CLS, Jalur Perjuangan Pengemudi Transportasi Aplikasi
Berita

CLS, Jalur Perjuangan Pengemudi Transportasi Aplikasi

Para sopir meminta kepastian hukum.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Go-Jek dan Grabbike, dua contoh fenomena transportasi berbasis aplikasi. Foto: RES
Go-Jek dan Grabbike, dua contoh fenomena transportasi berbasis aplikasi. Foto: RES
Para pengemudi angkutan umum konvensional dan moda transportasi berbasis aplikasi sedang menunggu kebijakan akhir Pemerintah. Setelah demo besar-besaran sopir angkutan umum konvensional, Pemerintah berjanji memikirkan jalan keluar yang sama-sama menguntungkan.

Sebelum kebijakan Pemerintah keluar, sejumlah pengemudi transportasi berbasis aplikasi atau transportasi daring (online) menempuh jalur hukum. Aries Rinaldi, Dicky Kurniawan, Tabah, Johan, Kuswadi, dan Yuruf F. Barliansyah memilih jalur Citizen Law Suit (CLS).

CLS adalah salah satu model gugatan yang berbasis pada gugatan warga negara. Sejumlah warga negara menggugat suatu kebijakan Pemerintah. Dalam kasus ini, Aries Rinaldi dan kawan-kawan menggugat Presiden Republik Indonesia, Menteri Perhubungan, serta Menteri Komunikasi dan Informatika.

Gugatan CLS itu sudah didaftarkan ke PN Jakarta Pusat per 01 April 2016, dan terdaftar dalam register No. 185/Pdt.G/2016. Aries dkk dibantu kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi dan Hukum Pengendara Online Nasional (TIMAH PANAS). Tim ini beranggotakan Ferdian Sutanto, Rahmat Aminudin, Edy M. Lubis, Ayahrudin, Afriady Putra, Suhardi, dan Wintono Widjaya.

Dalam konperensi pers usai pendaftaran gugatan, Ferdi Sutanto, mengatakan prihatin atas demo sopir moda transportasi konvensional, dan berujung bentrok dengan pengemudi transportasi daring. Para sopir transportasi konvensional mengkritik sikap Pemerintah, tetapi pengemudi transportasi berbasis aplikasi yang jadi korban. Karena itu, melalui  jalur CLS, pihaknya meminta perlindungan hukum terhadap para pengemudi berbasi aplikasi.

“Mengetuk hati Pemerintah/para petinggi negara yang terkait agar segera diterbitkan regulasi untuk para pengemudi angkutan berbasis aplikasi online agar mendapatkan kepastian hukum dalam mencari nafkah guna anak isteri  di rumah,” kata Ferdi.

Ferdi mengingatkan kemajuan teknologi adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Teknologi membuat orang berinovasi. Para pengemudi manapun bisa memanfaatkan teknologi untuk kebutuhan mereka. “Para pengemudi angkutan online maupun pengguna atau konsumen, masing-masing terbantu. Pengemudi memperoleh pekerjaan dan konsumen mendapatkan kenyamanan atas pelayanan yang diberikan,” jelasnya.

Ferdi melanjutkan, setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UU 1945.

Dengan adanya regulasi yang jelas, Ferdi menilai, kejadian demo anarkis seperti yang terjadi pada 22 Maret lalu dapat dihindari. “Hemat kami agar kejadian serupa  tidak terulang lagi di Indonesia dan tidak terjadi baku hantam antar sesama anak bangsa, gugatan ini diajukan. Agar ada kepastian hukum,” pungkasnya.

Langkah CLS ini makin menambah upaya hukum yang ditempuh para pihak berkepentingan dengan transportasi berbasis aplikasi. Sebelumnya, dua orang warga negara yang berprofesi advokat menggugat Pasal 138 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) lewat judicial review ke MK. Kedua advokat ingin MK bisa mengakhiri polemik legalitas transportasi berbasis aplikasi yang selama ini terjadi.

M. Ridwan Thalib dan R. Artha Wicaksana, kedua advokat dimaksud, merasa hak mereka dirugikan atas berlakunya pasal itu. Selaku konsumen pengguna jasa angkutan umum, Thalib dan Wicaksana merasa tidak mendapatkan kepastian hukum terkait legalitas angkutan umum yang digunakan sehari-hari terutama transportasi berbasis aplikasi online.
Tags:

Berita Terkait