Menang Gugatan Lawan Pemerintah? Ketahui Mekanisme Tagihannya
Utama

Menang Gugatan Lawan Pemerintah? Ketahui Mekanisme Tagihannya

Ahli waris korban memenangkan gugatan melawan Pemerintah c/q Polri dan enam orang oknum polisi. Hakim mewajibkan Tergugat membayar ganti rugi.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Kemenkeu. Foto: Sgp
Kemenkeu. Foto: Sgp
Alamsyahfudin kini tinggal menunggu salinan resmi putusan Mahkamah Agung. Pengacaranya dari LBH Padang akan menjadikan salinan putusan resmi itu untuk menagih ganti rugi yang diputuskan hakim kepada Pemerintah. “Begitu mendapatkan salinan resmi dari pengadilan, kami akan ajukan permohonan,” kata Era Purnama Sari, Direktur LBH Padang kepada hukumonline beberapa hari lalu.

Seperti termuat dalam  laman resmi Mahkamah Agung 10 Maret lalu, majelis hakim agung telah menolak permohonan kasasi Pemerintah c/q Polri c/q Polda Sumatera Barat, c/q Polres Bukittinggi, c/q Polsekta Bukittinggi. Ini berarti putusan judex facti yang menghukum para Tergugat berkekuatan hukum tetap. Para Tergugat harus membayar secara tanggung rentang kepada Penggugat ganti rugi sebesar Rp100.700.000.

Menang melawan Pemerintah, dan ada perintah membayar, membuat LBH Padang segera mengajukan permohonan. Lantas, bagaimana sebenarnya aturan menagih ganti rugi itu? Kunci utamanya, ada putusan hukum. Putusan hukum itu telah berkekuatan hukum tetap, ada perintah untuk membayar sejumlah uang, dan putusan itu bukan merupakan tugas dan fungsi kementerian/lembaga.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, meminta Pemerintah tidak mempersulit pembayaran ganti rugi jika sudah ada permohonan dari penggugat dan semua syarat terpenuhi. “Jangan sampai muncul kesan Pemerintah tidak mematuhi putusan pengadilan,” ujarnya kepada hukumonline.

LPSK, kata Semendawai, sudah pernah menyurati Kementerian Keuangan sehubungan dengan kasus sejenis. Pengadilan menghukum Pemerintah untuk membayar. Namun respon terhadap surat LPSK itu tak jelas. “Itu yang membuat proses menjadi buntu,” tegasnya.

Semendawai mengingatkan proses peradilan yang dijalani korban atau ahli warisnya sudah panjang. Belum lagi penderitaan yang dialami korban, baik luka maupun meninggal dunia. Pembayaran ganti rugi belum tentu sebanding dengan dengan penderitaan yang dialami korban. Karena itu, pria lulusan Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini, mendesak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan tidak mempersulit pembayaran. “Jangan sampai korban seperti menang di atas kertas,” ujarnya.

Mekanisme
Pembayaran ganti rugi memang dilakukan Kementerian Keuangan. Pihak yang memenangkan perkara melawan pemerintah itu disebut Penerima Hak Tagih. Dalam hal pembayaran ganti rugi putusan hukum, Penerima Hak Tagih harus proaktif. Kalau tidak ada permohonan, Kementerian Keuangan bisa begitu saja ganti rugi tersebut.

Caranya? Penerima Hak Tagih mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Tentu saja, permohonan itu baru bisa diajukan setelah ada salinan resmi putusan dari pengadilan. Sebab, selain melampikan identitas diri Penerima Hak Tagih, permohonan harus disertai lembar asli putusan hukum.

Setelah permohonan disampaikan beserta syarat-syarat lampirannya, Anda tinggal menunggu verifikasi dari Sekretaris Jenderal c/q Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan. Setelah verifikasi usai, ganti rugi belum otomatis Anda dapatkan. Menteri Keuangan lebih dahulu membentuk tim ad hoc percepatan penyelesaian putusan hukum. Nanti dari tim ad hoc ini ada laporan lagi kepada Menteri melalui Sekjen untuk mendapatkan persetujuan. Persetujuan itu diteruskan lagi kepada unit eselon I yang berkepentingan di Kementerian Keuangan. Satuan kerja inilah yang meneruskan pelaksanaan putusan hukum tersebut.

Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro sudah membuat format baku Surat Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana terlampir dalam Peraturan menteri Keuangan No. 80/PMK.01/2015. Formulir Surat Persetujuan Menteri berisi antara lain tujuan, uraian mengenai fakta kasus, analisis hukum, besaran tagihan, dan rekomendasi.

Dalam format baku tersebut tertulis pula kewajiban Penerima Hak Tagih  untuk membuat pernyataan secara notariil mengena dua hal. Pertama, jika di kemudian hari Kementerian Keuangan menemukan bukti bahwa Penerima Hak Tagih masih mempunyai utang kepada negara, maka atas permintaan Kementerian Keuangan Penerima Hak Tagih harus membayar utang tersebut dalam jangka waktu yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Kedua, Penerima Hak Tagih bersedia menanggung segala biaya dalam pelaksanaan putusan tersebut.
Tags:

Berita Terkait