Mantan Komisioner KPK Ungkap Carut Marut Prapenuntutan
Utama

Mantan Komisioner KPK Ungkap Carut Marut Prapenuntutan

Perlu dirancang sistem komunikasi penyidik dan penuntut secara aktif dan efektif.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Mantan Komisioner KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah memberikan keterangan dalam perkara pengujian KUHAP, Rabu (13/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Mantan Komisioner KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah memberikan keterangan dalam perkara pengujian KUHAP, Rabu (13/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Sidang lanjutan uji materi beberapa pasal dalam KUHAP terkait proses pemeriksaan berkas perkara dalam proses prapenuntutan (penyidikan-penuntutan) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kali ini mengagendakan keterangan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Intinya, dua mantan pimpinan KPK jilid I ini memaparkan pengalaman mereka ketika menjabat pimpinan KPK. Samad juga punya pengalaman di kepolisian.

Bibit, pensiun dengan pangkat Irjen (Pol), mengakatan Pasal 109 ayat (1) KUHAP sudah mengatur pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum setelah dimulainya penyidikan (SPDP). Aturan ini dinilainya tidak mengandung kejelasan waktu karena praktiknya ditafsirkan berbeda-beda oleh penyidik, bisa 3 hari, 1 minggu, bahkan 1 bulan. Tak jarang, SPDP diberikan saat penyidik membutuhkan perpanjangan penahanan, malah  mungkin saja SPDP tidak diberikan sama sekali.

Cuma, menurut Bibit, kesalahan tidak selamanya disebabkan penyidik. Penuntut umum pun sering tidak responsif atas SPDP dari penyidik. Idealnya, SPDP harus disampaikan secepatnya dan kejaksaan aktif menyambut SPDP itu. “Dan segera menyiapkan penuntut umum,” kata Bibit Samad Rianto di ruang sidang MK, Rabu (13/4).

Diakui Samad, persoalan proses prapenuntutan ini disebabkan tidak ada kejelasan norma dalam KUHAP. Sebab, praktiknya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum ketika penyampaian SDPD lebih bergantung pada individu para penegak hukum. Apabila penyidik atau penuntut umum tidak proaktif tentunya koordinasi akan sangat terhambat meski di lingkungan Polri ada aturan baku mengenai gelar perkara secara internal.

“Pengalaman saya memimpin kepolisian tingkat kota atau provinsi sebisa mungkin saya langsung berkoordinasi dan berdiskusi dengan pimpinan penuntut umum (Kejari atau Kajati) ketika ada kasus terutama yang menarik perhatian masyarakat. Mekanisme ini memang tidak diatur dalam KUHAP, ini inisiatif saya selaku pimpinan saat itu,” kata dia.

Menurut Bibit, penyerahan SPDP dan peran aktif penuntut umum penting dalam penegakan hukum. Tanpa keduanya,  praktik korupsi dan kolusi dalam proses peradilan akan tumbuh subur. Dia mencontohkan secara teoritis surat perintah penghentian penyidikan (SP3) diperlukan untuk menjamin kepastian hukum. Namun, praktiknya tidak jarang produk SP3 diperjualbelikan terutama ketika SPDP tidak diberikan kepada penuntut umum.

“Pengalaman saya sebagai Kapolres di Jakata (1987-1989) pernah disodori setumpuk berkas yang akan di-SP3-kan. Setelah diteliti sesuai alasan Pasal 109 ayat (2) KUHAP hanya sepertiganya yang saya tanda tangani resumenya. Beberapa hari kemudian saya mendapat surat kaleng dari alamat yang tidak jelas,” ungkapnya.

Menurut dia, persoalan bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum bersumber pada pola koordinasi (koordinasi) keduanya terbatas pada “surat-menyurat” sesuai desain KUHAP. Padahal, mendalami perkara tentu harus ada pemahaman mendalam antara penyidik dan penuntut yang tidak cukup dengan “surat-menyurat” yang rentan terjadi kesalahpahaman.

“Ada pernyataan seorang dosen Manajemen Operasi Polri Fungsi Reserse, bolak-balik berkas perkara ada yang sampai 11 kali. Mantan Wakapolri Makbul Padmanegara juga pernah menyatakan koordinasi penyidik dan penuntut umum yang paling menonjol bolak-balik berkas,” ungkapnya.

Bibit berharap beragam persoalan dalam prapenuntutan ke depan perlu dirancang sistem komunikasi penyidik dan penuntut secara aktif dan efektif. Tentunya, ruang komunikasi aktif dan efektif ini akan membawa kebaikan dalam proses penegakan hukum terutama bagi masyarakat pencari keadilan. “Sebetulnya sudah ada forum Mahkehjapol dan Polri punya aturan gelar perkara, tetapi keduanya tidak mengikat. Ada baiknya pola ini diakomodir dalam KUHAP,” harapnya.

Chandra M Hamzah mencontohkan pola proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK yang diatur Pasal 44 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Misalnya, ketika surat perintah penyelidikan diterbitkan harus ada ending-nya atau ujungnya. “Kalau tidak menemukan bukti permulaan yang cukup dengan dua alat bukti, penyelidik melaporkan kepada pimpinan KPK untuk menghentikan penyelidikan,” kata Chandra.

Dia menjelaskan dalam SOP KPK ketika Satgas Penyidikan yang akan menangani perkara mengikuti paparan gelar perkara hasil penyelidikan oleh Satgas Penyelidikan. Nantinya, Satgas Penyidikan dan Satgas Penuntutan memberi pendapat atau saran apakah perkara ini cukup bukti untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. “Gelar perkara ini dihadiri Satgas Penyelidik, Satgas Penyidik, Satgas Penuntutan termasuk pimpinan KPK, pihak terkait,” ujarnya menjelaskan.

Dilanjutkan Chandra, sejak dimulainya penyidikan sudah ditetapkan atau ditunjuk Satgas Penuntutan yang terus memantau perkembangan proses penyidikan dan memberi pendapat. Jika hasil penyidikan dianggap lengkap, Satgas Penuntutan memerintahkan pelimpahan berkas ke proses penuntutan. “Kalau ada 10 surat perintah penyelidikan dikeluarkan mesti ujungnya 10 perkara ini bagaimana? Jadi, di KPK tidak ada bolak-balik berkas perkara karena sejak mulai penyidikan, penuntut umum sudah aktif memberi masukan.”

Koordinator Masyarakat Pemantau Peradian Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan bersama aktivis lain Carlos Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto mempersoalkan Pasal 14 huruf b dan huruf I, Pasal 109 ayat (1), dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 139 KUHAP terkait pemeriksaan berkas perkara dalam proses prapenuntutan.

Para pemohon berpendapat ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP  semakin memperlemah peran penuntut umum sebagai pengendali perkara. Praktiknya, proses prapenuntutan sering menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarutnya penanganan perkara dalam proses prapenuntutan (bolak-balik berkas perkara).

Misalnya, Usman Hamid menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Ada pula Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Andro mencabut keterangan Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.

Para pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 14 huruf b KUHAP khususnya frasa “apabila ada kekurangan” dihapus, sehingga apabila tidak ada kekurangan, jaksa tetap bisa melakukan pemeriksaan tambahan.

Selain itu, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mempersoalkan Pasal 50 ayat (1), (2) KUHAP. Sebab, kata ‘segera’ dalam pasal itu tidak memberikan jangka waktu yang pasti terkait pemeriksaan tersangka. Praktiknya, banyak orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, tetapi tidak juga dilakukan proses penuntutan dengan melimpahkannya ke pengadilan dengan alasan masih melengkapi berkas penyidikan.

Menurut FKHK, tidak adanya batasan waktu ini tentu seseorang bisa menjadi tersangka selamanya. Tentu hal tersebut justru bertentangan dengan hak tersangka untuk mendapatkan proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.  Makanya, FKHK meminta kata “segera” dalam Pasal 50 ayat (1), (2) KUHAP dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait