Pemerintah Harus Jamin Proteksi Privasi Transaksi Kartu Kredit
Berita

Pemerintah Harus Jamin Proteksi Privasi Transaksi Kartu Kredit

Harus ada aturan teknis yang jelas agar data yang dihimpun tidak disahalgunakan ataupun mengalami kebocoran.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan sempat membuat heboh publik, terutama para pemilik kartu kredit.

Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, kegaduhan ini terjadi lantaran pemerintah tak memberikan pembatasan siapa saja yang bisa menjadi objek pelaksanaan aturan itu. Padahal, menurutnya tak semua pemilik kartu kredit harus terkena pengaturan tersebut.

“Menurut saya seharusnya dibuat segmentasi yang jelas dengan batas Rp 50 juta ke atas. Sebab, kalau di bawah itu kan sudah bisa dihitung mereka biasanya belanja biasa. Orang yang melakukannya pun karyawan yang penghasilannya sudah dipotong pajak oleh perusahaan,” tutur Yustinus kepada hukumonline, Senin (11/4).

Yustinus mengungkapkan, kebanyakan pemilik kartu kredit dengan limit Rp 50 juta ke atas minimal level manajer. Sehingga, dari profiling penggunaan kartu kredit itu bisa ditelusuri apakah kebiasaan berbelanja yang bersangkutan sebanding dengan penghasilannya. Jika tidak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa memberi imbauan agar orang itu menjelaskan apakah ada penghasilan yang belum dilaporkan.

“Harus dipahami, aturan ini bukan mencari-cari kesalahan orang di luar bidang perpajakan. Ini hanya untuk melihat apakah ada penghasilan yang belum dilaporkan,” ujarnya.

Kendati demikian, Yustinus mengakui bahwa ada sebagian kecil orang dengan kartu kredit yang limitnya besar tidak dikenakan pajak. Biasanya, orang tersebut adalah penerima tunjangan perusahaan dalam bentuk kartu kredit sehingga tidak perlu dikenakan pajak lagi. Akan tetapi, menurutnya yang bersangkutan tetap harus menjelaskan kepada DJP perihal itu.

Lebih lanjut Yustinus menjelaskan, pada dasarnya penerbitan PMK itu bukan sesuatu yang biasa. Ia melihat, hal itu merupakan amanat Pasal 35 a UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Sehingga, seharusnya masyarakat bisa menerima pengaturan tersebut.

Sebab, ia menilai bahwa pengumpulan data dari kartu kredit hanyalah bagian kecil dari pengumpulan data dan informasi dalam sektor perpajakan. Terlebih, menurutnya informasi itu bukan sesuatu yang seharusnya rahasia. Sebab, menurut UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak mengkalsifikasikannya sebagai informasi rahasia.

“Yang rahasia itu kalau pemilik kartu kredit adalah nasabah bank yang mengeluarkan kartu kredit tersebut. Sebab, datanya menyatu dengan akun rekening bank. Sementara kartu kredit yang terpisah dari bank bisa dikenakan aturan ini,” ujar Yustinus.

Menurutnya, pemberlakuan aturan ini merupakan salah satu bentuk edukasi terkait transparansi finansial. Ia meyakinkan, jika memang masyarakat merasa bersih dari praktik-praktik keuangan yang melanggar aturan, mengapa harus menjadi risih. Sehingga, menurut Yustinus seharusnya masyarakat bisa memahami bahwa aturan tersebut bukan untuk mencari aib.

Yustinus mengakui, masalah privasi memang menjadi isu yang menyelimuti penerbitan aturan ini. Hal tersebut menurutnya lantaran masyarakat Indonesia belum terbiasa bersikap transparan. Padahal, menurut Yustinus di negara-negara maju data kartu kredit ini sudah bukan menjadi rahasia.

Akan tetapi, mekanisme di negara maju berbeda yang diterapkan di Indonesia. Kebanyakan negara tersebut sudah menerapkan nomor identitas penduduk yang bersifat tunggal. Sehingga, melalui nomor itu semua transaksi keuangan otomatis terekam, termasuk transaksi penggunaan kartu kredit.

Hanya saja, ia menekankan pula bahwa bagaimanapun warga negara memiliki hak agar kerahasiaannya terjamin. Ia menuturkan, pemerintah harus mampu memunculkan kepercayaan masyarakt bahwa data yang dihimpun tidak akan disalahgunakan. Sehingga, ada jaminan bagi masyarakat untuk meneyarhkan data yang dimiliki sesuai dengan tujuan awal pemerintah.

“Harus ada operasi tindal lanjut yang standar. Siapa yang berwenang melakukan penggunaan data itu juga harus diatur tegas. Kemudian, hukuman bagi pihak yang menyalahgunakan data juga harus keras. Ini untuk menimbulkan rasa aman bagi masyarakat,” tandas Yustinus.

Menurut Yustinus, akuntabilitas pelaksanaan PMK harus dibangun oleh pemerintah. Hal ini penting untuk mencegah adanya kebocoran data yang dihimpun. Selain itu, menurutnya itu juga menjadi kunci bagaimana memberikan proteksi terhadap privasi masyarakat.

Tags:

Berita Terkait