Kontributor Media Minim Perlindungan, Ini Penyebabnya
Berita

Kontributor Media Minim Perlindungan, Ini Penyebabnya

Perusahaan media tidak menganggap kontributor atau responden sebagai pekerja, tapi mitra. Walau disebut mitra, posisi kontributor tidak setara.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Profesi jurnalis. Foto: RES (Ilustrasi)
Profesi jurnalis. Foto: RES (Ilustrasi)
Kecepatan memperoleh informasi menjadi satu bagian penting dalam bisnis media. Itu yang membuat sejumlah perusahaan media menerapkan banyak cara untuk memperoleh informasi yang cepat, akurat dengan biaya murah untuk disampaikan kepada masyarakat. Merekrut koresponden atau kontributor daerah salah satunya.

Koordinator Bidang Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Yudie Thirzano, mengatakan perlindungan yang diberikan perusahaan media terhadap kontributor atau korespondennya sangat minim. Ia menjelaskan dari riset AJI Indonesia terhadap kontributor di 10 daerah di Indonesia ada 69 persen responden mengaku terikat dengan perusahaan media. Sisanya, kontributor tidak terikat dengan perusahaan sehingga relatif bebas dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik.

Sebagian besar kontributor yang hubungan kerjanya terikat dengan perusahaan itu mengerjakan tugas-tugas jurnalistik yang sama seperti pekerja media yang berstatus tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Namun, perlindungan yang diberikan kepada kontributor dan pekerja media berstatus tetap jauh berbeda. Misalnya, kontributor tidak didaftarkan perusahaan sebagai peserta jaminan sosial baik yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Lalu, upah kontributor rata-rata di bawah upah minimum, bahkan ada yang penghasilannya Rp800 ribu per bulan.

Minimnya perlindungan yang diberikan itu menurut Yudie karena kontributor tidak diakui sebagai pekerja/buruh di perusahaan media yang bersangkutan. Ujungnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari banyak kontributor yang kerja sampingan, ada yang menyambi sebagai satpam, fotografer atau videografer acara pernikahan.

“Harapan jurnalis itu sama seperti pekerja pada umumnya, mendapat upah layak agar bisa hidup sejahtera. Untuk kontributor itu harusnya dia berstatus PKWTT karena melakukan pekerjaan yang sifatnya terus-menerus,” kata Yudie dalam acara yang digelar AJI Indonesia di stasiun kereta api Gambir, Rabu (23/3).

Lemahnya perlindungan terhadap kontributor itu dipengaruhi juga oleh minimnya serikat pekerja/buruh di berbagai perusahaan media. Yudie mencatat dari 2 ribuan perusahaan media di Indonesia hanya ada 19 serikat pekerja/buruh media yang masih aktif. Padahal serikat pekerja/buruh berperan penting memperjuangkan kesejahteraan pekerja/buruh.

Peneliti senior TURC, Surya Tjandra, melihat posisi kontributor atau koresponden di perusahaan media hampir sama seperti pekerja magang di pabrik-pabrik. Pekerja magang tidak mendapat gaji tapi istilahnya diganti jadi 'uang saku'. Serta tidak mendapat uang lembur ketika bekerja lebih dari jam kerja yang ditentukan tapi mendapat 'kelebihan jam belajar' mengingat pekerja magang biasanya mengenyam pendidikan tingkat akhir. “Pekerja magang mengancam posisi pekerja yang berstatus tetap atau kontrak karena mereka mengerjakan pekerjaan yang sama,” urainya.

Menurut Surya kontributor atau koresponden yang bekerja secara swadaya karena memiliki kemampuan khusus tidak bisa dikategorikan sebagai pekerja. Sehingga tidak ada kewajiban bagi perusahaan media sebagai pemberi kerja untuk melindungi kontributor atau koresponden selaku pekerja. Tapi peran perlindungan itu jadi kewajiban pemerintah sebagai perwakilan negara.

Surya berpendapat kontributor atau koresponden di perusahaan media berpotensi jadi pekerja tetap, tapi perlu perjuangan yang lama. Sebab, untuk mewujudkan harapan itu pekerja media harus mengubah hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Ia menyebut Filipina berhasil melakukan itu dimana pekerja itu bukan saja orang yang bekerja dan menerima upah dari majikan (pemberi kerja) tapi cukup memenuhi unsur perintah dan upah. Pekerja yang memenuhi kedua unsur itu di Filipina berhak menerima perlindungan sebagaimana yang diterima buruh pada umumnya seperti upah minimum dan jaminan sosial.

Direktur PPHI Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mengatakan pihaknya sedang mengkaji mendalam posisi jurnalis khususnya kontributor dan responden dalam hukum ketenagakerjaan. Mengacu UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjalin ketika ada perintah, pekerjaan dan upah. Namun, tidak semua profesi tunduk pada aturan itu misalnya dokter, guru dan advokat, mereka tidak mengacu pada UU Ketenagakerjaan.

Sahat menegaskan, jika hubungan antara kontributor dengan perusahaan media sifatnya kemitraan maka tidak berlaku hubungan industrial sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan. Namun, jika yang digunakan adalah kemitraan maka posisi kontributor dan perusahaan media harus setara. Tapi praktiknya walau berdalih kemitraan, posisi keduanya tidak setara. Anehnya lagi, menggunakan klausul hubungan industrial seperti adanya jam kerja, target dari perusahaan media.

“Dalam hukum keperdataan kalau ada 2 klausul seperti itu yakni kemitraan dan ketenagakerjaan, maka perjanjian yang berlaku menggunakan klausul ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan,-red),” tegas Sahat.
Tags:

Berita Terkait