Alami Kecelakaan Kerja, Pahami Regulasi Return to Work
Utama

Alami Kecelakaan Kerja, Pahami Regulasi Return to Work

Pemerintah menerbitkan regulasi yang mendorong penguatan Jaminan Kecelakaan Kerja. Memperkenalkan dokter penasehat.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Contoh pelaksanaan K3. Foto: SGP
Contoh pelaksanaan K3. Foto: SGP
Setiap pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja dapat memperoleh manfaat dari Program Kembali Kerja. Dikenal juga sebagai Return to Work, Program Kembali Kerja merupakan penanganan kasus kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja melalui pelayanan kesehatan, rehabilitasi, dan pelatihan agar pekerja dapat kembali bekerja.

Untuk mendukung program tersebut, Menteri Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja Serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (Permenaker No. 10).  Beleid ini sebenarnya sudah mulai berlaku sejak 10 Maret lalu.

Ketentuan itu merupkan pelaksanaan Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) PP No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja da Jaminan Kematian. Beleid ini mengatur sebagian manfaat yang dapat diterima peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.

Ingat, prinsip dasarnya adalah setiap pekerja yang mengalami kecelakaan atau penyakit akibat kerja dapat memperoleh manfaat. Tapi manfaat itu, menurut Permenaker No. 10, baru dapat diberikan berdasarkan rekomendasi dokter penasehat. Dokter dimaksud adalah dokter yang memberikan pertimbangan medis, dan berhak menentukan prosentase kecacatan yang dialami pekerja.

Kecelakaan kerja yang dimaksud dalam beleid Menteri tersebut adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Sedangkan penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.

Manfaat return to work program  harus diberikan secara komprehensif, mulai darin pelayanan kesehatan, rehabilitasi, dan pelatihan kerja. Penting diingat bahwa manfaat dimaksud tak hanya diperoleh dari fasilitas kesehatan milik Pemerintah, tetapi juga milik swasta. Cuma, kalau dari fasilitas kesehatan swasta, maka Anda perlu memastikan fasilitas kesehatan itu sudah memenuhi syarat dan telah menjalin kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Pilihan lain adalah Trauma Center BPJS Ketenagakerjaan.

Apakah semua pekerja dapat memperoleh manfaat Program Kembali Kerja? Tampaknya tidak demikian. Pasal 5 Permenaker No. 10 mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan manfaat tersebut.

Pertama, pekerja harus terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dalam program JKK. Kedua, pemberi kerja tertib membayar iuran. Ketiga, pekerja nyata-nyata mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang mengakibatkan kecacatan. Keempat, ada rekomendasi dokter penasehat bahwa pekerja perlu difasilitasi dalam Program Kembali Kerja. Kelima, pemberi kerja dan pekerja bersedia menandatangani surat persetujuan mengikuti Program Kembali Kerja.

Sesuai ketentuan Pasal 6 Permenaker No. 10, beban pelaporan terjadinya kecelakaan kerja ada di pundak pemberi kerja. Laporan itu harus disampaikan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat paling lambat 2 x 24 jam sejak kecelakaan terjadi. Agar mempermudah, laporan bisa berbentuk tertulis atau melalui komunikasi elektroik dengan mengisi fomulir yang ditetapkan BPJS Ketenagakerjaan. Benar tidaknya laporan itu akan diverifikasi Manajer Kasus BPJS Ketenagakerjaan. Hasil verifikasi itulah yang dijadikan rujukan oleh dokter penasehat sebelum memberikan rekomendasi.

Selama peserta mengikuti Program Kembali Kerja, maka santunan sementara tidak mampu bekerja tetap dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan sampai peserta selesai mengikuti pelatihan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai Permenaker ini memberikan kesempatan kepada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja untuk bisa tetap bekerja. Permenaker itu mengatur tidak seluruh pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja bisa otomatis mendapat program return to work. Salah satu syarat yang disorot yakni dibutuhkannya persetujuan pemberi kerja untuk mengikuti program tersebut.

“Itu artinya pekerja yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja tidak dengan mudah bisa kembali bekerja. Kecenderungan yang terjadi selama ini, pemberi kerja melakukan PHK kepada pekerja yang mengalami cacat akibat kecelakan kerja dan/atau penyakit akibat kerja,” kata Timboel di Jakarta, Jumat (15/4).

Menurut Timboel praktik buruk tersebut menyalahi amanat Pasal 153 ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan yang menegaskan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pekerja/buruh mengalami cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Peran Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan sangat dibutuhkan agar pekerja yang mengalami kecacatan itu bisa kembali bekerja.

Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, menegaskan JKK bagian dari program jaminan sosial oleh karena itu fokusnya harus pada pemulihan dan pasca. Ketika pekerja/buruh mengalami kecelakaan kerja harus diobati dan dipulihkan kemudian masuk tahap pasca (traumatik). “Paling penting, pekerja/buruh yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja tidak boleh di-PHK itu perintah UU Ketenagakerjaan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait