BLK Harusnya Sasar Tenaga Kerja Berpendidikan Minim
Berita

BLK Harusnya Sasar Tenaga Kerja Berpendidikan Minim

Akses lapangan kerja tetap tak merata.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Tenaga kerja. Foto: SGP
Tenaga kerja. Foto: SGP
Program-program latihan kerja di Balai Latihan Kerja (BLK) dan program beasiswa seharusnya lebih menyasar tenaga kerja yang berpendidikan minim. Tenaga kerja berpendidikan SMA ke bawah juga perlu dilatih agar ketimpangan ekonomi tidak semakin besar. Tahun ini ketimpangan ekonomi mencapai 0,41 persen.

Berbicara di Jakarta, Rabu (06/4), Program Manager INFID, Siti Khoirun Ni'mah, mencatat jumlah pengangguran di Indonesia sekitar 7 juta orang dan mayoritas tingkat pendidikannya SMP ke bawah. Tidak meratanya akses lapangan kerja yang layak jadi salah satu penyebab ketimpangan ekonomi di Indonesia. Untuk itu dalam menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) tahun 2017 upaya menghapus ketimpangan harus jadi prioritas.

Program pelatihan kerja yang selama ini digulirkan pemerintah sayangnya tidak menyasar masyarakat yang tingkat pendidikannya SMP ke bawah, sebab syarat yang biasanya ada dalam pelatihan minimal berpendidikan SMA. Begitu pula dengan beasiswa, hanya ditujukan untuk jenjang pendidikan tinggi seperti S1, S2 dan S3.

Ni'mah mengusulkan agar dana beasiswa yang dikelola pemerintah lewat program LPDP harus dialokasikan untuk mengembangkan pelatihan kerja bagi angkatan kerja yang tingkat pendidikannya SMP ke bawah. Selama ini program LPDP hanya untuk lulusan sarjana. Ke depan, pelatihan di BLK tidak lagi minimal pendidikan SMA. Sebagai upaya memperluas akses lapangan kerja yang layak, pelatihan yang digelar di BLK mestinya juga dibuka untuk tenaga kerja lulusan SMP ke bawah.

Materi pelatihan yang digulirkan di BLK menurut Ni'mah perlu disesuaikan dengan prioritas pembangunan industri dan ekonomi di masing-masing wilayah. Dalam melaksanakan program pelatihan di BLK itu pemerintah perlu menggandeng pihak swasta dan serikat pekerja. Pemerintah sendiri pernah mengemukakan gagasan pelatihan gratis bagi pengangguran di BLK. Peluang kerjasama BLK dengan swasta juga sudah dibuka seperti termuat dalam Permenakertran No. 7 Tahun 2012 tentang Kerjasama Penggunaan BLK oleh Swasta.

“Angkatan kerja di Indonesia tingkat pendidikannya paling banyak SMP ke bawah, maka penting untuk didorong perluasan kesempatan kerja yang merata untuk semua masyarakat. Terutama bagi mereka yang tidak bisa mengakses lapangan kerja karena tingkat pendidikannya rendah,” kata Ni'mah.

Ni'mah yakin jika jumlah angkatan kerja yang menganggur bisa mendapat pekerjaan dan upah layak maka ketimpangan ekonomi bisa dipangkas signifikan.

Analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, menyebut lemahnya peningkatan kualitas tenaga kerja lewat pelatihan kerja juga dialami buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik. Selama ini komponen biaya pelatihan kerja dibebankan kepada calon buruh migran sangat mahal, mencapai Rp20 juta. Padahal kualitas pelatihan yang diberikan PPTKIS/PJTKI itu sangat minim.

Migrant Care mendorong pelatihan untuk buruh migran Indonesia dialokasikan dari APBN atau sumber lain sehingga buruh migran tidak dibebani biaya tinggi. Menurut Wahyu, BLK bisa direvitalisasi agar mampu berperan untuk jangka panjang dalam menyiapkan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Tags:

Berita Terkait