat dan alami dalam buku berjudul “Pro Justitia (Wajah Hukum dalam Puisi)” yang dicetak pada tahun 2009.

“Pro justitia itu isinya semua sinis terhadap hukum. Kita di Fakultas Hukum itu kan selalu diajar teori-teori yang baik-baik, ya? Beda dengan orang Fakultas Kedokteran. (Mahasiswa) Kedokteran diajarin orang sehat orang sakit. Fakultas Hukum, hukum yang sakit nggak diajarin. Nah selesai itu, pas kita masuk ke dunia hukum, ini ternyata kok sakit semua?” Husseyn menceritakan latar belakang isi bukunya.

Kini, Husseyn membagi waktunya untuk menulis sastra, di antara berbagai kesibukan yang masih ia jalankan, di malam hari. Ia mengaku senang dapat dikenal oleh orang-orang sebagai seniman atau sastrawan, di samping hanya dikenal sebagai seorang lawyer. “Lawyer itu banyak, tapi lawyer plus plus plus plus nggak,” tutup Husseyn mengakhiri wawancara siang itu.
Tags:

Berita Terkait