Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Bisa Mengacu Surat Ketua MA
Berita

Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Bisa Mengacu Surat Ketua MA

Rehabilitasi yang bisa diberikan antara lain pemulihan nama baik dan kompensasi untuk korban.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: Kontras.org
Foto: Kontras.org
Masyarakat sipil terus mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma, mendesak agar pemerintah melakukan rehabilitasi terhadap para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Menurut Feri, seharusnya Pemerintah punya instrumen hukum yang cukup untuk menggelar rehabilitasi kepada para korban. Sebelumnya, Jaksa Agung M. Prasetyo juga menegaskan Pemerintah punya cara sendiri untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM masa lalu.

Feri menjelaskan tahun 2003 Ketua MA sudah menerbitkan surat bernomor KMA/403/VI/2003 perihal permohonan rehabilitasi. Surat yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia itu intinya agar permohonan rehabilitasi para korban dipertimbangkan dan mengambil langkah konkrit menyelesaikan tuntutan itu.

Surat itu mendapat dukungan dari DPR RI, terlihat dari surat bernomor KS.02/3947/DPR-RI/2003 yang meminta Presiden untuk menindaklanjuti surat KMA tersebut dan memberi perhatian serta penyelesaian sebagaimana mestinya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tahun 2003 Komnas HAM juga melayangkan surat kepada Presiden. Surat bernomor 147/TUA/VIII/2003 itu meminta Presiden untuk segera memberikan rehabilitasi kepada korban 1965. Rehabilitasi itu penting antara lain karena mereka tidak pernah diputuskan bersalah oleh pengadilan dan terlalu lama menanggung beban penderitaan sebagai akibat perlakuan yang diskriminatif oleh rezim Orde Baru. Selain itu, anak cucu menanggung beban, dosa politik secara turun temurun padahal mereka tidak mengetahui sama sekali peristiwa tersebut.

Sampai saat ini pemerintah belum memberikan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya korban tragedi 1965. Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang diinisiasi beberapa lembaga negara dan digelar 18-19 April 2016 menurut Feri tidak akan memberi dampak positif terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu jika hasilnya nanti sekedar rehabilitasi untuk korban. Sebab, sampai saat ini pemerintah sudah punya peraturan yang cukup untuk menggelar rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Pemerintah bisa melakukan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara menindaklanjuti putusan MA tahun 2003 perihal Permohonan Rehabilitasi. Secara hukum langkah itu lebih kuat daripada lewat simposium,” kata Feri dalam jumpa pers di kantor KontraS di Jakarta, Jumat (15/4).

Menurut Feri rehabilitasi yang bisa dilakukan pemerintah seperti pemulihan nama baik dan kompensasi (ganti rugi) terhadap korban. Ia mencatat ada korban tragedi 1965 yang dulu berstatus PNS dipecat secara paksa karena dituduh terlibat Gerakan 30 September (G30S).

Selaras itu mengacu Putusan MA No.33P/HUM/2011 tertanggal 8 Agustus 2012 dinyatakan Keprres No.28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C batal demi hukum. Walau Keppres itu sudah tidak berlaku, sampai sekarang hak pensiun korban yang terlibat golongan C belum terpenuhi.

Peneliti Setara Institute, Achmad Fanani, menilai Simposium Nasional itu mengarah pada praktik impunitas. Simposium itu ditengarai bakal jadi alasan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. “Rekonsiliasi itu output dari proses pengungkapan kebenaran. Kalau mekanisme pengungkapan kebenaran itu tidak ada maka tidak jelas mana pelaku dan korban,” paparnya.

Alih-alih mengutamakan pengungkapan kebenaran dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, Fanani menilai Simposium itu mengedepankan rekonsiliasi. Padahal untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu diperlukan penyelesaian yang adil sesuai dengan peraturan yang berlaku. Baginya, Presiden perlu membentuk Komite Kepresidenan yang bertugas mendorong Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam rangka menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tags:

Berita Terkait