Telat Bayar THR, Denda Lima Persen
Berita

Telat Bayar THR, Denda Lima Persen

Kemenaker bertekad mengawasi pelaksanaannya. Namun ada yang meragukan efektivitasnya di lapangan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Telat Bayar THR, Denda Lima Persen
Hukumonline
Hari Raya Idul Fitri masih berbilang bulan. Namun Pemerintah sudah mewanti-wanti pembayaran THR, salah satunya dengan menerbitkan beleid yang ditujukan kepada pelaku usaha dan pekerja. Diundangkan pada 8 Maret lalu, Permenaker No. 6 Tahun 2016 mengatur tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Peraturan ini mencabut Permenaker No.PER-04/MEN/1994.

Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan beleid terbaru tentang tunjangan hari besar keagamaan harus dilaksanakan. "Ya harus diterapkan dan dijalankan. Prinsipnya orang pada saat memiliki hubungan kerja maka dia berhak terhadap THR," katanya di Jakarta, Selasa (19/4).

Hanif mengatakan siap mengawal penerapan beleid tentang THR itu, termasuk memastikan aturan baru dijalankan. Misalnya, kewajiban pengusaha membayar THR kepada pekerja yang masa kerjanya 1 bulan atau lebih. Aturan sebelumnya, THR hanya wajib diberikan pengusaha untuk buruh yang masa kerjanya minimal 3 bulan.

Ada sanksi bagi pengusaha yang melanggar Permenaker THR, dikatakan Hanif, misalnya terlambat membayar THR akan didenda 5 persen dari total THR. Permenaker THR memerintahkan pengusaha membayarkan THR kepada pekerja paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan. "Pengawasanya jalan terus. Baik itu pengawasan ketenagakerjaan langsung dari Kemnaker atau pengawasan melalui dinas-dinas di daerah," kata Hanif.

Bagi pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu penghitungan jumlah THR yang diterima yakni pekerja dengan masa kerja 12 bulan mendapat 1 bulan upah. Untuk masa kerja 1 bulan atau kurang dari 12 bulan besaran THR yang diterima dihitung secara proporsional dengan rumus masa kerja per 12 kali 1 bulan upah.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, berpendapat masalah utama yang selama ini terjadi yakni terkait kepastian pembayaran THR. Sangat banyak kasus buruh tidak mendapat THR sesuai haknya. Salah satu penyebabnya karena penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan lemah. “Permenaker THR memang mengatur ketentuan yang lebih baik yaitu buruh dengan masa kerja 1 bulan bisa mendapat THR. Tapi yang paling utama untuk buruh itu kepastian pembayaran THR tersebut,” ujarnya di Jakarta, Jumat (22/4).

Timboel tidak yakin Permenaker THR bisa menjamin kepastian bagi buruh mendapat THR paling lambat H-7 sebelum hari raya keagamaan. Penyebabnya, aturan denda dan sanksi administratif yang dikenakan kepada pengusaha yang melanggar aturan berpotensi tidak efektif sehingga tidak memberi efek jera kepada pelanggar.

Sanksi administratif yang akan dijatuhkan yaitu teguran tertulis, penutupan sebagian kegiatan operasional dan pencabutan izin usaha secara keseluruhan. Sanksi itu tidak akan berjalan efektif karena instansi yang menerbitkan izin untuk menutup kegiatan operasional perusahaan yang bersangkutan bukan dinas ketenagakerjaan di daerah atau Kementerian Ketenagakerjaan. Petugas pengawas ketenagakerjaan akan berkoordinasi dengan instansi lain. “Bisa saja instansi yang punya kewenangan itu tidak mau menutup kegiatan operasional perusahaan dengan berbagai alasan,” tukas Timboel.

Tapi ada hal lain yang bisa dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Ketenagakerjaan untuk mengupayakan kepastian pembayaran THR bagi buruh. Misalnya, petugas menyambangi berbagai perusahaan yang punya rekam jejak tidak mau membayar atau telat bayar THR. Saat datang pengawas ketenagakerjaan harus mendapat kepastian bahwa perusahaan punya anggaran yang cukup untuk membayar THR semua pekerjanya dan akan diberikan tepat waktu paling lambat H-7.

Jika H-7 perusahaan belum menunaikan kewajibannya membayar THR maka petugas pengawas harus cepat bertindak. “Petugas pengawas harus tetap bekerja melakukan pengawasan pembayaran THR sampai H-2 sebelum hari raya keagamaan untuk menindaklanjuti laporan pekerja,” usulnya.

Sebelumnya, Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan secara umum tidak ada yang baru dalam Permenaker No. 6 Tahun 2016. Terkait ketentuan yang mewajibkan pengusaha membayar THR kepada pekerja dengan masa kerja minimal 1 bulan bukan hal baru. “Selama ini sebagian perusahaan sudah mempraktikkan itu, dimana pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan (bahkan masa kerja 10 hari) mendapat THR yang dihitung secara proporsional,” ujarnya.

Lebih lanjut Iqbal mengatakan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang memerintahkan diterbitkannya Permenaker THR bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Karena itu, Iqbal mendesak agar PP Pengupahan dan segala peraturan turunannya dicabut. Sampai saat ini sikap sejumlah elemen buruh tetap menolak PP Pengupahan.
Tags:

Berita Terkait