Quo Vadis Profesi Konsultan HKI di Indonesia
Kolom

Quo Vadis Profesi Konsultan HKI di Indonesia

Jika dicermati politik hukum yang tertuang dalam UU Merek, UUHC Lama, UU Paten, UU Desain Industri, UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan UUHC Lama, Pemerintah menghendaki bahwa untuk melakukan pekerjaan terkait Kekayaan Intelektual pada Ditjen KI harus dilakukan oleh Konsultan HKI yang terdaftar pada Ditjen KI.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Menarik sekali mencermati UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”), dimana pada Pasal 1 angka (18) UUHC berbunyi: “Kuasa adalah Konsultan Kekayaan Intelektual atau orang yang mendapat kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait”. Definisi tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya pada UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UUHC Lama”).

Pada Pasal 1 angka (15) UUHC Lama disebutkan bahwa: “Kuasa adalah Konsultan HKI”. Hal mana menimbulkan implikasi setelah berlakunya UUHC maka terdapat pihak lain selain Konsultan HKI yang dapat bertindak selaku kuasa untuk mengajukan permohonan pencatatan ciptaan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (‘Ditjen KI’).

Demikian pula dalam RUU tentang Merek (‘RUU Merek’) yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah serta telah diajukan kepada DPR untuk menggantikan UU No 15 Tahun 2001 tentang Merek (‘UU Merek’), dimana pada Pasal 1 angka 14 RUU Merek telah mengubah pengertian Kuasa menjadi Konsultan Kekayaan Intelektual atau orang yang mendapatkan kuasa dari pemohon.

Perubahan itu menyebabkan apabila pada saat disahkan bunyi pasal tersebut tetap sama maka implikasinya untuk mendaftarkan merek tidak saja dapat dilakukan oleh kuasa yang merupakan Konsultan HKI, namun juga kuasa lain yang bukan merupakan Konsultan HKI. Untuk konsistensi penyebutan istilah maka dalam tulisan ini Penulis akan tetap menggunakan istilah Konsultan HKI sebagaimana digunakan dalam PP Nomor 2 Tahun 2005 tentang Konsultan HKI (‘PP Konsultan HKI’).

Jika dicermati politik hukum yang tertuang dalam UU Merek, UUHC Lama, UU No 15 Tahun 2001 tentang Paten (‘UU Paten), UU No 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan UUHC Lama, pada saat itu Pemerintah menghendaki bahwa untuk melakukan pekerjaan terkait Kekayaan Intelektual pada Ditjen KI harus dilakukan oleh Konsultan HKI yang terdaftar pada Ditjen KI.

Pasal 1 angka 1 PP Konsultan HKI menyebutkan bahwa: “Konsultan HKI adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal dan terdaftar sebagai Konsultan HKI di Direktorat Jenderal”. Dimana untuk pengangkatannya diatur di dalam Peraturan Presiden No 84 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengangkatan Konsultan HKI (‘Perpes No. 84’).

Melihat uraian dalam PP Konsultan HKI dan juga Perpes No. 84 tersebut dapat disimpulkan bahwa politik hukum Pemerintah pada saat itu adalah untuk menjalankan pekerjaan di bidang Kekayaan Intelektual pada Ditjen KI, seorang kuasa haruslah memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu antara lain sebagai berikut (Vide Pasal 3 PP Konsultan HKI):
a) memiliki ijazah S1,
b) menguasai Bahasa Inggris yang dibuktikan dengan keterangan lulus tes bahasa Inggris setara dengan TOEFL Internasional dengan nilai minimal 400(Vide Pasal 2.e. PP Konsultan HKI),
c) lulus pelatihan Konsultan HKI yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang ditunjuk oleh Ditjen KI dengan menggunakan kurikulum yang ditetapkan oleh Ditjen KI (Vide Pasal 4 PP Konsultan HKI),
d) harus disumpah oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia terlebih dahulu sebelum dapat menjalankan pekerjaannya pada Ditjen KI (Vide Pasal 6 PP Konsultan HKI),
e) mempunyai kewajiban untuk mengajukan laporan berkala setiap 5 (lima) tahun tahun sekali guna untuk dapat dievaluasi oleh Ditjen KI,
f) pendidikan berkelanjutan (continuing education).

Ditjen KI juga berpendapat mengenai perlu adanya peningkatan kualitas dari Konsultan HKI secara berkesinambungan dengan mengikuti pendidikan lanjutan di bidang Kekayaan Intelektual yang diadakan oleh Ditjen KI dan/atau perguruan tinggi yang ditunjuk oleh Ditjen KI (Vide Pasal 9 PP Konsultan HKI).

Dengan adanya persyaratan tertentu untuk dapat bertindak selaku Kuasa pada Ditjen KI, Konsultan HKI harus telah melalui tahapan yang tidak mudah sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukan bahwa pada awalnya Ditjen KI memiliki kebijakan/policy bahwa untuk menjadi Kuasa di Ditjen KI, seseorang harus memenuhi kualifikasi sebagaimana dipaparkan di atas agar ketika menjalankan praktik di Ditjen KI selaku Kuasa/Konsultan HKI mempunyai pemahaman dasar dengan ‘kualitas’ tertentu terhadap semua bidang Kekayaan Intelektual secara komprehensif.

Pemberlakuan syarat-syarat tertentu dimaksudkan agar Kuasa yang menjalankan praktik sebagai Konsultan HKI memiliki kemampuan dan pengetahuan legal praktis dan teknis sehingga dapat memberikan saran dan pandangan secara komprehensif mengenai Kekayaan Intelektual, menggali keunggulan-keunggulan dari setiap karya intelektual tersebut, bentuk perlindungan hukum dan prosedur guna mendapatkan perlindungan hukum tersebut, terutama dalam rangka pengajuan pendaftaran suatu Kekayaan Intelektual pada Ditjen KI. Dengan alasan tersebutlah maka seorang Konsultan HKI harus menguasai materi seluruh bidang HKI (Vide Bagian Umum Penjelasan PP Konsultan HKI).

Penulis tidak sependapat dengan adanya perubahan kebijakan yang memperbolehkan kuasa yang bukan merupakan Konsultan HKI  untuk melakukan pekerjaan pada Ditjen KI dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, profesi Konsultan HKI diperkenalkan oleh Pemerintah pada tahun 2005 sebagai suatu profesi baru yang memiliki kewenangan dan kompetensi untuk melakukan pekerjaan pendaftaran maupun administratif terkait lainnya pada Ditjen KI. Namun demikian tanpa alasan yang jelas, Pemerintah telah mengubah politik hukumnya dengan memperbolehkan kuasa yang bukan Konsultan HKI  untuk dapat melakukan pekerjaan di lingkup Ditjen KI. Terlebih berdasarkan informasi dari website Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (http://humas.dgip.go.id/pelantikan-konsultan-ki-angkatan-ke-9/) diketahui bahwa saat ini telah terdapat sembilan angkatan Konsultan HKI dan jumlah Konsultan HKI terdaftar saat ini telah melebihi angka 800 orang. 

Perubahan kebijakan Pemerintah di bidang HKI kontraproduktif dengan kondisi saat ini dimana kita telah memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dan juga dengan akan diberlakukannya Madrid Protocol. Seharusnya dalam kondisi saat ini Pemerintah lebih memperkuat fungsi dan posisi Konsultan HKI dan membekalinya dengan berbagai pelatihan serta sosialisai kondisi MEA sehingga Konsultan HKI dapat siap dan juga menopang kinerja Ditjen KI secara tidak langsung.  

Kedua, dalam RUU Paten yang akan menggantikan UU Paten tidak terdapat perubahan mengenai pengertian kuasa, dimana dalam RUU tersebut masih mewajibkan bahwa kuasa untuk mengajukan permohonan paten tersebut adalah Konsultan HKI. Di satu sisi, tampak bahwa Pemerintah tidak konsisten terhadap kebijakan barunya, namun di sisi lain hal ini membuktikan dengan jelas bahwa Pemerintah mengakui bahwa untuk melakukan pekerjaan pada bidang paten haruslah dilakukan oleh Konsultan HKI yang tentunya mempunyai pengetahuan maupun standar tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh kuasa yang bukan merupakan Konsultan HKI kecuali oleh Prinsipal sendiri. Hal mana menimbulkan dualisme pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah dalam pembuatan draft RUU Merek dan RUU Paten.

Ketiga, Ditjen KI akan cukup mengalami kesulitan dalam melakukan sosialiasi atas perubahan kebjiakan ataupun adanya ketentuan peraturan baru kepada Kuasa yang bukan merupakan Konsultan HKI. Berbeda halnya apabila hal tersebut ditujukan kepada Konsultan HKI di mana Ditjen KI dapat menyampaikan hal tersebut melalui Asosiasi Konsultan HKI (AKHI) sehingga distribusi penyampaian informasi tersebut dapat lebih cepat. Juga kesulitan yang akan dialami apabila akan diberlakukan secara efektif pendaftaran secara online Apakah bagi kuasa yang bukan Konsultan HKI dapat diberikan akses tersebut seperti akses yang diberikan kepada Konsultan HKI.

Keempat, dalam hal terdapat pelanggaran atau ketidaktepatan dari Kuasa dalam menjalankan pekerjaannya sulit bagi Ditjen KI untuk menjatuhkan sanksi. Berbeda halnya apabila hal tersebut dilakukan oleh Konsultan HKI, dimana apabila Konsultan HKI telah melanggar sumpah/janji Konsultan HKI maka dapat diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri Hukum dan HAM atas pengajuan oleh Ditjen KI (Vide Pasal 12 ayat 1 PP Konsultan HKI).

Kelima, Ditjen KI tidak dapat membatasi pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa baik latar belakang pendidikan maupun apakah penerima kuasa tersebut adalah pegawai negeri sipil, juga apakah kuasa tersebut pernah melakukan tindakan tercela dan telah dijatuhi putusan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Berbeda halnya dengan Konsultan HKI dimana  seorang Konsultan HKI dapat diberhentikan dengan tidak hormat karena dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih. Juga apabila diketahui yang bersangkutan berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Di mana pihak tersebut dapat diberhentikan secara tidak hormat oleh Menteri Hukum dan HAM (Vide Pasal 12 ayat (1) PP Konsultan HKI).

Keenam, Ditjen KI tidak dapat memastikan kualitas penguasaan dari Kuasa yang bukan merupakan Konsultan HKI. Berbeda dengan Konsultan HKI yang telah menempuh pendidikan dengan kurikulum yang komprehensif yang disiapkan oleh Ditjen KI sehingga telah mengcover secara menyeluruh seluruh lingkup bidang Kekayaan Intelektual. Terlebih terdapat konvensi-konvensi di bidang Kekayaan Intelektual yang perlu dipahami oleh seorang kuasa yang menjalankan pekerjaan di lingkup Ditjen KI. Sangat dimungkinkan dalam pelaksanaannya konsumen yang menggunakan jasanya akan mengalami kekecewaan dengan kualitas dari kuasa yang bukan merupakan Konsultan HKI. Seorang kuasa yang berlatar Konsultan HKI tentunya memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan kuasa yang tidak menempuh pendidikan Konsultan HKI. Sebagai seorang Konsultan HKI yang merupakan anggota AKHI maka memiliki kesempatan untuk dapat mengikuti seminar/focus group discussion (FGD) ataupun pendidikan berkelanjutan (continuing education) baik yang diadakan oleh Ditjen KI maupun AKHI, sehingga dapat dipastikan bahwa Konsultan HKI tersebut dapat meningkatkan pengetahuannya atas KI secara berkesinambungan.

Sebagai tambahan informasi dari hasil komunikasi Penulis dengan Konsultan HKI dari negara anggota ASEAN yaitu Malaysia dan Vietnam diketahui bahwa di negara tersebut untuk menjalankan pekerjaan pada Kantor Kekayaan Intelektual masing-masing negara tersebut haruslah dilakukan oleh Konsultan HKI terdaftar dan tidak dapat dilakukan oleh kuasa yang bukan Konsultan HKI kecuali apabila diajukan oleh pemohon/prinsipal sendiri. Penulis berharap bahwa dalam pembahasan RUU Merek terdapat peran aktif dari masyarakat, akademisi, Konsultan HKI dan juga AKHI sehingga dapat memperjuangkan bahwa kuasa yang dapat melakukan pekerjaan pada lingkup Ditjen KI adalah hanya Konsultan HKI sebagaimana ketentuan sebelumnya.

*Advokat
Tags:

Berita Terkait