Kisah Pengujian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor
Utama

Kisah Pengujian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Sejauh ini pihak yang menggugat pasal ini mendalilkan setiap tindakan yang merugikan keuangan negara tidak serta merta berimplikasi tipikor. UU Administrasi Pemerintahan jadi amunisi.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Salah satu diskusi tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor di Jakarta. Foto:  RES
Salah satu diskusi tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor di Jakarta. Foto: RES
Hampir sepuluh tahun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006 berlalu perdebatan tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih terus berlangsung. Putusan bertanggal 25 Juli 2006 ini membatalkan sifat melawan hukum materil dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Arti putusan itu, sifat melawan hukum dalam perkara-perkara korupsi mesti ditafsirkan sebagai melawan hukum formil yang diatur UU.

Namun, penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor oleh aparat penegak hukum untuk menjerat terdakwa korupsi ini masih menimbulkan beragam penafsiran dalam praktik peradilan. Indikatornya, beberapa kasus korupsi yang diputus pengadilan (Pengadilan Tipikor) hingga Mahkamah Agung (MA), berbeda memaknai pasal itu lantaran perdebatan apakah tipikor delik formil atau materil?

Makanya, tak heran pasca terbitnya putusan MK No. 003/PUU-IV/2006, sejumlah warga negara yang umumnya berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana masih tetap mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor ke MK. Namun, MK menyatakan menolak argumentasi para pemohon atau menyatakan tidak dapat menerima permohonan karena pasal yang dimohonkan sudah pernah diuji.

Misalnya pada 2008, MK menolak pengujian Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yang diajukan terpidana kasus pengadaan obat-obatan di Dinas Kesehatan Buru (Ambon), Salim Alkatri pada 1999-2003. MK beralasan Pasal 3 itu bukan persoalan konstitusionalitas norma yang menjadi kewenangannya, melainkan penerapan norma. Mahkamah mengakui keadaan darurat memberi keleluasaan kepada Pejabat Darurat Sipil untuk menyimpang dari peraturan yang berlaku ketika keadaan normal.

Namun, keadaan darurat tetap tidak menghapus atau menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana korupsi yang boleh dilakukan oleh siapapun termasuk pejabat darurat sipil. Menurut Mahkamah keadaan darurat dapat menjadi alasan pembenar atau alasan pemaaf dalam proses peradilan pidana seperti dialami pemohon. Tetapi, penilaian itu merupakan kewenangan hakim peradilan umum untuk menilai dan mempertimbangkannya.

Pada 2012, MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor khususnya frasa “pidana penjara paling singkat 4 tahun” yang diajukan terpidana korupsi, Herlina Koibur. Pasalnya, Herlina pernah divonis bersalah selama 4 tahun oleh Majelis Kasasi MA sesuai pidana minimal yang diancam pasal itu.

Herlina menilai ketentuan pidana minimal 4 tahun dalam Pasal 2 ayat (1) sangatlah tidak adil dan proporsional karena tidak sesuai peran pemohon dalam perkara korupsi yang didakwakan. Menurutnya, aturan pidana minimal itu memasung jaksa dan hakim untuk menuntut dan menghukum seseorang tanpa mempertimbangkan kualitas dan peran perbuatan terdakwa.

Pada September 2013, MK pernah mengkandaskan uji materi Pasal 2 ayat (1) berikut penjelasannya UU Pemberantasan Tipikor yang dimohonkan terpidana korupsi Samady Singarimbun. Samady menilai unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) tersebut multitafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, dia meminta pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak dapat diterapkan kepada aparatur pemerintah karena jabatan, kekuasaan, tugas atau perintah.

Dalam putusannya, Mahkamah kembali mengutip putusan pengujian pasal itu yang bernomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Mahkamah kala itu, menilai Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor kalimat pertama tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, Mahkamah menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa “secara melawan hukum” dalam arti materiil dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Kini, Pasal 2 dan Pasal 3 itu pun tengah 'digugat' oleh Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun yang juga berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi. Mereka meminta MK membatalkan kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Sebab, kata dan frasa itu dinilai multitafsir, ambigu dan tidak pasti dalam penerapannya dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Para pemohon berharap jika dikabulkan akan mengubah paradigma tafsir pasal tersebut bahwa yang dapat dipidana tipikor adalah setiap orang yang secara materil melakukan tipikor (melawan hukum) dan merugikan negara/perekonomian negara secara nyata.

Sangat wajar
Ketua Tim Kuasa Hukum Permohonan ini, Heru Widodo mengatakan sangat wajar apabila Pasal 2 dan Pasal 3 masih saja dipersoalkan sejumlah warga negara. Sebab, penerapan dua pasal itu dinilai multitafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, pemaknaan putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil sudah tidak relevan lagi dalam praktik peradilan saat ini.

Menurut Widodo, adanya kata “dapat” dan frasa dalam kedua pasal tersebut menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan atau aparatur sipil negara (ASN) terutama di daerah. Misalnya, ketika ASN menjalankan kebijakan (keputusan) sesuai jabatan dan kewenangannya selalu dalam ancaman delik korupsi.

“Ketika memberi pekerjaan (pengadaan barang dan jasa) kepada pihak ketiga (swasta) dihantui rasa takut terutama adanya kata ‘dapat’ dan frasa ‘atau orang lain atau suatu korporasi’ dalam kedua pasal itu,” kata Widodo kepada hukumonline, Rabu (06/4).

Dia melanjutkan ketika ASN sesuai kewenangannya memberi pekerjaan tentunya mesti menguntungkan pihak swasta dan bermanfaat bisa dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi. Sebab, faktanya selama ini penetapan tersangka dalam proses penyidikan/penuntutan tipikor hanya “berbekal” adanya potensi kerugian keuangan negara. Padahal, tidak setiap tindakan yang merugikan keuangan negara merupakan tipikor.

“Bisa saja karena ada unsur wanprestasi (ingkar janji) atau faktor lain di luar tanggung jawab/kekuasaan pemberi pekerjaan. Tetapi, dengan pasal ini semuanya bisa dijerat,” kata Managing Partners Heru Widodo Law Firm ini.

Dengan begitu, seharusnya aparat penegak hukum tidak dengan mudahnya menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi sebelum ada bukti kerugian keuangan negara yang berunsur pidana (korupsi). Sebab, tak jarang praktiknya ketika BPK belum merekomendaskan audit investigasi kerugian negara, penyidik sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Namun, ada majelis hakim yang menolak berkas perkara apabila belum menyertakan bukti audit kerugian keuangan negara secara nyata dan pasti sesuai UU Perbendaharaan Negara. Jadi, agar pasti kata ‘dapat’ yang diartikan sebagai potensi kerugian keuangan negara dihapus saja,” harapnya.

Menurutnya, Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang mengkualifikasi tipikor sebagai tindak pidana (delik) formil sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan politik hukum pemberantasan korupsi saat ini. Makanya, sifat melawan hukum formil sesuai putusan MK itu meliputi delik materil terutama unsur kerugian keuangan negara secara pasti dan nyata.

“MK bisa saja mengubah putusannya sendiri, seperti putusan pengujian UU Pemda dan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengubah paradigma pilkada kembali menjadi rezim pemerintahan daerah, bukan pemilu. Kan putusan MK itu dinamis sesuai perkembangan politik dan hukum ketatanegaraan,” katanya.

Apalagi, tambah dia, seiring terbitnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) seharusnya penindakan tipikor perlu memperhatikan pendekatan prosedur hukum administrasi. Sebab, setiap tindakan yang merugikan keuangan negara tidak serta merta berimplikasi tipikor.

“UU Administrasi Pemerintahan berorientasi pengembalian kerugian keuangan negara setelah melalui gugatan PTUN. Kalau pejabat ASN terbukti melanggar hukum merugikan keuangan negara diminta untuk segera mengembalikan, kalau ada unsur pidana korupsinya akan dilanjutkan ke penegak hukum,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait