Soal Gugatan SKMA, Luhut ‘No Comment’
Berita

Soal Gugatan SKMA, Luhut ‘No Comment’

Ia malah mengajak semua organisasi advokat yang ada melakukan evaluasi dan refleksi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Advokat Luhut Pangaribuan. Foto: RES
Advokat Luhut Pangaribuan. Foto: RES
Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Luhut MP Pangaribuan tak mau ambil pusing terkait rencana Otto Hasibuan yang hendak menggugat Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 terkait kewenangan pengadilan tinggi menyumpah advokat yang memenuhi syarat dari organisasi advokat manapun. Dia memilih bersikap netral dan enggan mengomentari terlalu jauh terkait rencana gugatan Otto Hasibuan itu.

No comment dululah itu, saya tidak komentar apa dia mau menggugat atau tidak. Kalau saya berpendapat sama saja saya menjadi pihak,” ujar Luhut MP Pangaribuan kepada hukumonline, di Gedung MK, Selasa (29/3) kemarin.

Sebelumnya, Otto berencana mengajukan gugatan SKMA tentang penyumpahan advokat ke MA. Alasannya, berlakunya SKMA tersebut telah mengambil sebagian kewenangan PERADI. Sebab, Pengadilan Tinggi secara tak langsung menentukan sah atau tidaknya syarat seseorang menjadi advokat. Padahal, sebagian advokat yang disumpah oleh pengadilan tinggi setelah SKMA terbit, ada yang tidak mengikuti pendidikan dan ujian yang diselenggarakan PERADI.  

Luhut mengaku sulit untuk mengomentari rencana Otto Hasibuan menggugat SKMA itu sekalipun dirinya memiliki pendapat yang berbeda. Sebab, pandangannya bisa dianggap tidak objektif. “Kalau saya katakan tidak setuju rencana gugatan ini, toh tidak akan mempengaruhi keputusan yang bersangkutan kan. Kita lihat saja nanti bagaimana rencana dia itu,” kata Luhut.

Namun, satu hal yang perlu dicermati apakah saat ini masih dibutuhkan model “monopoli” keorganisasian advokat di tengah banyak advokat memilih model demokrasi ala advokat? Misalnya, ketika tetap dikehendaki model monopoli tertentu dalam urusan keorganisasian advokat. Seperti, yang boleh memberi izin pelaksanaan Pendidikan Kekhususan Profesi Advokat (PKPA), ujian advokat, atau kartu advokat hanya satu organisasi advokat tertentu.

“Ini yang perlu kita pikirkan bersama, karena wilayah Indonesia sangat luas dan majemuk,” kata dia mensiratkan praktik wadah organisasi tunggal advokat absolut sulit diterapkan di Indonesia.

Sebagai ilustrasi umum, Indonesia pernah mempraktikan sistem demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila kan yang berakibat cenderung koruptif. “Kalau kita tidak ada transparansi dan akuntabilitas (dalam penyelenggaraan PKPA dan ujian advokat) akibatnya cenderung korupsi,” ujarnya.

Baginya, yang terpenting melihat akar permasalahan yang terjadi dalam tubuh organisasi advokat. “Yang terpenting, kita lihat apa substansi permasalahan advokat yang ada saat ini, apa kita akan tetap pakai sistem ‘monopoli’ atau memelihara comfort zone (zona nyaman), maka kita tidak akan maju-maju,” kritiknya.

Untuk itu, dia mengajak semua organisasi advokat yang ada melakukan evaluasi dan refleksi dari pelaksanaan sistem monopoli (wadah tunggal) yang diterapkan oleh lembaga independen. Hal ini dimaksudkan agar hasil evaluasi yang dilakukan mendapatkan kesimpulan objektif mengenai model atau bentuk ideal organisasi advokat yang paling cocok untuk advokat Indonesia.

“Apa selama ini kita, termasuk ketika dia (Otto Hasibuan) masih memimpin DPN PERADI pernah melakukan evaluasi atau audit oleh lembaga independen, misalnya mengenai pelaksanaan PKPA dan ujian advokat, atau penerbitan kartu anggota? Kalau sistem yang dulu monopoli betul,” katanya.

Menurutnya, model pilihan organisasi advokat bukan terletak pada single bar atau multi bar system, tetapi terletak pada standar profesinya yang tunggal, bukan menekan pada wadahnya. “Single bar disini bukan melulu diartikan organisasinya tunggal, tetapi standar profesinya tunggal yang diarahkan pada peningkatan kualitas profesi advokat agar menjadi lebih baik,” tegasnya.

Sebelumnya, sekira akhir tahun 2015 lalu, DPN PERADI di bawah kepemimpinan Luhut dan DPN PERADI di bawah kepemimpinan Juniver Girsang telah bersepakat membentuk tiga badan bersama, antara lain Badan Sertifikasi Advokat Indonesia, Dewan Kehormatan Advokat Indonesia, dan Komisi Pengawas Bersama Advokat Indonesia. Kolaborasi itu dilakukan berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas profesi advokat di Indonesia.

Sementara itu, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Tjoetjoe Sandjaja Hernanto juga pernah mengajak organiasi advokat pendukung multibar di Indonesia untuk saling bersinergi. Ajakan KAI itu pun merupakan salah satu kesepakatan dalam Kongres Nasional Luar Biasa (KNLB) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KAI yang digelar di Palembang, awal akhir Januari 2016 yang lalu.
Tags:

Berita Terkait