Mengintip Perdebatan Hukum Reklamasi Teluk Jakarta
Berita

Mengintip Perdebatan Hukum Reklamasi Teluk Jakarta

Jika ditelaah, izin yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 dan Kepres 52 Tahun 1995 berbeda satu sama lain.

Oleh:
NNP/ANT
Bacaan 2 Menit
Kawasan pantai. Foto: SGP (Ilustrasi)
Kawasan pantai. Foto: SGP (Ilustrasi)
Pasca Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta M Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, isu reklamasi terus menjadi perhatian publik. Tak cuma karena persoalan suap yang melibatkan politisi dan korporasi, isu ini semakin menarik lantaran ada perdebatan hukum dalam kasus ini.

Salah satu hal yang menjadi perdebatan adalah soal siapa pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam reklamasi ini, apakah Gubernur DKI Jakarta atau Kementerian Kelautan dan Perikanan?

Proyek reklamasi Teluk Jakarta memanglah bukan hal yang baru. Jauh sebelum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjabat, wacana ini sudah dibahas. Bahkan, sejumlah regulasi pun terbit, mulai dari Keputusan Gubernur (Kepgub), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), serta Undang-Undang (UU). Sayangnya, justru dari sejumlah aturan itulah pangkal perdebatan muncul belakangan ini.

Pertama, berkaitan dengan terbitnya aturan yang merevisi UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yakni dalam aturanUU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada intinya, aturan tersebut membahas izin pengelolaan dan izin lokasi. Pasal 17 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2014 mengatur bahwa izin lokasi tidak dapat diberikan pada zonasi inti kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Izin tersebut hanya diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam bentuk luasan dan waktu tertentu. Selain itu, pemberian izin juga mesti mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Sementara, izin lokasi sendiri merupakan dasar dalam pemberian izin pengelolaan.

Kedua, berkaitan dengan Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Aturan yang muncul dalam rangka keperluan pengembangan kawasan di pantai utara Jakarta itu tegas menyatakan dalam Pasal 4 bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi pantai utara Jakarta berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dimana diatur wilayah reklamasi yang meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus sampai garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter.

Selain itu, dalam aturan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995 itu juga diatur pembentukan Badan Pengendali yang bertugas mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan serta penataan kawasan pantura yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa areal hasil reklamasi pantai utara diberikan status hak pengelolaan kepada Pemerintah DKI Jakarta.

Untuk diketahui, selang tiga bulan setelah itu, tepatnya pada 16 Oktober 1995 juga ada aturan serupa berkaitan dengan reklamasi di pantai Kapuknaga Tangerang. Lewat Keppres Nomor 73 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Kapuknaga Tangerang, juga diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi pantai Kapuknaga ketika itu berada pada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat, sama halnya dengan pantai utara Jakarta.

Kemudian sebagai tindak lanjutnya, pada era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dibuat aturan teknis terkait reklamasi di pantai utara Jakarta sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 52 Tahun 1995, yakni dalam Kepgub Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Aturan tersebut merinci teknis pelaksanaan reklamasi mulai tahap perencanaan hingga perjanjian pengembangan. Aturan ini juga sebagai aturan yang merinci tentang Badan Pelaksana Reklamasi Pantura yang diatur dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

Ketiga, terkait dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Lewat aturan inilah, Keppres Nomor 52 Tahun 1995 dinyatakan tidak berlaku. Dalam Pasal 72 Ketentuan Perailhan Perpres Nomor 54Tahun 2008, dinyatakan bahwa Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tidak belaku sepanjang terkait dengan penataan ruang.

Keempat, terkait dengan Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Aturan ini muncul lantaran Keppres Nomor 52 Tahun 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain itu, Perda inilah yang mengubah aturan pulau-pulau reklamasi dalam Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

Kelima, terkait dengan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aturan ini mengatur terkait permohonan memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati atau Walikota. Dimana, Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.

Selain itu, khusus untuk Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) dan reklamasi lintas provinsi, dapat diberikan setelah mendapat pertimbangan dari Bupati atau Walikota dan Gubernur.  Sementara, Gubernur dan Bupati atau Walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.

Jika ditelaah, PP Nomor 26 Tahun 2008 mengatur dan menetapkan kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk Kepulauan Seribu, Banten, dan Jawa Barat ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN). Memang wewenang pemberian izin pada KSNT berada pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Lantas, apakah KSNT dan KSN adalah sama?

Sebetulnya di sinilah problemnya. Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa Menteri berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi dan izin pengelolaan wilayah perairan, pesisir, dan pulau-pulau lintas provinsi, kawasan strategis nasional (KSN), kawasan strategis nasional tertentu (KSNT), dan kawasan konservasi nasional. Sementara, Gubernur berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi dan izin pengelolaan di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dan Bupati atau Walikota berwenang memberikan dan mencabut izin di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Namun, UU Nomor 1 Tahun 2014 tegas hanya membahas izin pengelolaan dan izin lokasi. Sementara, reklamasi sebagaimana diatur dalam Keppres 52 Tahun 1995 membahas izin prinsip dan izin pelaksanaan. Dua hal itu berbeda satu dengan lainnya. Lagipula, UU Nomor 1 Tahun 2014 tidak mengacu pada Keppres 52 Tahun 1995.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta Oswar M Mungkasa menjelaskan bahwa kawasan strategis pantai utara Jakarta merupakan kawasan penting yang harus dikembangkan mulai dari tepi pantai sampai kedalaman delapan meter di bawah permukaan laut. Ia pun meyakini bahwa pemberian izin pelaksanaan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah memenuhi berbagai syarat termasuk analisis dampak lingkungan (Amdal). Melalui reklamasi, lanjutnya, Jakarta akan diuntungkan dengan tambahan 5.100 hektare lahan pulau-pulau baru.

"Ada potensi ekonomi, pertambahan tenaga kerja, dan pertambahan kegiatan ekonomi yang semuanya bermuara pada pertumbuhan ekonomi," katanya.

Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa semua tanah hasil reklamasi adalah milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemprov DKI meskipun dalam pembangunannya melibatkan pengembang swasta, BUMN, dan BUMD. Sesuai perjanjian awal, katanya, pengembang diwajibkan menyediakan sekitar 50 persen dari luas lahan pulau reklamasi antara lain 25 persen untuk ruang terbuka hijau (RTH), lima persen untuk ruang terbuka biru (RTB), 15 persen untuk fasilitas umum dan sosial, serta lima persen untuk Pemprov DKI.

"Lima persen lahan milik pemprov ini nantinya digunakan untuk fasilitas masyarakat misalnya untuk membangun apartemen bagi buruh atau pegawai rendahan yang bekerja di pulau-pulau tersebut," ucapnya.

Untuk memastikan bahwa pembangunan dan kegiatan ekonomi tidak hanya menguntungkan masyarakat yang menghuni pulau reklamasi, Pemprov mengajukan tambahan kontribusi sebesar 15 persen dikali Nilai Jual Wajib Pajak (NJOP) dikali lahan yang bisa dijual (saleable area). Dengan perhitungan NJOP minimal Rp10 juta untuk 14 pulau dan Rp30 juta untuk tiga pulau lainnya, pemerintah dapat memperoleh tambahan kontribusi sebesar Rp48 triliun.

"Dana itu nanti digunakan untuk subsidi silang, termasuk untuk membangun lima pusat perikanan di pesisir, pelabuhan, tempat tambatan kapal, dan rumah susun bagi nelayan," tutur Oswar.

Terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa jika merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2008, Jakarta termasuk wilayah strategis nasional. Sehingga, penerbitan izin pelaksanaan reklamasi harus berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Saat diajukan izin pelaksanaan kami akan berikan rekomendasi. Tanpa rekomendasi itu izin pelaksanaan tidak bisa dijalankan," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait