Pencegatan Pesawat Asing Tanpa Izin di Wilayah Udara Indonesia: Urgensi Reformasi Hukum Positif
Kolom

Pencegatan Pesawat Asing Tanpa Izin di Wilayah Udara Indonesia: Urgensi Reformasi Hukum Positif

Bacaan 2 Menit
Ridha Aditya Nugraha. Foto: Koleksi Pribadi.
Ridha Aditya Nugraha. Foto: Koleksi Pribadi.
Sebagai suatu negara dengan wilayah udara terluas di ASEAN, tidak dapat dipungkiri pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah bangsa dirgantara. Suatu fakta yang kian tenggelam di tengah kebangkitan sektor maritim. Pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan dunia dan strategisnya letak geografis Indonesia di tengah dua benua berimbas kepada semakin ramainya lalu lintas pada ruang udara Indonesia.

Pada saat yang bersamaan, muncul permintaan akan pengamanan terhadap ruang udara Indonesia. Ya, tentunya dalam konteks yang memadai dan bukan sekadar hitam di atas putih semata. Pengamanan tersebut diperlukan guna membuktikan bahwa Indonesia, seperti negara-negara maju lainnya, mampu bertanggung jawab terhadap keamanan seluruh pesawat yang melintasi wilayah udaranya. Tugas mulia ini tidak lain diemban oleh TNI AU bersama Kementerian Perhubungan di tengah segala keterbatasannya, baik fasilitas maupun dana operasional.

Salah satu ancaman nyata terhadap keamanan wilayah udara Indonesia adalah maraknya penerbangan gelap (black flight). Motifnya beragam, mulai dari menghindari biaya operasional; menguji kemampuan radar dan kesiagaan pertahanan nasional; hingga melemahkan Indonesia secara politik dalam kancah internasional. Pesawat yang tersesat (aircraft in distress) juga dikategorikan sebagai ancaman, tepatnya terhadap keselamatan penerbangan.

Belakangan ini semakin marak diberitakan pencegatan terhadap pesawat asing (intercept) yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin, bahkan seringkali dipaksa mendarat (forced down) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tindakan tersebut sejauh ini dilakukan oleh TNI AU dengan menjunjung tinggi ketentuan hukum internasional, tepatnya Pasal 3bis Konvensi Chicago (the Chicago Convention of 1944). Pasal tersebut mengharamkan penggunaan senjata terhadap pesawat terbang sipil dalam mengamankan wilayah udaranya.

Menariknya, Indonesia tidak meratifikasi pasal tersebut. Oleh karena itu, ‘kesuksesan dan kesabaran’ TNI AU sejauh ini, tepatnya dengan tidak pernah menembak jatuh satu pesawat pun dalam upaya mengamankan wilayah udaranya, harus diapresiasi. Indonesia akan dipandang sebagai negara yang menjunjung tinggi hak untuk hidup serta berupaya melestarikan Pasal 3bis Konvensi Chicago agar mencapai derajat yang lebih tinggi dari sekadar konvensi internasional, yaitu hukum kebiasaan internasional (customary international law).

Jelas, suatu iktikad baik dalam dunia penerbangan sipil. Kepiawaian ini dapat dijadikan sebagai kartu as dalam berbagai perundingan internasional di kemudian hari, salah satunya adalah (percepatan) pengembalian pengelolaan Flight Information Region (FIR) dari Singapura kepada Indonesia.

Sayangnya sinergi antara TNI AU dan Departemen Perhubungan tidak berjalan dengan mulus. Hal ini tercermin dari Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/195/IX/2008 (“Peraturan No. 195/2008”) yang memuat besaran denda bagi pesawat yang melakukan penerbangan gelap dan berhasil didaratkan oleh pesawat tempur TNI AU.

Menarik sekali melihat angka Rp60 juta atau sekitar AS$4.200 yang dianggap sebagai tebusan yang ‘layak’, bahkan hingga kini, terbukti dengan tidak adanya amandemen terhadap ketentuan ini. Juga tidak terdapat ketentuan yang lebih keras seperti ancaman penyitaan pesawat untuk kurun waktu tertentu.

Sebenarnya enam puluh juta Rupiah itu mahal nggak sih? Relatif. Sebagai petunjuk, bandingkan saja berapa harga pesawat dan perawatannya tiap bulan. Sudah jelas denda tersebut tidaklah cukup, tepatnya sangat kurang, guna memberikan efek jera bagi para penerbang gelap. Nominal satu miliar Rupiah tampaknya sangat realistis, agar mereka berpikir seribu kali sebelum menerobos wilayah udara Indonesia.

Umumnya para pelanggar tersebut dibebaskan setelah membayar denda, memenuhi persyaratan administratif, dan berkat diplomasi negara asalnya. Apalagi kalau mereka berasal dari negara adidaya. Sungguh mudah untuk lepas dari jeratan hukum setelah bermain-main di ruang udara Indonesia, miris bukan? Menyadari bahwa upaya diplomasi sangat berpengaruh, maka pemerintah harus mengimbanginya dengan denda yang sangat besar sehingga benar-benar menimbulkan efek jera.

Upaya Menegakkan Harga Diri Bangsa
Saat ini terdapat banyak perdebatan di dunia maya mengenai biaya operasional Sukhoi (dikenal sebagai Flanker) sehubungan misi pencegatan penerbangan-penerbangan gelap yang melintasi wilayah udara Indonesia. Katanya, denda sebagaimana termuat dalam Peraturan No. 195/2008 tidaklah cukup untuk menutupi operasional satu misi. Persoalan ini biarlah TNI AU yang tahu berapa angka pastinya.

Namun, di balik hitungan matematis berbagai pihak, masalah harga diri dan kedaulatan bangsa adalah harga mati. Tidak dapat ditawar sedikitpun, apalagi ‘hanya’ dengan alasan terbatasnya biaya operasional.

Sebenarnya Indonesia sangat ‘diuntungkan’ dengan maraknya penerbangan gelap. Kesigapan TNI AU telah semakin membuka mata dunia, terutama ICAO dan Singapura, bahwa kita mampu mengurus langit kita sendiri. Suatu pembuktian nyata sudah disungguhkan kepada dunia. Langkah selanjutnya? Jelas pengembalian FIR ke tangan Indonesia, agar benar-benar seratus persen berdaulat di wilayah udara kita sendiri.

Melihat kondisi terkini, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa urgensi reformasi Peraturan No. 195/2008 merupakan suatu hal yang nyata. Dibutuhkan sinergi yang lebih baik antara Kementerian Perhubungan, dalam kapasitasnya sebagai regulator, dengan TNI AU ketika merumuskan peraturan baru. Pihak yang terakhir ini jelas harus dilibatkan mengingat merekalah pelaksananya.

Idealnya peraturan baru nanti tidak hanya berkutat seputar besaran nominal denda, tetapi sesuatu yang lebih berani dan kompleks, seperti sanksi penyitaan pesawat dan didaftar-hitamkannya pilot dalam kurun waktu tertentu berdasarkan tingkat pelanggarannya, hingga mekanisme pengalokasian penggunaan pendapatan ‘tambahan’ bagi TNI AU. Mengingat kompleksitas dan urgensinya, sepertinya diperlukan produk hukum setingkat peraturan menteri.

Akhir kata, sinergi antara Departemen Perhubungan dan TNI AU yang dituangkan melalui reformasi hukum positif diatas akan menjadi amunisi tambahan bagi upaya (percepatan) pengembalian FIR. Patut digarisbawahi, Indonesia belum benar-benar merdeka di udara!

*Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden dan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP. Saat ini merupakan anggota German Aviation Research Society.

Tags:

Berita Terkait