Eksekusi Mati Gelombang Tiga Layak Ditunda? Begini Alasannya
Berita

Eksekusi Mati Gelombang Tiga Layak Ditunda? Begini Alasannya

Sikap Pemerintah dalam pembahasan revisi KUHP menentukan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah berencana melaksanakan hukuman mati terhadap terpidana mati. Jika jadi dilaksanakan berarti ini adalah eksekusi mati gelombang ketiga di masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Gelombang eksekusi pertama berlangsung pada 18 Januari 2015, menghukum 6 orang. Selanjutnya, 8 terpidana mati dieksekusi pada gelombang kedua 29 April 2015.

Pjs Direktur Eksekutif HRWG, Mohammad Hafiz, mengatakan Pemerintah mestinya mengevaluasi hasil eksekusi pertama dan kedua. Ada banyak hal yang patut diperhatikan sebelum eksekusi dilakukan. Misalnya peradilan yang tidak transparan, sehingga terpidana mati terjebak pada sistem peradilan sesat. Pengalaman yang menimpa terpidana mati asal Filipina, Mary Jane, bisa dijadikan contoh. Mary Jane hingga sekarang belum dieksekusi. “Apapun perkaranya, hukuman mati bertentangan dengan HAM,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (13/4).

Ketua FIHRRST, Marzuki Darusman, mengatakan Indonesia tidak bisa lepas dari pergaulan internasional. Pasca eksekusi terpidana mati pertama dan kedua Indonesia terkena dampaknya baik secara langsung atau tidak. Isu HAM jadi salah satu sorotan internasional. Ia mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan rencana eksekusi terpidana mati ketiga. “Pelaksanaan eksekusi terpidana mati yang terakhir (29 April 2015,-red) berdampak pada perekonomian dalam negeri,” ujarnya.

Dalam keterangan pers Marzuki menilai pandangan Pemerintah yang menyatakan pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkotika mengurangi penyalahgunaan narkotika di Indonesia ternyata tidak terbukti. Laporan BNN menyebut terjadi kenaikan 1,7 juta jiwa pengguna narkotika baru sejak Juni-November 2015.

Peneliti Imparsial, Ardi Manto, mengatakan eksekusi terhadap terpidana mati gelombang ketiga tidak perlu dilakukan. Apalagi KUHP yang selama ini menjadi dasar hukum pidana mati masih direvisi. Pemerintah juga sudah mengusulkan meninjau ulang dan memperketat pelaksanaan hukuman mati. “Dengan revisi KUHP ada pergeseran dari dasar hukum lama ke dasar hukum yang baru, oleh karenanya eksekusi terhadap terpidana mati jangan dilaksanakan dulu sebelum revisi KUHP selesai,” tukasnya.

Anggaran eksekusi
Peneliti ICJR, Erasmus A.T Napitupulu, mencatat anggaran yang dihabiskan Pemerintah untuk melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati gelombang pertama dan kedua mencapai Rp3 milyar. Jaksa Agung telah merencanakan eksekusi terpidana mati gelombang ketiga dengan mengajukan anggaran ke APBN. Data Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan sampai akhir 2015 ada 133 orang yang menunggu eksekusi mati di Indonesia.

Erasmus menegaskan persoalan fair trial harus jadi fokus pemerintah. KUHP yang ada sekarang tidak mampu melindungi hak orang lain yang menjalani proses pidana, terutama terpidana mati. Misalnya, Putusan PN Gunung Sitoli No.08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati Yusman Telaum Banua. Ditemukan fakta terpidana mati itu masih anak-anak, selama proses peradilan tidak mendapat kuasa hukum yang layak malah kuasa hukum minta kliennya dihukum mati.

Kemudian terkait grasi, Erasmus menyebut tidak ada suatu ketentuan yang mewajibkan Presiden untuk mempertimbangkan secara serius setiap permohonan grasi yang diajukan. Kemudian, tidak ada ketentuan yang mewajibkan Presiden memberi penjelasan yang layak dalam menerima atau menolak permohonan grasi. “Harusnya dijelaskan apa alasan diterima atau ditolaknya permohonan grasi,” tukasnya.

Perwakilan FAHAM KWI, Azas Tigor Nainggolan, menyesalkan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Rakernas PDIP yang menyebut eksekusi terpidana mati prestasi pemerintah. Pemerintahan Soeharto saja terkesan ‘malu-malu’ melaksanakan eksekusi mati. Tigor mengusulkan agar Pemerintah mengutamakan pembenahan sistem hukum di Indonesia. “Itu perlu dilakukan untuk mewujudkan adanya kepastian hukum bagi setiap orang,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait