Mantan Hakim MK Ini Pertanyakan Sistem Pendidikan Hukum di Indonesia
Berita

Mantan Hakim MK Ini Pertanyakan Sistem Pendidikan Hukum di Indonesia

Lantaran semakin banyaknya mafia peradilan yang melibatkan orang-orang yang paham hukum.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Mantan hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Abdul Mukhtie Fadjar mempertanyakan sistem pendidikan hukum di Indonesia. Hal ini diutarakan Mukhtie lantaran semakin marak mafia peradilan yang justru banyak melibatkan orang-orang yang paham dengan hukum.

"Ada apa dengan pendidikan hukum kita, sehingga situasinya sekarang kok seperti ini? Banyak doktor, advokat dan sarjana hukum malah menjadi mafia peradilan," katanya pada diskusi hukum bertajuk "Menyingkap Mafia Peradilan" di Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/3).

Menurut Mukhtie, tumbuhnya mafia peradilan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini justru melibatkan dan dilakukan oleh mereka yang paham hukum dan berpendidikan tinggi hukum. Tumbuhnya mafia peradilan, lanjutnya, juga berkorelasi dengan arah pendidikan hukum yang saat ini diajarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Oleh karena itu, Mukhtie menambahkan, perlu ada kepedulian bersama dalam memperbaiki moral para penegak hukum agar tidak lagi terlibat dalam lingkaran mafia hukum. "Kita tidak perlu pesimistis, apalagi miris, karena perubahan itu butuh waktu dan perubahan itu memang harus dimulai dari sekarang," ujarnya.

Sementara itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, dalam kurun waktu 13 tahun, pola mafia peradilan semakin canggih dengan menggunakan cara-cara baru. Bahkan, pola tersebut sudah merambah ke terpidana yang tengah menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan.

"Saat ini banyak modus baru yang dilakukan para mafia itu, termasuk bagaimana para advokat bermain dan bagaimana terpidana bisa keluar masuk lapas seenaknya, ini adalah bentuk mafia peradilan," kata Tama.

Ia mengemukakan, ICW mencatat sepanjang satu dasawarsa terakhir ada puluhan hakim dan advokat yang terlibat praktik mafia peradilan. Hingga 2015, tercatat ada 61 hakim di berbagai tingkatan, sekitar 30 advokat dan tiga kasus di lembaga pemasyarakatan, mewarnai mafia peradilan. Bahkan, ada beberapa hakim yang kena kasus kode etik malah dipromosikan naik jabatan.

Menurut dia, maraknya kasus korupsi, terjadi karena beberapa hal, salah satunya ringannya sanksi kepada pelaku dan adanya masalah di internal penegak hukum. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan para penegak hukum agar mafia peradilan ini bisa ditekan dan diberantas.

Salah satu kasus teranyar yang melibatkan advokat adalah dugaan suap kepada Kasubdit Kasasi dan PK Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA, Andri Tristanto Sutisna. Dari sisi penyuapnya, KPK menangkap dua orang, yakni advokat dari Malang, Awang Lazuardi Embat dan seorang pengusaha bernama Ichsan Suaidi. Uang yang diduga sebagai suap mencapai Rp400 juta. Uang tersebut diberikan agar Andri menunda pengiriman salinan putusan kasasi perkara korupsi yang melilit Ichsan.

Untuk diketahui, sekira 2002 lalu, ICW telah menerbitkan buku berjudul “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan”. Dalam buku itu, setidaknya terungkap sejumlah pola-pola korupsi dilakukan di lingkungan internal Mahkamah Agung (MA). Meski buku terbit sebelum peluncuran Cetak Biru Pembaruan MA, namun Peneliti ICW Aradila Caesar menilai, modus-modus yang tercatat dalam buku tak jauh berbeda pada kenyataan kasus yang terjadi usai Pembaruan MA.

Dari penelitian itu, ICW berhasil memetakan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam pusaran korupsi di lingkungan MA tak hanya melibatkan advokat dan hakim agung saja. Akan tetapi terungkap juga pihak lain yang terlibat mulai dari, pegawai MA, panitera, dan hakim di tingkat Pengadilan Negeri (PN).
Tags:

Berita Terkait