Aparat Dinilai Paksakan Pemidanaan dalam Kasus JIS
Utama

Aparat Dinilai Paksakan Pemidanaan dalam Kasus JIS

Karena proses hukum yang tidak sesuai prosedur hingga kesalahan menerjemahkan hasil visum.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Dari kiri, Peneliti PSHK Miko Susanto Ginting, Koordinator Kontras Haris Azhar, Pemred hukumonline Abdul Razak Asri, Ahli Forensik Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia Ferryal Basbeth, Pakar Hukum Pidana Universitas Andalas Shinta Agustina dan Ketua Harian MaPPI FHUI Choky Risda Ramadhan dalam sebuah diskusi di Sekolah Tingi Hukum Jentera, Jakarta, Rabu (13/4). Diskusi segaligus peluncuran buku
Dari kiri, Peneliti PSHK Miko Susanto Ginting, Koordinator Kontras Haris Azhar, Pemred hukumonline Abdul Razak Asri, Ahli Forensik Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia Ferryal Basbeth, Pakar Hukum Pidana Universitas Andalas Shinta Agustina dan Ketua Harian MaPPI FHUI Choky Risda Ramadhan dalam sebuah diskusi di Sekolah Tingi Hukum Jentera, Jakarta, Rabu (13/4). Diskusi segaligus peluncuran buku "Melindungi Anak, Membela Hak Kepentingan Tersangka". Foto: RES
Belum lekang dari ingatan kasus pelecehan seksual yang dialami anak-anak Jakarta International School (JIS). Kebanyakan masyarakat langsung menaruh simpati kepada para korban. Namun, dari hasil eksaminasi kasus yang diterbitkan dalam buku “Melindungi Anak, Membela Hak Tersangka” mencuat simpati bagi mereka yang menyandang label pelaku.

Koordinator KontraS Haris Azhar mengakui, sulit untuk tidak terjebak dalam opini publik yang terlanjur mengambil sudut pandang korban. Namun, menurutnya kasus pidana tetap harus dikupas dari aspek ilmiah yang netral. Dengan demikian, menurutnya dalam menangani kasus tersebut seharusnya aparat tidak terjebak dalam subyektifitas yang memenangkan satu pihak dan menyudutkan pihak lain.

“Dari hasil eksaminasi ini, terlihat bahwa penanganan kasus JIS carut-marut. Salah satunya terlihat dari kematian petugas kebersihan yang tidak wajar. Selain itu, banyak temuan bahwa kesaksian para saksi dan pelaku dipaksakan dengan cara penyiksaan,” ungkap Harris dalam peluncuran buku yang dilakukan di Jakarta, Rabu (13/4).

Lebih lanjut, Harris menilai penanganan kasus JIS juga memiliki kelemahan. Ia menuturkan, uji hasil visum menyatakan tidak ada penemuan yang menunjukan kondisi anak mengalami pelecehan. Fakta ini didukung oleh keterangan ahli bahwa jika penetrasi dilakukan dengan rentang waktu maka kondisinya tidak identik. Dari kondisi psikologis pun keterangan ahli di pengadilan mengatakan tidak ada kondisi yang mengindikasikan terjadi kekerasan seksual. Fakta presensi sekolah juga menunjukan anak tersebut tidak pernah absen.

“Artinya tidak ada indikasi anak tersebut menjadi korban. Tambahan lagi, ada keterangan saksi yang melihat rekonstruksi, lebih dominan ibunya yang bercerita,” kata Harris.

Harris menilai, sentimental dengan pendekatan hak anak dalam kasus ini sangat besar. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam konvensi hak anak pun pendekatan hak cukup komprehensif. Artinya, perlindungan terhadap anak bukan hanya diberikan oleh negara tetapi bersifat klaster.

“Mulai dari orang tua, pengasuh, penguasa lingkungan, penguasa sekolah, pengawas tempat bermain, sampai negara, semua harus bertanggung jawab. Dalam konvensi itu juga diatur bahwa kepentingan terbaik buat anak harus diberikan dalam kapasitas kepentingan terbaik bagi anak,” ujarnya.

Dirinya pun melihat, hasil eksaminasi menunjukan bahwa ada fakta hak anak yang menjadi korban pelecehan terlanggar lantaran proses hukum yang tidak layak dan patut. Sebab, penyiksaan yang dilakukan polisi dalam menggali kesaksian menghasilkan kesimpulan bahwa polisi belum menangkap pelaku sesungguhnya. Hal ini karena orang-orang yang ditangkap adalah orang-orang yang dipaksa bertanggung jawab. Atau, Harris menduga mereka dipaksa bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak terjadi.

“Asumsi saya, motifnya adalah ekonomi. Sebab, ada gugatan perdata yang nilainya setara dengan aset JIS. Tetapi meskipun ini asumsi, fakta-fakta yang ada berkorelasi ke arah itu,” tambahnya.

Senada dengan Harris, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan FHUI Choky Risda Ramadhan mengakui bahwa ada pemidanaan yang dipaksakan. Pasalnya, Choky melihat alat bukti yang digunakan aparat penegak hukum tidak kuat dan meyakinkan. Selain itu, pembuktiannya pun tidak paripurna.

Lebih lanjut ia mengatakan, pertimbangan hakim pada pengadilan tingkat pertama perlu dikritisi karena tidak mempertimbangkan pendapat dan bukti yang dihadirkan oleh terdakwa. Dalam putusan, hakim menolak mentah-mentah alat bukti surat yang berasal dari Singapura dengan dasar pasal 436 RV. Padahal, menurut Choky sejak diberlakukannya UU Darurat Sipil, aturan yang berlaku di Indonesia bukan RV tetapi HIR.

Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting pun melihat ada keragu-raguan dalam dakwaan kasus tersebut. Ia menekankan, sari semua hasil pemeriksaan rumah sakit, ada tidak hubungan dengan dapat diduganya seseorang sebagai pelaku. Selain itu, penuntut umum gagal menemukan kausalitas hasil visum dengan pelaku.

“Di dalam dakwaan disebut pelecehan itu sebagai perbuatan berlajut, maka harus ada persamaan kehendak dan deliknya sejenis. Tetapi, di dalam dakwaan tidak dibuktikan adannya kehendak bersama-sama dari semua pelaku untuk melakukan pelecehan seksual kepada anak itu,” ungkapnya.

Selain itu, Ahli Forensik dari Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) dr. Ferryal Basbeth mengatakan bahwa salah satu sebab kesimpangsiuran tersebut adalah kesalahan menerjemahkan hasil visum. Ferryal mengingatkan, dokter sejatinya tidak boleh memberikan terminasi hukum di dalam hasil visum. Misalnya, menjabarkan bahwa hasil visum sesuai dengan tindakan sodomi atau perkosaan.

“Mungkin itu opini pemeriksa. Tetapi, opini boleh asalkan harus sesuai dengan bukti. Jangan dipaksakan. Dokter hasrus ingat, kehati-hatian diperlukan dalam menafsirkan hasil lab karena menghasilkan konsekuensi hukum. Sehingga menurut saya, standardisasi hasil visum perlu dibuat untuk mencegah hal ini terulang lagi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait