Ahli Ungkap ‘Kejanggalan’ Proses Penyidikan Polri
Utama

Ahli Ungkap ‘Kejanggalan’ Proses Penyidikan Polri

Seharusnya perkara-perkara yang tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan harus dihentikan penyidik agar ada kepastian hukum.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Luhut MP Pangaribuan ketika memberikan keterangan di sidang MK, Selasa (29/3). Foto: RES
Luhut MP Pangaribuan ketika memberikan keterangan di sidang MK, Selasa (29/3). Foto: RES
Praktisi hukum yang juga ahli hukum acara pidana, Luhut MP Pangaribuan, mengungkap sebuah ‘kejanggalan’ dalam proses penanganan perkara pidana di Indonesia. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir data Surat Perintah Penyidikan () Kepolisian dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Kejaksaan dalam pidana umum seluruh Indonesia menunjukkan kondisi tidak sebanding. Ia menduga jumlah Sprindik Kepolisian lebih besar daripada SPDP yang diterima penuntut umum dari Kejaksaan.   Luhut menunjukkan data jumlah sprindik Kepolisian 2012-2014 terdapat 643.063 perkara yang disidik. Akan tetapi, jumlah SPDP yang diterima Kejaksaan dalam kurun waktu yang sama hanya 463.697 perkara. Artinya, terdapat selisih 179.366 perkara yang disidik dan tidak dilaporkan ke pihak Kejaksaan lewat SPDP.   Ada yang janggal dari perbedaan angka itu. “Seharusnya data SPDP lebih besar dari Sprindik Kepolisian, tetapi yang terjadi sebaliknya bahwa data Sprindik Kepolisian lebih besar jumlahnya dari data SPDP Kejaksaan,” ungkap Luhut MP Pangaribuan saat dimintai pandangannya sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian KUHAP di ruang sidang MK, Selasa (29/3).   Kalau dihitung dengan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (), jumlah Sprindik kemungkinan lebih banyak jumlahnya. “Bahkan dimungkinkan lebih dari itu, karena belum ditambah data penyidikan pihak PPNS. Sebab, pihak Kepolisian juga menerima SPDP dari PPNS lain,” ungkapnya.   Luhut mengingatkan sesuai Pasal 109 ayat (1) KUHAP, sejak dimulainya penyidikan, penyidik menyerahkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. Dengan kata lain, setiap tindak pidana yang diterbitkan sprindik harus diikuti dengan penyerahan SPDP kepada penuntut umum. “Seharusnya jumlah SPDP setiap tahunnya lebih besar dari data tindak pidana yang disidik (sprindik) Kepolisian,” kata Luhut.   Ahli Pemohon ini juga memaparkan rekapitulasi data Pengiriman SPDP Kepolisian ke Kejaksaan pada Kejaksaan di DKI Jakarta selama kurun waktu 2013-2015. Terdapat lebih dari ¼ SPDP dari total perkara pidana yang disidik ternyata tidak dikirimkan sejak awal dimulainya penyidikan (sprindik), tetapi bersamaan dengan berkas tahap satu.            

Para pemohon berpendapat ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP  semakin memperlemah peran penuntut umum sebagai pengendali perkara. Praktiknya, proses prapenuntutan sering menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarutnya penanganan perkara dalam proses prapenuntutan (bolak-balik berkas perkara).

Misalnya, Usman Hamid menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Ada pula Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Andro mencabut keterangan Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.

Para pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 14 huruf b KUHAP khususnya frasa “apabila ada kekurangan” dihapus, sehingga apabila tidak ada kekurangan, jaksa tetap bisa melakukan pemeriksaan tambahan.
Sprindik





PPNS



SPDP dikirim

“Sesuai KUHAP, seharusnya pemberian SPDP dari Kepolisian kepada Kejaksaan dikirim sejak awal tahapan penyidikan. Hal ini menimbulkan tanda tanya, bagaimana mungkin penuntut umum dapat mengontrol dan mengetahui jalannya penyidikan sedari awal apabila SPDP baru diberikan pada penyerahan berkas tahap satu,” katanya.

Selain itu, kurun waktu data prapenuntutan perkara pidana umum seluruh Indonesia periode 2012-2014 menunjukkan tingginya bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum. Misalnya, pada 2012, berkas perkara yang langsung dinyatakan lengkap 88.685 perkara. Sedangkan berkas perkara yang dikembalikan penyidik mencapai 51.430 atau mencapai 36,7 persen.

“Kurun waktu tiga tahun (2012-2014) terdapat 47.008 berkas perkara yang dinyatakan tidak layak oleh penuntut umum. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana nasib 47.008 berkas yang tidak dapat dilengkapi dan atau berkas yang tidak dikembalikan lagi ke JPU?”

Menurut dia, seharusnya perkara-perkara yang tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan harus dihentikan penyidik agar ada kepastian hukum bagi si tersangka ataupun korban. Namun, faktanya antara jumlah perkara yang tidak dapat dilengkapi penyidik dan perkara yang tidak dikembalikan ke JPU jumlahnya lebih banyak dari jumlah berkas SP-3 oleh penyidik kepada tersangka.

Pada tahun 2012, 2013, dan tahun 2014 masing-masing terdapat 14.442 perkara, 18.777 perkara, dan 11.054 perkara yang penanganannya terkatung-katung dan tidak tidak jelas. “Total selama kurun waktu tiga tahun terdapat 44.273 berkas perkara yang tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan, namun tidak pula dihentikan pada tahapan penyidikan.”

Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradian Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan bersama aktivis lain Carlos Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto mempersoalkan Pasal 14 huruf b dan huruf I, Pasal 109 ayat (1), dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 139 KUHAP terkait pemeriksaan berkas perkara dalam proses prapenuntutan.
Tags:

Berita Terkait