Penyebab Hakim Tipikor ‘Kesampingkan’ Putusan MK
Berita

Penyebab Hakim Tipikor ‘Kesampingkan’ Putusan MK

Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor seharusnya lebih strict ketika membuktikan unsur melawan hukum formil dan materil sekaligus.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Krisna Harahap. Foto: RES
Prof Krisna Harahap. Foto: RES
Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006 yang membatalkan sifat melawan hukum materil dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ternyata tak sepenuhnya ditaati aparat penegak hukum terutama dari kalangan hakim agung. Sebab, mereka merasa lebih terikat dengan berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan yurisprudensi terkait sifat melawan hukum dalam arti formil dan materil.

“Majelis Hakim pidana khusus (korupsi) tetap mengacu Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan yurisprudensi,” ujar Hakim Agung Prof Krisna Harahap saat dihubungi hukumonline, Jum’at (08/4).

Dia mengakui putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan konsep melawan hukum tipikor (materil) bertentangan dengan konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, putusan itu mengikat seluruh warga negara termasuk para hakim ketika mengadili dan memutus perkara. Namun, harus diingat sedari awal korupsi diklasifikasi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal ini sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi.

“Memang praktiknya, sebelum Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dihapus, konsep sifat perbuatan melawan hukum (PMH) dalam hukum perdata (onrechtmatigedaad) seolah-olah diterima dalam sifat melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid),” kata Krisna.

Dia juga mengakui kalangan hakim selama ini masih “terbelah” ketika menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ketika dihubungkan berlakunya putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 ini. Satu sisi, putusan MK dijadikan acuan oleh sebagian hakim dalam memutus perkara korupsi. Di sisi lain, ada hakim yang tetap berpedoman pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman alias tidak terpasung dengan putusan MK. “Ketentuan itu mewajibkan para hakim menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat,” ujarnya mengingatkan.

Salah satu putusan yang dijadikan pedoman bagi MA yakni putusan MA No. 2214 K/Pid/2006 yang membuka ruang pengadilan bisa menafsirkan melawan hukum secara materil dengan menggunakan doktrin dan yurisprudensi. “Saya tidak sependapat kalau putusan MK bisa mengesampingkan UU Kekuasaan Kehakiman dan yurisprudensi,” katanya.

MA seharusnya bisa menyikapi persoalan ini ketika putusan MK menyimpangi UU lain yang terkait. Seperti, putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berimplikasi PK dapat diajukan berkali-kali. Padahal, dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA membatasi pengajuan PK hanya satu kali. “Sebagai negarawan, MK juga jangan asal menjatuhkan putusan yang bisa berdampak luas, seperti putusan MK yang membolehkan berkali-kali, putusan itu kan bertentangan lagi dengan UU lain,” kritiknya.

Krisna melanjutkan jika mencermati memorie van toelichting (latar belakang pembentukan) Pasal 2 UU Tipikor itu sendiri ada kesan pembentuk UU hendak melindungi pejabat negara dengan ancaman hukuman lebih ringan yang justru mengacu Pasal 52 KUHP seharusnya lebih diperberat. Sedangkan, Pasal 3 UU Tipikor diperuntukkan bagi pejabat negara yang memiliki kewenangan dan jabatan yang diancam hukuman minimal 1 tahun.

“Tetapi, Pasal 2 UU Tipikor ancaman hukumannya minimal 4 tahun karena nonpejabat negara dianggap tidak punya jabatan/kewenangan. Pembentuk UU rupanya ingin pejabat negara misalnya anggota DPR meski telah memenuhi unsur pidana dalam Pasal 2, dihukum dengan menggunakan Pasal 3 agar lebih ringan,” ujar Hakim Agung Kamar Pidana (khusus) yang kerap ‘berduet’ (satu majelis) dengan Artidjo Alkostar dan MS Lumme ini.

Dijelaskan Krisna, pembentuk UU membedakan unsur ‘memperkaya’ dalam Pasal 2 dan ‘menguntungkan’ dalam Pasal 3. Dia mengaku sulit mencari batasan berapa nilai agar dapat disebut memenuhi unsur ‘memperkaya’ dan ‘menguntungkan’. Karena itu, di kamar pidana MA ada ‘kesepakatan’ (patokan) sebesar Rp 100 juta. Kalau lebih, berarti ‘memperkaya’ dan dikenakan Pasal 2. Kalau di bawah Rp 100 juta dikenakan Pasal 3.

“Kesepakatan ini pun masih debatable. Makanya, penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam praktik di Pengadilan Tipikor selalu terbentur dengan hal-hal seperti itu. Ini memang sangat dilematis,” imbuhnya.

Selain itu, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan tipikor sebagai delik formil sehingga tidak perlu lagi menanti timbulnya akibat (adanya kerugian keuangan negara secara nyata). Praktiknya, tentu saja majelis hakim tidak boleh gegabah sebelum menjatuhkan vonis sebelum terlebih dahulu mempertimbangkan semua unsur secara komprehensif.

“Hasil audit investigatif BPK atau BPKP yang bekerja atas nama BPK sebagai lembaga yang ditentukan Konstitusi menentukan besaran kerugian negara, tentu saja merupakan keniscayaan untuk obyek-obyek yang membutuhkan keahlian para auditor.”

Tetap patuh
Terpisah, mantan Hakim Konstitusi, HAS Natabaya tak menampik putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 hingga kini menjadi polemik apakah perbuatan korupsi masuk delik formil atau sekaligus delik materil? Ia berharap MA dan pengadilan di bawahnya seyogyanya tetap mematuhi putusan MK tersebut.

“Amanat putusan MK itu kan praktiknya delik formil. Tetapi, tindak pidana termasuk tipikor bisa juga masuk delik materil, perdebatan ini sebenarnya sudah lama. Tapi, terpenting unsur kerugian negara harus ditentukan dulu oleh BPK dalam praktik,” kata Natabaya di gedung MK.

Staf pengajar Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Bivitri Susanti menilai hal terpenting pedoman bagi penyidik/penuntut umum KPK atau kejaksaan harus membuktikan niat jahat (mens rea) ketika mengurai unsur “merugikan keuangan negara” dan unsur ‘kesengajaan’ ketika mengurai unsur ‘memperkaya orang lain atau korporasi’. Sebab, tidak semua unsur kerugian negara berindikasi niat jahat karena kesengajaan untuk melakukan korupsi.

“Seperti kasus Hotasi menurut BPK ada kerugian negara. Persoalannya apa itu dilakukan dengan sengaja atau hanya maladiministrasi dalam arti ada kesalahan pengelolaan keuangan yang mengakibatkan kerugian negara?” kata Bivitri Susanti.

Dia melanjutkan apabila unsur kerugian negara disebabkan karena tindakan maladministrasi, maka hukumannya hanya sanksi administratif. Lain hal, ketika unsur kesengajaan (mens rea) yang masuk lingkup unsur ‘melawan hukum’ baru bisa dikategorikan memenuhi unsur tipikor. “Intinya, jangan sampai aparat penegak hukum fokus pada pembuktian unsur ‘kerugian keuangan negara’, tetapi unsur kesengajaan niat jahat juga harus dibuktikan,” sarannya.

Tak heran, kata dia, banyak pihak termasuk Presiden Jokowi melontarkan pernyataan bahwa penindakan tipikor membuat pejabat takut  mengambil keputusan terkait investasi. “Ini disebabkan penerapan pasal itu belum tepat dan lebih strict,”  katanya.

“Makanya, saya lebih setuju penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor di MA yang lebih strict (keras/tegas) ketika membuktikan unsur melawan hukum formil sekaligus melawan hukum materil”.
Tags: