LSM Hukum, Bergerak dari Hulu ke Hilir
Berita

LSM Hukum, Bergerak dari Hulu ke Hilir

Mulai dari mengerjakan penelitian sampai advokasi perubahan kebijakan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Wakil Direktur Eksekutif LeIP, Arsil. Foto: RIA
Wakil Direktur Eksekutif LeIP, Arsil. Foto: RIA
Peristiwa reformasi pada tahun 1998 menjadi angin segar bagi kehidupan di segala sektor, tak terkecuali sektor hukum. Salah satu fenomena yang cukup penting diperhatikan adalah lahirnya banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-governmental organization yang fokus pada isu hukum. LSM-LSM tersebut lahir dengan satu latar belakang bahwa hampir semua lini kehidupan bersinggungan dengan masalah hukum.

“Bisa dikatakan bahwa hampir semua masalah terkait dengan hukum. Selain itu, advokasi di bidang hukum tidak cukup dengan penanganan kasus. Kadangkala dibutuhkan advokasi di tataran regulasi dan kebijakan. Makanya muncul banyak LSM di bidang hukum,” jelas Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil kepada hukumonline, Senin (4/4).

Lebih lanjut, Arsil menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru sulit sekali mendirikan LSM di Indonesia. Sehingga, LSM yang fokus pada sektor hukum sangat terbatas. Ia mangatakan, saat itu hanya dikenal nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Sehingga, Arsil menuturkan, tidak heran jika kemudian setelah reformasi banyak LSM baru yang berkaitan dengan LBH. Ia mencontohkan, pendiri Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Indonesian Corruption Watch (ICW), atau Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merupakan aktivis LBH. Menurut Arsil, banyak pula konsorsium LSM yang salah satu anggotanya adalah LBH.

Kendati banyak bermunculan LSM di bidang hukum, namun fokus advokasi masing-masing LSM beragam. Arsil mengelompokkan ada dua jenis LSM di bidang hukum jika melihat ranah advokasinya. Pertama, lembaga pemberi bantuan hukum seperti LBH Jakarta, LBH Masyarakat, atau Persatuan Bantuan Hukum Indonesia. Kedua, LSM yang bergerak di bidang reformasi kebijakan. Menurutnya, LeiP merupakan contoh LSM kategori ini.

Sementara itu, jika dilihat dari bidang hukum yang digarap Arsil kembali membuat dua klasifikasi. Pertama, LSM yang mengkaji isu hukum secara umum. Misalnya menurut Arsil, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Ada pula LSM yang fokus pada isu hukum spesifik, seperti isu hukum adat yang digarap oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma).

Dalam perjalanan yang telah ditempuh oleh LSM-LSM di bidang hukum, Arsil menilai telah ada perubahan berarti yang dihasilkan. Ia mengungkapkan, kini pandangan LSM sangat berpengaruh dalam kebijakan publik. Menurutnya, hal ini adalah buah perjuangan LSM-LSM yang mengadvokasi kebijakan publik.

“Misalnya saja ICW. Sekarang pandangan ICW cukup berpengaruh dalam isu-isu pemberantasan korupsi. Kemudian, posisi LeIP yang berhasil mengubah Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga yang cukup terbuka. Padahal sebelum tahun 2000, MA merupakan salah satu lembaga yang paling tertutup di Indonesia,” ujarnya.

Meskipun banyak catatan berarti yang telah berhasil digoreskan kalangan LSM dalam arah kebijakan hukum di Indonesia, Arsil mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi masih banyak. Menurutnya, tantangan yang paling utama adalah bagaimana menguliti masalah sehingga LSM tersebut mengerti kebijakan apa yang harus diubah. Selain itu, penting pula untuk membuat pemahaman yang sama antara LSM dengan pemangku kebijakan.

Arsil menjelaskan, tingkat kerumitan masalah di sektor hukum cukup tinggi. Sehingga, untuk mencegah kesalahan pemahaman yang melahirkan kesalahan rekomendasi LSM harus memiliki pengetahuan memadai mengenai masalah yang akan dihadapi. Sayangnya, hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa produksi pengetahuan berupa literatur yang seharusnya didukung lembaga pendidikan sangat minim.

“Akibatnya LSM harus mengerjakan dari hulu ke hilir. Untuk menganalisis masalah kita butuh pisau, nah pisaunya kita juga yang mengerjakan. Padahal, riset-riset itu seharusnya menjadi tanggung jawab akademisi dan universitas, bukan LSM. Sebab, LSM sifatnya praktis bagaimana menyelesaikan masalah di lapangan,” tambahnya.

Tetapi, Arsil mengaku tak mau mengeluh. Ia realistis bahwa keadaan LSM hanya bergerak di sektor hilir hanya akan tercapai jika kehidupan penelitian di kampus berkembang dengan baik. Sebelum hal itu tercapai, ia mengatakan mau tidak mau LSM harus melakukan produksi pengetahuan melalui penelitian.

Tags:

Berita Terkait