Deregulasi untuk Perbaikan Kemudahan Berusaha
Berita

Deregulasi untuk Perbaikan Kemudahan Berusaha

Pemerintah merevisi 37 peraturan yang akan diimplementasikan dalam rangka easy of doing business, 27 di antaranya sudah diterbitkan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia. Tahun ini, World Bank mengumumkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia berada pada posisi 109. Presiden Joko Widodo meminta peringkat tersebut dapat diperbaiki lagi hingga posisi 40.

Untuk mencapai posisi tersebut, Pemerintah memperbaiki regulasi. Peraturan perundang-undangan yang menghambat diubah atau direvisi. Komite Pematauan Pelaksanan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan setidaknya sebanyak 57 regulasi harus segera direvisi karena isinya dianggap penyebab tingkat kemudahan berusaha di Indonesia rendah. Regulasi itu terdiri dari Peraturan Pemerintah (7), Peraturan Presiden (2), Peraturan Menteri (43), dan Keputusan Menteri (5).

Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan 57 peraturan itu umumnya mengatur perizinan. Langkah yang perlu diambil antara lain menggabungkan izin-izin menjadi satu kesatuan “izin usaha”. “Hapus, gabung, sederhanakan, dan limpahkan (HSGL) mulai pendirian badan usaha, izin tempat usaha, dan izin pendirian bangunan usaha,” Robert kepada hukumonline, Selasa (22/3).

Ada beberapa deregulasi yang ditempuh dan perlu mendapat perhatian. Pertama, menggabungkan Surat Izin Usaha (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Penggabungan SIUP dan TDP karena SIUP dan TDP memiliki persyaratan dan fungsi izin yang relatif sama yang bisa disatukan. Legalitas usaha  (SIUP) dan kebutuhan data/informasi perusahaan (TDP) dengan target perbaikan lima dokumen persyaratan bisa diselesaikan dalam waktu 3 hari. Sekarang masih membutuhkan 6 hari.

Dalam konteks ini, perlu mengubah Permendag No. 36 Tahun 2007 yang diubah dengan Permendag No. 46 Tahun 2009 tentang Penerbitan SIUP, mengubah  Permendag No. 39 Tahun 2011, mencabut Permendag No. 37 Tahun 2007, mencabut Permendag No. 77 Tahun 2013, kemudian menyusun NSPK Penggabungan SIUP dan TDP. Permendag yang disebut terakhir diyakini dapat menjadi pintu masuk bagi penggabungan keduanya.

Kedua, menghapus izin gangguan (HO) dan surat izin tanda usaha (SITU) karena sudah termasuk dalam Izin Lingkungan seperti Amdal, UKL/UPL, SPPL. SITU dinilai tidak memiliki dasar regulasi, dan tumpang tindihnya esensi fungsi dalam SITU dan HO. SITU dapat menjadi potensi masalah dalam implementasi izin di daerah, serta terdapat ketidakjelasan dan ketidaklengkapan yuridis dalam regulasi undang-undang gangguan (Hinder Ordonantie).

Untuk keperluan itu, Permendagri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Ijin Gangguan di Daerah seharusnya dicabut. “Fungsi pengawasan lingkungan di HO sudah terdapat dalam izin lingkungan,” tambah Robert.

Ketiga, menghapus surat persetujuan tetangga dalam syarat pegurusan HO dan IMB. Sehingga perlu dikeluarkan surat edaran dari Kemendagri kepada Pemda untuk tidak mensyaratkan persetujuan tetangga dalam salah satu syarat penerbitan HO, dan menerbitkan surat edaran dari Kemendagri yang berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk menghapuskan persyaratan izin tetangga dalam syarat penerbitan IMB.

Menurut Robert, sebuah izin merupakan bagian dari otoritas Pemerintah/Pemda, berwujud suatu keputusan  pemerintah (beschikking). Ketetapan pemerintah ini memiliki kekuatan hukum dimana ketika ada perselisihan dapat dilakukan gugatan hukum tata usaha negara.

Keempat, meyederhanakan IMB. Syarat atau prosedur “memperoleh KRK dan RTLB dari dinas penataan Kota” harus dihapus sehingga perlu revisi Permen PU No. 24 Tahun 2007 Dan mencabut Permen PU No. 25 Tahun 2007. Adapun target perbaikan adalah membuat sistem informasi RDTR daerah secara online dan mengurangi waktu pengurusan IMB selama 20 hari kerja.

Kelima, menyederhanakan prosedur SKDU, dari perizinan menjadi pelaporan atau pernyataan dengan menerbitkan SE atau Instruksi Mendagri untuk melarang Pemda menerbitkan prayarat SKDU dalam permohonan Izin. Selanjutnya, mengganti prosedur SKDU menjadi pendaftaran/pelaporan keterangan domisi usaha.

Selain itu, membuat sistem pelaporan domisili usaha dengan menggunakan sistem online dan terintegrasi dengan dokumen PTSP, serta menghapuskan persyaratan SKDU di kecamatan/kelurahan.

Keenam, menggabungkan izin-izin sektoral. Izin sektoral yang diatur dalam Permen harus digabung dan menjadi izin usaha yang diatur dalam Perpres. “Tingkat kemudahan berusaha itu kan secara keseluruhan. Tapi, hal penting yang perlu diperbaiki adalah peringkat memulai usaha. Terjadi penurunan dari peringkat 168 ke 173. Percepatan di SIUP dan TDP bisa mempengaruhi starting business,” jelasnya.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menyampaikan bahwa pihaknya menyiapkan 37 perbaikan peraturan yang akan diimplementasikan. Dari total tersebut, terdapat 27 peraturan telah diterbitkan.

“Pemerintah telah menetapkan target perbaikan kesepuluh indikator yang terukur dalam jumlah prosedur, waktu, dan biaya. Kemudahan yang sangat membantu pelaku usaha dalam negeri untuk membentuk badan hukum PT sudah tidak ada batas modal dasar minimal,” kata Franky.

Menurutnya, pengaturan sebelumnya sesuai UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditetapkan modal dasar minimal Rp50 juta, mengikuti ruang perbaikan sesuai UU PT batasan modal minimal tersebut dihapus sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2016. “Sehingga dimungkinkan pelaku usaha dalam negeri membentuk badan hukum PT dengan modal dasar kurang dari Rp 50 juta,” imbuhnya.

Franky juga menyampaikan bahwa perbaikan indikator memulai usaha dilakukan penyederhanaan prosedur dari 13 menjadi hanya 3 prosedur, waktu proses dipersingkat dari 47,8 hari menjadi tiga hari.

Dijelaskan Franky, langkah perbaikan kemudahan berusaha telah dijabarkan ke dalam 22 rencana aksi masing-masing Kementerian dan Lembaga terkait. Perbaikan kemudahan berusaha diarahkan bukan hanya mengejar peringkat kemudahan berusaha (easy of doing business), tetapi juga untuk meningkatkan daya saing nasional dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ia juga untuk meningkatkan produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan meningkatkan ekspor. “Perbaikan ini juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait