Dampingi Demo Buruh, Dua Pengacara Publik LBH Jakarta "Dimejahijaukan"
Utama

Dampingi Demo Buruh, Dua Pengacara Publik LBH Jakarta "Dimejahijaukan"

Penuntut umum dianggap tidak mampu menjelaskan perbuatan apa yang didakwakan terhadap ketiga terdakwa.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Dua pengacara LBH Jakarta menjalani sidang perdana. Foto: RES
Dua pengacara LBH Jakarta menjalani sidang perdana. Foto: RES
Gara-gara mendampingi demo buruh di depan Istana Negara, dua pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Gemdita Hutapea dan Obed Sakti Andre Dominika bersama seorang mahasiswa FISIP Universitas Mulawarman, Hasyim Ilyas Riciyat Nor "dimejahijaukan" di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (28/3).

Penuntut umum Sugih Carvallo mendakwa ketiganya dengan Pasal 216 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 218 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ketiganya dianggap tidak menaati perintah petugas untuk membubarkan diri dalam aksi demo belasan ribu buruh yang menolak PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada 30 Oktober 2015.
KUHP
Pasal 216 ayat (1) : Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Pasal 218 : Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan se- ngaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Bermula dari surat pemberitahuan aksi damai dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia (FSPASI), Dewan SBSI, dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Dalam surat yang ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya tersebut,  diberitahukan demo akan dimulai pukul 08.00 WIB sampai selesai.

Diberitahukan pula titik kumpul depan patung kuda Indosat menuju Istana Negara dengan tujuan aksi damai menolak PP Pengupahan. Atas pemberitahuan itu, Kapolda mengeluarkan Surat Telegram No : STR/3113/2015 tanggal 29 Oktober 2015 kepada jajarannya, salah satunya Kapolres Jakarta Pusat Hendro Pandowo untuk mengamankan kegiatan.

Sugih mengatakan, saksi Hendro Pandowo ditugaskan sebagai Kepala Pengamanan (Kapam) Objek dengan tanggung jawab mengawasi dan mengendalikan seluruh petugas pengamanan kegiatan penyampaian unjuk rasa, sehingga kegiatan unjuk rasa tersebut berjalan dengan lancar, aman, dan terkendali.

Kemudian, sekitar pukul 11.00 WIB, massa mulai berdatangan di depan istana negara. Massa juga melakukan sholat Jumat di depan Istana Negara. Pukul 14.00 WIB, para terdakwa yang berbaur dengan massa buruh lainnya berjumlah kurang lebih 11.000 orang mulai melakukan orasi di depan Istana Negara dengan alat pengeras suara di atas mobil pick up.

Sekitar pukul 16.30 WIB, perwakilan buruh diterima Staf Kepresidenan di Istana Negara, tetapi tuntutan buruh ditolak, sehingga masing-masing orator meminta massa bertahan sampai tuntutan buruh diterima. Pada pukul 18.00 WIB, massa buruh, diantaranya Tigor, Obed, Hasyim, dan 23 terdakwa lainnya (penuntutan terpisah) masih berunjuk rasa di depan Istana Negara.

Padahal, sambung Sugih, sesuai Pasal 7 ayat (1) a Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan antara pukul 06.00 WIB s/d 18.00 WIB.

"Sehingga atas dasar itu, saksi Hendro Pandowo, sekitar pukul 18.00 WIB dengan alat pengeras suara mengimbau massa buruh untuk membubarkan diri dan dilanjutkan esok hari. Bahwa imbauan saksi Hendro dilakukan sampai tiga kali, yaitu sekitar pukul 18.00 WIB, 18.20 WIB, dan 18.40 WIB," ujarnya.

Melihat imbauan atau peringatan Hendro tidak dihiraukan oleh massa, selanjutnya pihak kemananan menyemprotkan air ke massa dari watercanon guna membubarkan kerumunan massa. Namun, tindakan itu belum cukup efektif, lalu pihak keamanan menembakan gas air mata, sehingga kerumunan massa bubar.

Selanjutnya, menurut Sugih, pihak keamanan melakukan penangkapan terhadap Tigor, Obed, Hasyim, dan para terdakwa lainnya, serta menyita tiga unit mobil pick up sound system yang terdiri dari, satu unit mobil Mitsubishi pick up, satu unit mobil Suzuki Futura pick up, dan satu unit mobil Daihatsu Gran Max pick up.

Peradilan sesat
Uraian perbuatan ketiga terdakwa hanya termuat dalam tiga lembar surat dakwaan. Tidak dijelaskan bagaimana posisi Tigor, Obed, dan Hasyim dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, apakah sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan. Oleh karena itu, ketiga terdakwa meminta penjelasan kepada penuntut umum.

Namun, penuntut umum hanya kembali membacakan surat dakwaan dan menyatakan  dakwaan itu disusun berdasarkan berkas perkara yang diterima dari Kepolisian. Mendengar jawaban tersebut, pengacara ketiga terdakwa, Maruli Tua merasa belum mendapatkan penjelasan. Ia meminta penuntut umum jujur jika memang tak mampu menjelaskan.

Sempat terjadi perdebatan yang cukup alot, hingga akhirnya ditengahi oleh hakim anggota, Ibnu Basuki Widodo. Ibnu meminta agar persidangan tidak dijadikan forum tanya jawab. "Dakwaan betul atau tidak, silakan dikritisi dalam eksepsi, bukan ditanya jawab begini. Kalau Pasal 55 dianggap tidak jelas di dakwaan, silakan dikritisi," ucapnya.

Atas saran majelis, Tigor, Obed, dan Hasyim mengatakan akan menyampaikan keberatannya dalam eksepsi. Walau begitu, Tigor mengatakan dirinya kecewa dengan sikap penuntut umum yang tidak bisa menjelaskan secara terang-benderang, mengapa mereka didakwa dengan Pasal 216 atau 218 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Saya sangat kecewa. Saya berharap tidak ada lagi orang-orang yang dipanggil dengan proses yang tidak jelas, karena saya menganggap ini seperti proses peradilan sesat. Tapi, sebelumnya, saya ingin menyampaikan, saya dan Obed adalah sebagai advokat yang dilindungi UU Bantuan Hukum, UU Advokat, dan Pasal 50 KUHP," tuturnya.

Tigor berpendapat, proses peradilan ini tidak sehat karena di dalam berkas yang mereka terima, ketiganya tidak pernah diperiksa sebagai tersangka, tetapi hanya sebagai saksi. Dengan demikian, menurutnya, Kepolisian dan Kejaksaan sudah menyalahi aturan dan prosedur hukum, sehingga hal itu juga akan disampaikan dalam eksepsi.

Senada, Obet menegaskan dirinya belum mendapat pemahaman dakwaan penuntut umum. Hasyim pun menyampaikan kekecewaannya karena penuntut umum tidak mampu menjelaskan inti dari surat dakwaan. Ia sebagai mahasiswa dan WNI merasa hak-haknya dilindungi oleh UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Tags:

Berita Terkait